SOAL DAN JAWABAN POKOK BAHASAN APBN DAN APBD
Berikut ini akan ditampilkan soal dan jawaban pokok bahasan APBN dan APBD. Akan tetapi sebelumnya barangkali ada baiknya kalau baca dulu bagaimana penyusunan dan penetapan APBN dan APBD.SertaPermasalahan Umum dan Klasik dalam Penyusunan APBD
Penyusunan dan penetapan APBN dan APBD menurut UU No. 17 Tahun 2003
Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD dalam UU No. 17 Tahun 2003 meliputi penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, penegasan peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran jangka menengah dalam penyusunan anggaran.
Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara.
Dalam upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan secara jelas peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Sehubungan dengan itu, dalam UU No. 17 Tahun 2003 ini disebutkan bahwa belanja negara dan belanja daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Hal tersebut berarti bahwa setiap pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja harus mendapat persetujuan DPR/DPRD.
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja/hasil memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah.
Dengan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga/perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan.
Sejalan dengan upaya untuk menerapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik, perlu pula dilakukan perubahan klasifikasi anggaran agar sesuai dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perubahan dalam pengelompokan transaksi pemerintah tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, memberikan gambaran yang objektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah, menjaga konsistensi dengan standar akuntansi sektor publik, serta memudahkan penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik keuangan pemerintah.
Sebelum diberlakukannya UU No. 17 Tahun 2003, anggaran belanja pemerintah dikelompokkan atas anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan dalam anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang semula bertujuan untuk memberikan penekanan pada arti pentingnya pembangunan dalam pelaksanaannya telah menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan, dan penyimpangan anggaran.
Sementara itu, penuangan rencana pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan nasional lima tahunan yang ditetapkan dengan undangundang dirasakan tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era globalisasi.
Perkembangan dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju.
Walaupun anggaran dapat disusun dengan baik, jika proses penetapannya terlambat akan berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini diatur secara jelas mekanisme pembahasan anggaran tersebut di DPR/DPRD, termasuk pembagian tugas antara panitia/komisi anggaran dan komisi-komisi pasangan kerja kementerian negara/lembaga/perangkat daerah di DPR/DPRD.
(2) APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
(3) Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah.
Pasal 1 angka 13 UU No. 17 Tahun 2003 mendefinisikan pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
(4) Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Pasal 1 angka 14 UU No. 17 Tahun 2003 mendefinisikan belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
(5) Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Rincian belanja negara menurut organisasi disesuaikan dengan susunan kementerian negara/lembaga pemerintahan pusat.
Rincian belanja negara menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Rincian belanja negara menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.
Dalam menyusun APBN dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
(2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.
Defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertanggungjawaban antargenerasi sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan dana cadangan, dan peningkatan jaminan sosial.
(2) Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.
(2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yangsedang disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN.
Perubahan Rancangan Undang-undang tentang APBN dapat diusulkan oleh DPR sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
(4) Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undangundang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
(5) APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
(6) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
(2) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
(3) Pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah.
Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
(4) Belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
Rincian belanja daerah menurut organisasi disesuaikan dengan susunan perangkat daerah/lembaga teknis daerah.
Rincian belanja daerah menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, serta perlindungan sosial.
Rincian belanja daerah menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial.
Dalam menyusun APBD dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
(2) Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Regional Bruto daerah yang bersangkutan. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Regional Bruto daerah yang bersangkutan.
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertanggungjawaban antar generasi, sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan cadangan, dan peningkatan jaminan sosial.
(2) DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.
(2) Rencana kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah disusun dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) dan (2) disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tahun berikutnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
(2) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD.
(3) DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.
Perubahan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dapat diusulkan oleh DPRD sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
(4) Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
(5) APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
(6) Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.
Failing to plan is planning to fail (Alan Lakein). Kegagalan dalam membuat rencana berarti merencanakan sebuah kegagalan. Kegagalan dalam perencanaan APBD sama dengan merencanakan kegagalan Daerah tersebut untuk mewujudkan kewajibannya, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat di wilayahnya.
Beberapa permasalahan pokok yang perlu direspon adalah sebagai berikut:
Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara.
Dalam upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan secara jelas peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Sehubungan dengan itu, dalam UU No. 17 Tahun 2003 ini disebutkan bahwa belanja negara dan belanja daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Hal tersebut berarti bahwa setiap pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja harus mendapat persetujuan DPR/DPRD.
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja/hasil memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah.
Dengan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga/perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan.
Sejalan dengan upaya untuk menerapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik, perlu pula dilakukan perubahan klasifikasi anggaran agar sesuai dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perubahan dalam pengelompokan transaksi pemerintah tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, memberikan gambaran yang objektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah, menjaga konsistensi dengan standar akuntansi sektor publik, serta memudahkan penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik keuangan pemerintah.
Sebelum diberlakukannya UU No. 17 Tahun 2003, anggaran belanja pemerintah dikelompokkan atas anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan dalam anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang semula bertujuan untuk memberikan penekanan pada arti pentingnya pembangunan dalam pelaksanaannya telah menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan, dan penyimpangan anggaran.
Sementara itu, penuangan rencana pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan nasional lima tahunan yang ditetapkan dengan undangundang dirasakan tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era globalisasi.
Perkembangan dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju.
Walaupun anggaran dapat disusun dengan baik, jika proses penetapannya terlambat akan berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini diatur secara jelas mekanisme pembahasan anggaran tersebut di DPR/DPRD, termasuk pembagian tugas antara panitia/komisi anggaran dan komisi-komisi pasangan kerja kementerian negara/lembaga/perangkat daerah di DPR/DPRD.
Penyusunan dan penetapan APBN
Tujuan dan fungsi dan klasifikasi APBN (Pasal 11):
(1) APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang- undang.(2) APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
(3) Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah.
Pasal 1 angka 13 UU No. 17 Tahun 2003 mendefinisikan pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
(4) Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Pasal 1 angka 14 UU No. 17 Tahun 2003 mendefinisikan belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
(5) Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Rincian belanja negara menurut organisasi disesuaikan dengan susunan kementerian negara/lembaga pemerintahan pusat.
Rincian belanja negara menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Rincian belanja negara menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.
Ketentuan umum penyusunan APBN (Pasal 12):
(1) APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.Dalam menyusun APBN dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
(2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.
Defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertanggungjawaban antargenerasi sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan dana cadangan, dan peningkatan jaminan sosial.
DANDY-683 https://woof.tube/stream/eqaoxU9NMFa
Mekanisme penyusunan APBN (Pasal 13):
(1) Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan.(2) Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.
Mekanisme penyusunan APBN Pasal 14
(1) Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/ pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga tahun berikutnya.(2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Mekanisme penyusunan dan penetapan APBN (Pasal 15):
(1) Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya.(2) Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN.
Perubahan Rancangan Undang-undang tentang APBN dapat diusulkan oleh DPR sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
(4) Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undangundang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
(5) APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
(6) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
Penyusunan dan penetapan APBD
Tujuan dan fungsi dan klasifikasi APBD (Pasal 16):
(1) APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan Daerah.(2) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
(3) Pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah.
Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
(4) Belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
Rincian belanja daerah menurut organisasi disesuaikan dengan susunan perangkat daerah/lembaga teknis daerah.
Rincian belanja daerah menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, serta perlindungan sosial.
Rincian belanja daerah menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial.
Ketentuan umum penyusunan APBD (Pasal 17):
(1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah.Dalam menyusun APBD dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
(2) Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Regional Bruto daerah yang bersangkutan. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Regional Bruto daerah yang bersangkutan.
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertanggungjawaban antar generasi, sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan cadangan, dan peningkatan jaminan sosial.
Mekanisme penyusunan APBD (Pasal 18):
(1) Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan.(2) DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Mekanisme penyusunan APBD (Pasal 19):
(1) Dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah tahun berikutnya.(2) Rencana kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah disusun dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) dan (2) disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tahun berikutnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
Mekanisme penyusunan dan penetapan APBD (Pasal 20):
(1) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktober tahun sebelumnya.(2) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD.
(3) DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.
Perubahan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dapat diusulkan oleh DPRD sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
(4) Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
(5) APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
(6) Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.
Permasalahan Umum dan Klasik dalam Penyusunan APBD
Permasalahan Umum dan Klasik dalam Penyusunan APBD
Dalam bulan-bulan ini, pemerintah daerah (Pemda) disibukkan oleh penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Ada fenomena menarik terkait proses penyusunan APBD tersebut.
Fenomena ini sebenarnya bukan masalah baru. Tapi masalah klasik yang dari tahun ke tahun seringkali berulang. Karena sebagai suatu masalah dan berpotensi merugikan masyarakat, maka seharusnya menjadi perhatian bersama, terutama bagi Pemda.
Pangkal masalah Anggaran di Indonesia, baik APBN dan APBD menurut Ahmad Erani Yustik Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) adalah:
Pangkal masalah Anggaran di Indonesia, baik APBN dan APBD menurut Ahmad Erani Yustik Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) adalah:
- APBN/APBD selalu di desain defisit sehingga memberi kesempatan adanya inefesiensi dan praktik koruptif.
- desain APBN/APBD hanya dipahami sebagai proses teknokratis untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi (anggaran), tetapi APBN tidak dimengerti juga sebagai instrumen ideologis untuk mendekatkan tujuan bernegara sebagai amanat konstitusi.
- asumsi ekonomi makro yang disusun hanya mendasawrkan kepada tujuan sempit tetapi mengabaikan semangat keadilan sosial, seperti aspek ketimpangan pendapatan.
- besaran anggaran tidak mencerminkan permasalahan dan kontekstualisasi dasar pembangunan nasional. Buktinya, alokasi anggaran ke sektor pertanian dan industri tergolong kecil padahal sebagian tenaga kerja berada di sektor tersebut.
- amanah UU tidak semuanya dijalankan dengan baik. Sebagai contoh, alokasi anggaran kesehatan diharuskan minimal 5 persen dari APBN, namun selama ini mendapatkan porsi kurang dari 2 persen.
- penerimaan negara dihitung sangat rendah, baik yang bersumber dari pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sehingga membuka peluang terjadinya korupsi penerimaan negara seperti yang terus berulang selama ini.
2 (dua) hal yang perlu dicermati sebagai hambatan dalam mewujudkan APBD sebagai bentuk akuntabilitas kepada masyarakat;
- berkaitan dengan perlilaku politik dari pejabat politik maupun pejabat publik daerah yang merasa terganggu atau tidak suka dengan transparansi anggaran, karena hal tersebut secara tidak langsung akan mengurangi otoritas yang selama ini mereka nikmati.
- persoalan yang berkaitan dengan aturan-aturan formal yang ada, bahwa masing-masing pihak dan lembaga memilki batas kewenangan serta prosedurnya sendiri. Kedua kendala inilah yang menyebabkan alokasi anggaran dalam APBD seringkali tidak mencerminkan keberpihakan kepada publik. Selama ini, kendala yang seringkali dimunculkan sebagai alasan belum mampunya peemrintah daerah menyediakan pelayanan dengan kualitas memadai adalah keterbatasan dana, sehingga APBD lebih terfokus pada optimalisasi penggalian PAD.
Beberapa permasalahan yang mengiringi proses penyusunan APBD itu adalah :
- waktu penyusunan yang molor. Setiap tahun dijumpai daerah yang lamban dalam menyusun anggaran keuangan pemerintahannya.
- Persoalan anggaran yang tekor atau defisit anggaran. Defisit anggaran terjadi karena anggaran pendapatan pemerintah tidak mampu menutup anggaran belanjanya.
- Minimnya semangat efisiensi. Berhubungan dengan persoalan defisit anggaran, pemerintahan yang terlalu boros akan cenderung menciptakan defisit.
- Kurang berpihaknya anggaran pemerintah kepada publik.
Sebagai contoh, rancangan KUA dan PPAS melebihi waktu dari jadwal yang seharusnya disampaikan kepala daerah kepada DPRD yakni pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan. Demikian pula, draf RAPBD yang semestinya sudah harus diserahkan ke DPRD pada pekan pertama Oktober untuk dibahas, kenyataannya biasa molor yang akhirnya penetapannya juga molor.
keterlambatan ini berdampak pada sejumlah kabupaten/kota terlambat juga menyerahkan RAPBD ke Pemprov untuk dievaluasi.
