Perkembangan demokrasi di Indonesia dari segi waktu dapat dibagi dalam empat periode, yaitu :
Periode 1945-1950 Demokrasi Parlementer
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer ini mulai berlaku sebulan setelah kemerdekaan diproklamasikan. Sistem ini kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 (Konstitusi RIS) dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Meskipun sistem ini dapat berjalan dengan memuaskan di beberapa negara Asia lain, sistem ini ternyata kurang cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan melemahnya persatuan bangsa. Dalam UUDS 1950, badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional head) dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
a) RI yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan,
b) kedaulatan RI adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh pemerintah bersama-sama DPR.
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 tersebut, negara Indonesia berbentuk kesatuan, artinya di dalam negara Indonesia tidak ada negara-negara bagian dan hanya mengenal satu pemerintah yakni pemerintah pusat. Kepada daerah diberikan otonomi seluas-luasnya oleh pemerintah pusat untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian, negara RI adalah negara kesatuan yang menggunakan sistem desentralisasi. Dalam pasal itu pula ditegaskan bentuk pemerintahan republik.
Pada saat mulai berlakunya UUDS 1950 badan legislatif yang ada adalah DPR sementara yang terdiri dari gabungan DPR RIS ditambah dengan anggota dan ketua BPKNIP ditambah dengan anggota atas penunjukan presiden.
Pemilu yang pertama kali di Indonesia diselenggarakan berdasarkan UU No. 7 Tahun 1953. Pemungutan suara dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR. Dalam melaksanakan tugasnya, DPR mempunyai hak bertanya, hak interpelasi, hak angket, hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget. Hak interpelasi adalah hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah. Apabila keterangan pemerintah tidak memuaskan DPR, maka DPR akan mengajukan mosi tidak percaya kepada pemerintah yang dapat mengakibatkan jatuhnya kabinet, sehingga kabinet harus menyerahkan kembali mandatnya kepada presiden. Pada periode ini sering terjadi pergantian kabinet, sehingga program pembangunan terhambat dan pemerintahan tidak stabil.
Pemilu yang berlangsung pada tanggal 15 Desember 1955 diadakan untuk memilih anggota Konstituante yang bertugas membuat UUD untuk menggantikan UUDS. Kekuasaan kehakiman dipegang oleh MA sebagai pengadilan negara tertinggi, yang dapat memberi kasasi terhadap putusan pengadilan di bawahnya.
Akan tetapi golongan agama ingin menerima UUD 1945 dengan amandemen, yaitu bahwa rumusan Piagam Jakarta dicantumkan di dalamnya, sedangkan golongan nasionalis menerimanya tanpa amandemen. Setelah diadakan pemungutan suara, hasilnya tidak seperti yang ditentukan dalam UUDS 1950, bahkan Badan Konstituante tidak melanjutkan sidang-sidangnya. Untuk menyelamatkan negara, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit itu berisi antara lain:
a) Pembubaran Konstituante
b) Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
c) Pembentukan MPR Sementara dan DPA Sementara.
Dengan adanya dekrit inilah yang kemudian menjadi sumber hukum dan penyelenggaraan pemerintahan.
Pandangan A. Syafi’i Ma’arif, demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno seagai “Ayah” dalam famili besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Dengan demikian, kekeliruan yang besar dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin. Selain itu, tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif.
Periode 1945-1950 Demokrasi Parlementer
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer ini mulai berlaku sebulan setelah kemerdekaan diproklamasikan. Sistem ini kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 (Konstitusi RIS) dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Meskipun sistem ini dapat berjalan dengan memuaskan di beberapa negara Asia lain, sistem ini ternyata kurang cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan melemahnya persatuan bangsa. Dalam UUDS 1950, badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional head) dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
1. Demokrasi Liberal (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959)
Sistem politik pada periode ini, Indonesia menggunakan UUDS RI 1950, yang merupakan perubahan dari Konstitusi RIS yang diselenggarakan sesuai dengan piagam persetujuan antara pemerintah RIS dengan pemerintah RI (Yogyakarta) pada tanggal 19 Mei 1950.1) Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan
Pasal 1 UUDS RI 1950 menyatakan:a) RI yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan,
b) kedaulatan RI adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh pemerintah bersama-sama DPR.
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 tersebut, negara Indonesia berbentuk kesatuan, artinya di dalam negara Indonesia tidak ada negara-negara bagian dan hanya mengenal satu pemerintah yakni pemerintah pusat. Kepada daerah diberikan otonomi seluas-luasnya oleh pemerintah pusat untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian, negara RI adalah negara kesatuan yang menggunakan sistem desentralisasi. Dalam pasal itu pula ditegaskan bentuk pemerintahan republik.