Padahal, keterlambatan penyusunan APBD jelas merugikan masyarakat. Masyarakat yang semestinya sudah menerima anggaran pembangunan atau pelayanan publik terpaksa harus tertunda menunggu selesainya penetapan APBD.
Selain itu, Dana Alokasi Umum (DAU) daerah yang terlambat menetapkan APBD juga akan dipotong 25% oleh pemerintah pusat.
Dari sudut pandang perencanaan, keterlambatan penyusunan APBD merupakan sesuatu yang kurang masuk akal.
Logikanya,
bagaimana mungkin pemerintahan bisa berjalan tanpa ada acuan APBD?APBD yang seharusnya sudah ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan atau paling lambat tanggal 31 Desember, kenyataannya tak sedikit yang molor hingga berbulan-bulan. Selama APBD belum ditetapkan, daerah-daerah tersebut berjalan berpedoman pada apa?
Secara de-jure maupun formal administratif, landasan daerah yang terlambat menetapkan APBD itu bisa dikatakan lemah.
Kemungkinan molornya waktu penetapan APBD amat besar disebabkan pelantikan anggota DPRD. Dasar hukum penyusunan tata tertib dan alat kelengkapan DPRD juga terlambat terbit, sehingga berdampak pada terlambatnya pembahasan RAPBD.
Daerah yang mengalami defisit anggaran bisa jadi secara faktual memang tidak mampu menutup besarnya pengeluaran belanja daerah. Ada kemungkinan pula kondisi defisit tersebut “direkayasa” sebagai sarana untuk menekan pemerintah pusat agar menambah dana perimbangan atau dana kontingensi.
Tidak mudah menyusun APBD yang benar-benar bebas dari defisit ketika paradigma “besar pasak daripada tiang” dan terlalu menggantungkan bantuan dari eksternal masih menjadi pedoman dalam penyusunannya. Kenyataannya, daerah masih amat tergantung kepada sumber pembiayaan dari pemerintah pusat. Terbukti, sebagian besar penerimaan daerah berasal dari DAU dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Ketergantungan Pemda terhadap pusat menyebabkan kreativitas daerah terkadang terhambat.
Di Permendagri No 25/2009 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2010 juga telah disebutkan guna mencapai sasaran pembangunan, dalam penyusunan program dan kegiatan daerah wajib menerapkan prinsip-prinsip efisiensi.
Perjalanan dinas dan studi banding agar dibatasi frekuensi dan jumlah pesertanya serta dilakukan sesuai dengan substansi kebijakan yang sedang dirumuskan, yang hasilnya dilaporkan secara transparan dan akuntabel. Bahkan ditentukan pula pembatasan penganggaran untuk penyelenggaraan rapat-rapat yang dilaksanakan di luar kantor, workshop, seminar dan lokakarya.
Namun, kepatuhan terhadap aturan tertulis tersebut tampaknya masih jauh dari harapan. Lihat saja, tidak sedikit daerah yang justru melakukan pembahasan RAPBD-nya di luar daerah.
Mungkin anggaran yang dibutuhkan untuk membiayainya relatif kecil dibanding angka-angka yang dibahas, tapi bagaimana dengan semangat efisiensinya? Kurangnya sense of crisis Pemda juga terlihat dari tidak pekanya mereka atas kondisi masyarakat dan kondisi keuangan daerah. Sungguh ironis, meskipun masih banyak masyarakat yang terhimpit kesusahan ekonomi dan kondisi keuangan daerah yang terbatas, di beberapa daerah justru berencana memborong mobil dinas hingga miliaran rupiah.
Daerah semestinya memahami dan menempatkan prioritas pengalokasian anggarannya dengan tepat. Sebagaimana arahan Permendagri No 25/2009, masalah dan tantangan utama yang harus dipecahkan dan dihadapi pada tahun 2010. Di antaranya adalah upaya untuk menanggulangi kemiskinan, meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, serta meningkatkan kualitas kesehatan.
Di bidang pendidikan misalnya, Pemda secara konsisten dan berkesinambungan perlu mengupayakan pengalokasian anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari belanja daerah.
Hampir semua APBD di Indonesia anggarannya mayoritas dialokasikan guna memenuhi belanja pegawai. Seperti untuk membayar gaji, tunjangan, honor dan uang lembur.
Biaya untuk belanja barang/jasa, perjalanan dinas, dan pemeliharaan gedung/kendaraan semakin memperbesar kebutuhan anggaran untuk pegawai. Belanja pegawai yang menyedot biaya besar berdampak pada kecilnya anggaran untuk publik. Kebanyakan daerah lebih dari 75% anggarannya digunakan dalam rangka membiayai internal birokrasi, sedangkan anggaran untuk pembangunan dan pelayanan publik relatif terbatas.
Seberapa jauh anggaran pemerintah berpihak pada publik, bisa diamati dari bagaimana pelayanan publik; seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur; diselenggarakan pemerintah.
Keempat persoalan seputar penyusunan APBD di atas seharusnya tidak sampai terjadi, atau paling tidak dapat direduksi, seandainya dalam penyusunan APBD memperhatikan prinsip penyusunan APBD yang sudah digariskan (ada partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas anggaran, disiplin anggaran, keadilan anggaran, dan taat asas), serta patuh pada kaidah penganggaran sektor publik yang berlaku (legitimasi hukum, legitimasi finansial, dan legitimasi politik).
APBD sering TERLAMBAT
Ada beberapa kemungkinan mengapa dapat terjadi keterlambatan Pemda dalam menyelesaikan APBD, yakni:
- proses perencanaan seringkali hanya bersifat formalitas belaka. Forum yang semestinya bisa mengakomodasi kepentingan masyarakat (termasuk berbagai kepentingan politik) kurang mendapat perhatian, karena sebagian besar lebih tertarik pada tahap penganggaran. Mudah dipahami, sebab pada tahap penganggaran-lah perhitungan biaya (uang) mulai terbahas. Akibatnya rencana kegiatan yang telah dibuat mesti dibahas ulang di tahap penganggaran yang seringkali bertele-tele karena lahirnya transaksi politik.
- keterlambatan penyusunan RAPBD sehingga terlambat diserahkan Kepala Daerah kepada DPRD. Keterlambatan ini bisa disebabkan karena masalah teknis manajerial, rendahnya kompetensi birokrasi, atau tidak sinkronnya peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat sebagai pedoman.
- DPRD tidak menjalankan fungsi anggaran dengan baik. Penyebabnya hampir sama dengan apa yang dialami oleh Pemda yakni masalah teknis manajerial dan rendahnya kompetensi anggota DPRD. Di samping itu keterlibatan DPRD dalam penyusunan APBD terlalu jauh sampai jenis kegiatan, besaran anggaran, dan lokasi program.
- terjadinya tarik ulur kepentingan politik lokal. Anggota DPRD yang menghendaki kepentingan politiknya (dan juga kepentingan pribadinya) terakomodasi mendesak kepada Pemda untuk dimasukkan dalam APBD. Tak jarang, kepentingan tersebut sebenarnya belum urgen untuk direalisasikan. Pemda akhirnya menghadapi dilema. Jika menolak maka terjadilah ketegangan yang mengakibatkan pembahasan APBD menjadi berlarut-larut. Jika dituruti berarti mengorbankan kepentingan sebagian rakyat lain.
- keterlambatan evaluasi oleh Gubernur. Rancangan Perda tentang APBD yang telah disetujui Bupati/Walikota bersama DPRD, sebelum ditetapkan harus disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. Kemungkinan Gubernur bisa terlambat mengevaluasi.
Masihkah upaya perbaikan kualitas perencanaan APBD bernilai strategis?
Upaya perbaikan pengelolaan keuangan daerah, khususnya perencanaan APBD, masih merupakan agenda strategis bagi percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah, yang merupakan inti dari kewajiban Daerah, DPRD, dan Kepala Daerah.Failing to plan is planning to fail (Alan Lakein). Kegagalan dalam membuat rencana berarti merencanakan sebuah kegagalan. Kegagalan dalam perencanaan APBD sama dengan merencanakan kegagalan Daerah tersebut untuk mewujudkan kewajibannya, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat di wilayahnya.
Beberapa permasalahan pokok yang perlu direspon adalah sebagai berikut:
- Anggaran belanja cenderung ditetapkan lebih tinggi. Mengapa penilaian kewajaran belanja harus dilakukan? Salah satu alasannya adalah karena usulan belanja kegiatan cenderung dimark-up, dibesarkan atau ditinggikan di atas perkiraan yang sewajarnya (sebenarnya). Bila usulan belanja selalu wajar dan sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya, maka urgensi dan relevansi analisis standar belanja menjadi rendah.
- Anggaran pendapatan cenderung ditetapkan lebih rendah. Bila usulan belanja cenderung dimark-up, sebaliknya usulan pendapatan/penerimaan cenderung dimark-down; ditetapkan lebih rendah dari target sebenarnya.
- Kurangnya keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi perencanaan dengan penganggaran. Secara normatif, perencanaan dan penganggaran harus terpadu, konsisten dan sinkron satu sama lain. Hal ini sedemikian karena penganggaran adalah media untuk mewujudkan target-target kinerja yang direncanakan. Tanpa perencanaan, SKPD cenderung tidak fokus serta cenderung bersifat reaktif yang pada akhirnya bermuara pada inefisiensi dan inefektifitas.
- Kurangnya keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi perencanaan antar SKPD. Keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi tidak hanya antara aspek perencanaan dengan penganggaran, tetapi juga antar SKPD. Hal ini perlu diperhatikan karena target capaian program dan atau target hasil (outcome) sebuah kegiatan dan atau visi daerah dapat dicapai melalui sinergi program dan kegiatan antar SKPD.
- Relevansi Program / Kegiatan: kurang responsif dengan permasalahan dan / atau kurang relevan dengan peluang yang dihadapi. Peningkatan relevansi dan responsifitas program adalah agenda utama perencanaan. Relevansi dan responsifitas akan sangat menentukan kemampuan daerah dalam mewujudkan kewajibannya. Rendahnya relevansi ini terutama karena rendahnya kemampuan perencanaan program dan kegiatan serta keterbatasan ketersediaan data dan informasi.
- Pertanggungjawaban kinerja kegiatan masih tetap cenderung fokus pada pelaporan penggunaan dana. Hal ini terjadi terutama karena belum jelasnya aturan dan mekanisme pertanggungjawaban kinerja kegiatan. Pertanggungjawaban kinerja merupakan kunci dari sistem penganggaran berbasis kinerja.
- Spesifikasi indikator kinerja dan target kinerja masih relatif lemah. Pada beberapa kasus, penetapan besar belanja tidak didasarkan pada target kinerja keluaran (output) atau hasil (outcome). Volume output diubah, tetapi total belanja tidak berubah. Selain itu, Indikator kinerja untuk Belanja Administrasi Umum (dahulu disebut sebagai Belanja Rutin) masih tetap belum jelas.
- Rendahnya inovasi pendanaan kesejahteraan rakyat. Bagaimanakah cara terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat? Jawaban pertanyaan ini sangat tergantung konteks, potensi dan permasalahan di masing-masing daerah. Hingga saat ini, inovasi pendanaan kesejahteraan rakyat masih relatif rendah.
Tanpa pertanggungjawaban tersebut, perbaikan kinerja SKPD tidak dapat berlanjut secara berkesinambungan. Pada titik ekstrimnya, tanpa pertanggungjawaban kinerja, pola penganggaran pada dasarnya masih belum berubah kecuali istilah dan nomenklatur semata.
disamping hal-hal diatas, ada juga yang berpendapat bahwa permasalahan penyusunan APBD bersumber pada:
- Intervensi hak budget DPRD terlalu kuat, dimana anggota DPRD sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan masyarakat yang dihasilkan dalam Musrenbang. Jadwal reses DPRD dengan proses Musrenbang yang tidak match misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru DPRD reses mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari motif politis yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan seperti sinterklas yang membagi-bagi proyek. Selain itu ada kemungkinan juga didasari motif ekonomis yakni membuat proyek untuk mendapatkan tambahan income bagi pribadi atau kelompoknya dengan mengharap bisa intervensi dalam aspek pengadaan barang (procurement) atau pelaksanaan kegiatan. Intervensi hak budget ini juga seringkali mengakibatkan pembahasan RAPBD memakan waktu panjang untuk negosiasi antara eksekutif dan legislative. Salah satu strategi dari pihak eksekutif untuk “menjinakkan” hak budget DPRD ini misalnya dengan memberikan alokasi tertentu untuk DPRD missal dalam penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) ataupun pemberian “Dana Aspirasi” yang bisa digunakan oleh anggota DPRD secara fleksibel untuk menjawab permintaan masyarakat. Di salah satu kabupaten di Kaltim, dana aspirasi per anggota DPRD bisa mencapai 2 milyar rupiah per tahun.