2) Sistem Pemerintahan
Alat-alat perlengkapan negara yakni presiden, menteri-menteri, DPR, MA, dan Dewan Pengawas Keuangan. Sistem pemerintahan yang dianut oleh UUDS 1950 adalah parlementer dengan menggunakan Kabinet Parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Para menteri bertanggung jawab kepada DPR (parlemen). Presiden tidak dapat diganggu gugat artinya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap penyelenggaraan pemerintahan.Pada saat mulai berlakunya UUDS 1950 badan legislatif yang ada adalah DPR sementara yang terdiri dari gabungan DPR RIS ditambah dengan anggota dan ketua BPKNIP ditambah dengan anggota atas penunjukan presiden.
Pemilu yang pertama kali di Indonesia diselenggarakan berdasarkan UU No. 7 Tahun 1953. Pemungutan suara dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR. Dalam melaksanakan tugasnya, DPR mempunyai hak bertanya, hak interpelasi, hak angket, hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget. Hak interpelasi adalah hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah. Apabila keterangan pemerintah tidak memuaskan DPR, maka DPR akan mengajukan mosi tidak percaya kepada pemerintah yang dapat mengakibatkan jatuhnya kabinet, sehingga kabinet harus menyerahkan kembali mandatnya kepada presiden. Pada periode ini sering terjadi pergantian kabinet, sehingga program pembangunan terhambat dan pemerintahan tidak stabil.
Pemilu yang berlangsung pada tanggal 15 Desember 1955 diadakan untuk memilih anggota Konstituante yang bertugas membuat UUD untuk menggantikan UUDS. Kekuasaan kehakiman dipegang oleh MA sebagai pengadilan negara tertinggi, yang dapat memberi kasasi terhadap putusan pengadilan di bawahnya.
3) Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Pada akhirnya aspirasi politik di dalam Keanggotaan Badan Konstituante yang dipilih dalam pemilu 1955 terbagi dalam dua kelompok, yakni golongan nasionalis dan golongan agama. Karena perbedaan di antara mereka tidak dapat diatasi, Presiden Soekarno mengajukan usul dalam sidang Konstituante untuk kembali ke UUD 1945. Sesudah ada pembicaraan, kedua belah pihak dapat menerima.Akan tetapi golongan agama ingin menerima UUD 1945 dengan amandemen, yaitu bahwa rumusan Piagam Jakarta dicantumkan di dalamnya, sedangkan golongan nasionalis menerimanya tanpa amandemen. Setelah diadakan pemungutan suara, hasilnya tidak seperti yang ditentukan dalam UUDS 1950, bahkan Badan Konstituante tidak melanjutkan sidang-sidangnya. Untuk menyelamatkan negara, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit itu berisi antara lain:
a) Pembubaran Konstituante
b) Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
c) Pembentukan MPR Sementara dan DPA Sementara.
Dengan adanya dekrit inilah yang kemudian menjadi sumber hukum dan penyelenggaraan pemerintahan.
2. Periode 1959-1965 (Orde Lama)Demokrasi Terpimpin
Pandangan A. Syafi’i Ma’arif, demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno seagai “Ayah” dalam famili besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Dengan demikian, kekeliruan yang besar dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin. Selain itu, tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif.
Katyy Rose https://verystream.com/stream/Sf9KsmHbGFD
3. Periode 1965-1998 (Orde Baru) Demokrasi Pancasila
Ciri-ciri demokrasi pada periode Orde Lama antara lain presiden sangat mendominasi pemerintahan, terbatasnya peran partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Menurut M. Rusli Karim, rezim Orde Baru ditandai oleh; dominannya peranan ABRI, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, pembatasan peran dan fungsi partai politik, campur tangan pemerintah dalam persoalan partai politik dan publik, masa mengambang, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga nonpemerintah4. Periode 1998-sekarang( Reformasi )
Orde reformasi ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Jabatan presiden kemudian diisi oleh wakil presiden, Prof. DR. Ir. Ing. B.J. Habibie. Turunnya presiden Soeharto disebabkan karena tidak adanya lagi kepercayaan dari rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru. . Bergulirnya reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis karena dalam fase ini akan ditentukan ke mana arah demokrasi akan dibangun
Loading...
sangat bermanfaat, terimakasih postingannya!
ReplyDeleteTerimakasih postingannya bermanfaat!
ReplyDeletekredit bni