- Usulan dari DPRD yang terkadang tidak sesuai dengan hasil kesepakatan pada saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)
- Unsur politis dalam rangka mewujudkan kepentingan tertentu
- Motif pada saat pelaksanaan proyek di lapangan dalam rangka mencari keuntungan pribadi
- Adanya istilah “sinterklas”(bagi-bagi proyek) kepada oknum anggota DPRD atau pejabat daerah
- Pendekatan partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme musrenbang masih menjadi retorika Perencanaan pembangunan masih didominasi oleh: Kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD dan Program dari SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya akumulasi kekecewaan di tingkat desa dan kecamatan yang sudah memenuhi kewajiban membuat rencana tapi realisasinya sangat minim. ------- Perencanaan pembangunan di bidang apapun sebagian besar masih didominasi oleh berbagai kepentingan yang berkaitan dengan kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD, program dan kegiatan SKPD itu sendiri bahkan kepentingan dari elemen – elemen masyarakat. Hal ini telah banyak terlihat buktinya di lapangan, bahwa apa yang sudah di buat perencanaannya sesuai matrix dan usulan yang berasal dari masayarakat (bottom up) dengan sebelumnya telah melalui proses penyusunan usulan program dan kegiatan di tingkat kelurahan dan kecamatan misalnya ternyata realisasinya sangatlah minim. Kondisi ini membuat pelaksanaan musrenbang menjadi acara rutinitas dan formalitas belaka sehingga menjadi kurang diminati oleh pihak-pihak yang selayaknya mengikuti kegiatan tersebut.
- Proses Perencanaan kegiatan yang terpisah dari penganggaran, Karena ketidakjelasan informasi besaran anggaran, proses Musrenbang kebanyakan masih bersifat menyusun daftar belanja (shopping list) kegiatan. Banyak pihak seringkali membuat usulan sebanyak-banyaknya agar probabilitas usulan yang disetujui juga semakin banyak. Ibarat memasang banyak perangkap, agar banyak sasaran yang terjerat.
- Ketersediaan dana yang tidak tepat waktu. Terpisahnya proses perencanaan dan anggaran ini juga berlanjut pada saat penyediaan anggaran. APBD disahkan pada bulan Desember tahun sebelumnya, tapi dana seringkali lambat tersedia. Bukan hal yang aneh, walau tahun anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai bulan Juli-pun anggaran program di tingkat SKPD masih sulit didapatkan.
- Breakdown RPJPD ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak nyambung (match). Ada kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra SKPD seringkali tidak dijadikan acuan secara serius dalam menyusun RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah satunya disebabkan oleh kualitas tenaga perencana di SKPD yang terbatas kuantitas dan kualitasnya. Dalam beberapa kasus ditemui perencanaan hanya dibuat oleh Pengguna Anggaran dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf program sehingga banyak usulan kegiatan yang sifatnya copy paste dari kegiatan yang lalu dan tidak visioner.
- Kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal. Beberapa kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana tersebut adalah; indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak terukur (kalimat berbunga-bunga), data dasar dan asumsi yang seringkali kurang valid, serta analisis yang kurang mendalam dimana jarang ada analisis mendalam yang mengarah pada “how to achieve” suatu target.
- Terlalu banyak “order” dalam proses perencanaan dan masing-masing ingin menjadi arus utama misalnya gender mainstreaming, poverty mainstreaming, disaster mainstreaming dll. Perencana di daerah seringkali kesulitan untuk menterjemahkan isu-isu tersebut. Selain itu “mainstreaming” yang seharusnya dijadikan “prinsip gerakan pembangunan” seringkali malah disimplifikasi menjadi sector-sektor baru, misalnya isu poverty mainstreaming melahirkan lembaga Komisi Pemberantasan Kemiskinan padahal yang seharusnya perlu didorong adalah bagaimana setiap SKPD bisa berkontribusi mengatasi kemiskinan sesuai tupoksinya masing-masing. Demikian pula isu gender, juga direduksi dengan munculnya embel-embel pada Bagian Sosial menjadi “Bagian Sosial dan Pemberdayaan Perempuan” misalnya.
- Adanya intervensi pada saat proses penyusunan perencanaan. Perencanaan suatu kegiatan terutama yang berkaitan dengan peningkatan pembangunan di semua sektor dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tentunya diawali dengan perencanaan yang didasari oleh pedoman – pedoman yang ada termasuk rencana strategis yang telah disusun dalam jangka waktu 5 (lima) tahun ke depan tanpa mengesampingkan isu-isu strategis yang ada selama masih berkaitan dan mempunyai output yang jelas. Akan sangat selaras ketika semua bisa mengacu pada pedoman yang ada dan akan sangat mudah nantinya dalam proses monitoring dan evaluasi. Namun jika perencanaan keluar dari pedoman-pedoman strategis yang telah ditetapkan maka daerah akan menemui kesulitan dalam menyusun perencanaan program dan kegiatan satu tahun ke depan.
- Koordinasi antar SKPD untuk proses perencanaan masih lemah sehingga kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul egosektoral. Ada suatu kasus dimana di suatu kawasan Dinas Kehutanan mendorong program reboisasi tapi disisi lain Dinas Pertambangan memprogramkan ekploitasi batubara di lokasi tersebut.
- SKPD yang mempunyai alokasi anggaran besar seringkali tidak mempunyai tenaga perencana yang memadai Akibatnya proses perencanaan seringkali molor. Hal ini sering diperparah oleh minimnya tenaga Bappeda yang mampu memberikan asistensi kepada SKPD dalam penyusunan rencana.
- SDM Evaluasi Anggaran pada Pemerintah Provinsi. APBD Kabupaten/ Kota wajib dievaluasi oleh Pemerintah Provinsi. Disisi lain Pemprop mempunyai keterbatasan tenaga untuk melakukan evaluasi tersebut. Pelaksanaan evaluasi ini tidak dibarengi dengan ketersediaan dan kompetensi SDM pada Pemerintah Provinsi yang terlibat saat melakukan evaluasi anggaran. Hal ini membuat proses penganggaran menjadi tidak efektif dan efisien. Selain itu belum ada instrument yang praktis yang bisa digunakan untuk evaluasi anggaran tersebut. Hal ini berakibat proses evaluasi memakan waktu agak lama dan berimbas pada semakin panjangnya proses revisi di daerah (kabupaten/kota).
- Kualitas hasil Musrenbang Desa/Kecamatan seringkali rendah karena kurangnya Fasilitator Musrenbang yang berkualitas. Fasilitasi proses perencanaan tingkat desa yang menurut PP 72 tahun 2005 diamanahkan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (bisa via Pemerintah Kecamatan) seringkali tidak berjalan. Proses fasilitasi hanya diberikan dalam bentuk surat edaran agar desa melakukan Musrenbang, dan jarang dalam bentuk bimbingan fasilitasi di lapangan.
- Pedoman untuk Musrenbang atau perencanaan cukup rumit (misal Permendagri 66 tahun 2007), complicated dan agak sulit untuk diterapkan secara mentah-mentah di daerah pelosok pedesaan yang sebagian perangkat desa dan masyarakatnya mempunyai banyak keterbatasan dalam hal pengetahuan, teknologi dll.
- Faktor Team Work dan Komitmen. Secara normatif, perencanaan dan penganggaran harus terpadu, konsisten dan sinkron satu sama lain. Hal ini harus dilakukan karena penganggaran merupakan media untuk mewujudkan target-target kinerja yang direncanakan. Tanpa perencanaan yang baik, SKPD cenderung tidak fokus serta cenderung bersifat reaktif yang pada akhirnya bermuara pada inefisiensi dan inefektifitas. Saat penyusunan perencanaan, pimpinan terkadang hanya melibatkan segelintir pegawai saja, sementara perencanaan program dan kegiatan adalah atas nama organisasi, sehingga akan lebih baik apabila keseluruhan proses penganggaran mulai dari awal perencanaan sampai pada kegiatan monitoring dan evaluasi terakhir melibatkan seluruh pegawai sebagai team work dalam rangka mencapai tujuan akhir yang akan dicapai oleh organisasi. Selain itu, pada penyusunan APBD, pihak-pihak yang terlibat hendaknya memiliki komitmen yang tinggi untuk melaksanakan penyusunan APBD secara tepat waktu serta melaksanakan anggaran yang telah ditetapkan dengan efektif dan efisien. Adanya komitmen memberikan gambaran bagi pihak yang terlibat dalam penyusunan APBD untuk mengetahui secara jelas visi, misi, tujuan, dan sasaran yang ingin dicapai dalam penyusunan APBD. Selain itu, melalui komitmen dapat menciptakan motivasi dan kemauan bagi pihak penyusun APBD untuk menyelenggarakan tahapan penyusunan APBD yang lebih baik, efektif, efisien, dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
- Dalam praktek penerapan P3MD, pendekatan pemecahan masalah yang HANYA melihat ke AKAR MASALAH saja dapat berpotensi menimbulkan bias dan oversimplifikasi terhadap suatu persoalan. Contoh kasus nyata; di sebuah desa di Kaltim masyarakat dan pemerintah mengidentifikasi bahwa rendahnya pengetahuan masyarakat disebabkan tidak adanya fasilitas sumber bacaan di wilayah itu. Sebagai solusinya mereka kemudian mengusulkan untuk dibangunkan “gedung perpustakaan”. Ternyata setelah gedung perpustakaan dibangun, sampai beberapa tahun berikutnya perpustakaan tersebut tidak pernah berfungsi bahkan kemudian dijadikan Posko Pemilu. Mengapa demikian? Hal itu terjadi karena mereka hanya berpikir soal membangun gedung, tetapi lupa berpikir dan mengusulkan bagaimana menyediakan buku/bahan bacaan untuk perpustakaan itu, lupa mengusulkan kepengurusan untuk mengelola perpustakaan itu dll. Kondisi seperti diatas mungkin tidak akan terjadi kalau mereka berpikir dulu soal “outcome” misalnya meningkatkan minat baca 50 % warga masyarakat. Dari outcome tersebut nantinya bisa diidentifikasi output yang diperlukan misalnya: adanya gedung perpustakaan, buku atau bahan bacaan, tenaga pengelola perpustakaan, kesadaran masyarakat untuk datang ke perpustakaan dll. Dari contoh kasus itu nampaknya untuk pemerintah dan masyarakat memang perlu didorong untuk memahami alur berpikir logis (logical framework) sebuah perencanaan. Selain itu pola pikir yang ada yang cenderung berorientasi “Proyek” (yang berorientasi jangka pendek dan berkonotasi duit) menjadi orientasi “Program” (orientasi jangka panjang dan lebih berkonotasi sebagai gerakan pembangunan).
Beberapa faktor-faktor intervensi hak budget DPRD yang dapat menjadi penghambat dalam penyusunan APBD, adalah:
Meskipun penyusunan APBD rentan dengan berbagai kepentingan politik, namun aturan-aturan formal tetap harus dijadikan landasan, terutama prinsip dan kaidah normatifnya. Jika hal ini sungguh-sungguh dipedomani oleh eksekutif dan legislatif, niscaya APBD menjadi “alat intervensi” negara dalam mensejahterakan masyarakat, dan bukan justru menjadi sumber masalah.
Berdasarkan permasalahan diatas sekurangnya ada tiga praktik tata kelola yang menunjukan buruk rupa manajemen keuangan daerah saat ini
Pertama, problem proporsi alokasi sebagaimana ditunjukan rasio antara belanja modal (pembangunan) dan belanja aparatur (rutin). Hingga sewindu pelaksanaan desentralisasi, desain politik alokasi anggaran di banyak daerah menunjukan minimnya peruntukan bagi masyarakat, baik berupa dana pelayanan publik maupun investasi Pemda bagi bergeraknya perekonomian. Hanya sekitar 20-30% APBD untuk belanja langsung bagi kepentingan masyarakat dan sisa terbesarnya untuk membiayai birokrasi.
Kedua, problem kapasitas daya serap anggaran. Saat ini, sekitar 60% dana APBN kita beredar di daerah (30% lewat skema transfer ditambah 30% berasal dari dana dekonsentrasi, medebewind dan dana sektoral). Suatu jumlah uang beredar yang tentu amat besar, sekaligus tanggung jawab yang besar pula. Namun sayang, sejauh ini Pemda masih belum berkekuatan penuh menyerap anggaran yang ada, bahkan di sebagian daerah, sisa dana ”diparkir” di perbankan berbentuk Sertifikat BI.
Perlu dicatat, adanya dana yang menganggur itu bukan lantaran daerah berkelebihan uang atau pun sebagai hasil dari penghematan (efisiensi) anggaran. Sebaliknya, hal itu menunjukan adanya dana yang terbengkelai, karena buruknya sistem perencanaan anggaran, berbelitnya prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah, lemahnya proses legislasi di daerah, atau orientasi sempit pada PAD dari bunga simpanan SBI. Kinerja instrumen fiskal semacam itu berakibat terbengkelainya pula program layanan publik dan tentu sulit menjadi stimulan alternatif di tengah masih lesunya investasi sektor swasta.
Ketiga, selain kedua masalah di atas, hari-hari ini media massa juga gencar memberitakan problem ketiga dalam manajemen keuangan daerah, yakni administrasi pelaporan keuangan. Hal ini tentu tidak saja menyangkut problem akuntansi dan tata pembukuan, tetapi lebih mendasar lagi mencerminkan politik kebijakan dan komitmen penegakan good governance di daerah.
Alhasil, merujuk laporan BPK, setiap tahun terdapat tendensi memburuk dalam kualitas pengelolaan dan laporan keuangan. Data terakhir (2009) menunjukan, hanya ada 21 daerah yang memiliki status laporan wajar tanpa pengecualian, selebihnya: 249 daerah wajar dengan pengecualian, 7 daerah berstatus disclaimer (tak memberikan pendapat) dan 10 daerah adverse (tak wajar).
Terkait masalah ini, sumber masalah utama adalah TIDAK EFEKTIFnya PERAN INSPEKTORAT (dulu bernama Bawasda) di daerah. Institusi yang sejatinya dibentuk sebagai garda depan jaminan tegaknya good governance dan menjadi instrumen strategis pemberantasan korupsi ini justru mandul.
Institusi ini hanya diposisikan sebagai unsur penunjang, desain kelembagaannya gampang terkooptasi oleh SKPD lainnya, ruang lingkup pengawasannya terbatas, tidak adanya mekanisme sanksi dalam pengawasan, dan status aparatnya disinyalir sebagai orang buangan yang mempengaruhi motivasi dan kapasitas kerja.
Padahal, keberadaan inspektorat ini mestinya bernilai strategis.
dalam ketentuan Pasal 311 ayat:
Dalam Pasal 2, disebutkan bahwa
Berdasarkan permasalahan diatas sekurangnya ada tiga praktik tata kelola yang menunjukan buruk rupa manajemen keuangan daerah saat ini
Pertama, problem proporsi alokasi sebagaimana ditunjukan rasio antara belanja modal (pembangunan) dan belanja aparatur (rutin). Hingga sewindu pelaksanaan desentralisasi, desain politik alokasi anggaran di banyak daerah menunjukan minimnya peruntukan bagi masyarakat, baik berupa dana pelayanan publik maupun investasi Pemda bagi bergeraknya perekonomian. Hanya sekitar 20-30% APBD untuk belanja langsung bagi kepentingan masyarakat dan sisa terbesarnya untuk membiayai birokrasi.
Kedua, problem kapasitas daya serap anggaran. Saat ini, sekitar 60% dana APBN kita beredar di daerah (30% lewat skema transfer ditambah 30% berasal dari dana dekonsentrasi, medebewind dan dana sektoral). Suatu jumlah uang beredar yang tentu amat besar, sekaligus tanggung jawab yang besar pula. Namun sayang, sejauh ini Pemda masih belum berkekuatan penuh menyerap anggaran yang ada, bahkan di sebagian daerah, sisa dana ”diparkir” di perbankan berbentuk Sertifikat BI.
Perlu dicatat, adanya dana yang menganggur itu bukan lantaran daerah berkelebihan uang atau pun sebagai hasil dari penghematan (efisiensi) anggaran. Sebaliknya, hal itu menunjukan adanya dana yang terbengkelai, karena buruknya sistem perencanaan anggaran, berbelitnya prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah, lemahnya proses legislasi di daerah, atau orientasi sempit pada PAD dari bunga simpanan SBI. Kinerja instrumen fiskal semacam itu berakibat terbengkelainya pula program layanan publik dan tentu sulit menjadi stimulan alternatif di tengah masih lesunya investasi sektor swasta.
Ketiga, selain kedua masalah di atas, hari-hari ini media massa juga gencar memberitakan problem ketiga dalam manajemen keuangan daerah, yakni administrasi pelaporan keuangan. Hal ini tentu tidak saja menyangkut problem akuntansi dan tata pembukuan, tetapi lebih mendasar lagi mencerminkan politik kebijakan dan komitmen penegakan good governance di daerah.
Alhasil, merujuk laporan BPK, setiap tahun terdapat tendensi memburuk dalam kualitas pengelolaan dan laporan keuangan. Data terakhir (2009) menunjukan, hanya ada 21 daerah yang memiliki status laporan wajar tanpa pengecualian, selebihnya: 249 daerah wajar dengan pengecualian, 7 daerah berstatus disclaimer (tak memberikan pendapat) dan 10 daerah adverse (tak wajar).
Terkait masalah ini, sumber masalah utama adalah TIDAK EFEKTIFnya PERAN INSPEKTORAT (dulu bernama Bawasda) di daerah. Institusi yang sejatinya dibentuk sebagai garda depan jaminan tegaknya good governance dan menjadi instrumen strategis pemberantasan korupsi ini justru mandul.
Institusi ini hanya diposisikan sebagai unsur penunjang, desain kelembagaannya gampang terkooptasi oleh SKPD lainnya, ruang lingkup pengawasannya terbatas, tidak adanya mekanisme sanksi dalam pengawasan, dan status aparatnya disinyalir sebagai orang buangan yang mempengaruhi motivasi dan kapasitas kerja.
Padahal, keberadaan inspektorat ini mestinya bernilai strategis.
- menjadi lembaga preventif dan jaring pengaman internal sebelum datangnya pihak pengawas eksternal (BPK, KPK, dll).
- sebagai unit pengawas internal yang memiliki peluang terlibat sejak fase perencanaan (input), pelaksanaan, capaian dan evaluasi kebijakan sehingga memungkinkan deteksi dini dan koreksi langsung untuk menghindari kerusakan masif.
Upaya Mengatasi Masalah tersebut
Beberapa terobosan perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang muncul dalam penyusunan APBD, yakni:- perlu dilakukan inovasi-inovasi dalam proses perencanaan partisipatif sedemikian rupa sehingga aspirasi-aspirasi politik diyakini benar-benar terserap dalam dokumen perencanaan. Dengan demikian, pembahasan rancangan APBD dapat lebih terfokus pada besaran dana yang seharusnya dialokasikan dan tidak lagi terlalu terbebani dengan transaksi-transaksi politik.
- perlu dikembangkan strategi berupa dialog ataupun sosialisasi mengenai perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja. Tujuan utama dilakukannya langkah ini adalah untuk mengubah paradigma tradisional yang berfokus pada penganggaran uang menjadi paradigma yang berbasis kinerja yang menitikberatkan pada perencanaan kegiatan yang menjawab akar permasalahan di masyarakat.
- perlu penguatan kapasitas dan komitmen, baik bagi kalangan Pemda maupun DPRD. Pada umumnya Pemda yang mengalami keterlambatan APBD adalah daerah tertinggal, sehingga perlu fasilitasi dan pengawasan lebih intensif dari Pemprov maupun Pemerintah Pusat. Namun sebenarnya yang utama adalah komitmen, dan justru inilah yang paling sulit. Proses politik berbiaya tinggi barangkali menjadi akar masalah kenapa seringkali anggota dewan (begitu pula Kepala Daerah) bernafsu besar ingin menguasai anggaran.
- pemberian sanksi sesuai aturan mesti tetap dijalankan namun dengan sanksi yang lebih spesifik. Pemda wajib menyampaikan Perda kepada Menteri Keuangan maksimal tanggal 20 Maret. Bagi yang terlambat, penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU)-nya ditunda 25 persen per bulan. atau Sanksi penghentian pemberian DAU dirubah dengan sanksi penundaan pembayaran tunjangan pejabat pemerintah dan anggota DPRD.
- proses politik dalam penyusunan APBD jangan hanya menjadi arena interkasi antara DPRD dan pemerintah, tapi juga sebagai arena publik dimana ada transparansi dan akses bagi masyarakat untuk memperoleh informasi, berpartisipasi, dan mengkritisi proses tersebut.
- para pembuat keputusan yang terlibat dalam proses legislasi APBD (DPRD dan pemerintah daerah) harus mempunyai sistem evaluasi untuk membandingkan dan memprioritaskan proposal anggaran.
- sebagai konsekuensi dari hak budget yang dimiliki DPRD maka anggota DPRD harus mengetahui dan memahami prinsip-prinsip pokok siklus anggaran, yang meliputi tahap persiapan dan penyusunan anggaran, tahap implementasi, serta tahap pelaporan dan evaluasi.
- selain memhami proses pengelolaan keuangan daerah, pemerintah daerah dan DPRD perlu memahami berbagai standar yang digunakan dalam akuntansi, misalnya standar biaya agar dapat memperhitungkan besaran anggaran yang diperlukan untuk suatu kegiatan. Melalui penerapan standar ini, praktik-praktik manipulasi atau mark-up angaran dapat diminimalkan.
- perlu dilakukan penguatan pada masyarakat sipil misalnya dengan cara mengadvokasikan berbagai instrumen hukum dan kelembagaan yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, mengakses informasi, dan mengontrol akuntabilitas pemerintahan. Selain itu juga perlu ditingkatkan kualitas pendidikan, pengorganisasian, dan pendampingan masyarakat agar masyarakat dapat mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan mereka.
Gambaran SANKSI TERLAMBAT MENETAPKAN APBD
Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah,dalam ketentuan Pasal 311 ayat:
- Kepala daerah wajib mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh Peraturan Perundang-undangan untuk memperoleh persetujuan bersama.
- Kepala daerah yang tidak mengajukan rancangan Perda tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrative berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangannya yang diatur dalam ketentuan Perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.
- Kepala daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD paling lambat 1 (satu) bulan sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun.
- DPRD dan Kepala daerah yang tidak menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.
- Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dikenakan kepada anggota DPRD apabila keterlambatan penetapan APBD disebabkan oleh Kepala daerah terlambat menyampaikan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD dari jadwal yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam Pasal 2, disebutkan bahwa
IKD yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah kepada Pemerintah mencakup:
- APBD;
- Perubahan APBD;
- Laporan Realisasi APBD Semester I;
- Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD, terdiri dari:
- Realisasi APBD;
- Neraca;
- Laporan Arus Kas; dan
- Catatan atas Laporan Keuangan;
- Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan;
- Laporan Keuangan Perusahaan Daerah; dan
- Data yang berkaitan dengan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah.
Pasal 9;
Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan IKD dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterbitkannya peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan menetapkan sanksi berupa penundaan penyaluran Dana Perimbangan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri
kemudian dalam Pasal 10 ayat 1, disebutkan bahwa
Sanksi berupa penundaan penyaluran Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilakukan sebesar 25% dari jumlah DAU yang diberikan setiap bulannya pada tahun anggaran berjalan.
Seandainya semua ini dijalankan, bisa dipastikan mutu tata kelola dan tata pembukuan keuangan daerah tidak lagi menjadi sasaran permanen kritikan publik dan temuan BPK.
demikian Permasalahan Umum dan Klasik dalam Penyusunan APBD ini yang disadur dari berbagai sumber.
Contoh Soal APBN Dan APBD Beserta Jawabannya
1. APBN merupakan instrumen untuk mengendalikan perekonomian saat terjadinya inflasi atau deflasi. Hal ini menggambarkan fungsi APBN,yaitu..
a. Alokasi d. stabilisasi
b. Distribusi e. standardisasi
c. Realokasi
2. Pada penyusunan APBN,pemerintah menetapkan belanja negara lebih sedikit dari pada penerimaan negara. Dengan demikian,penyusunan APBN tersebut menerapkan kebijakan anggaran....
a. Defisit d. Defisit dinamis
b. Surplus e. Seimbang dinamis
c. Berimbang
3. Komponen berikut yang termasuk sumber-sumber penerimaan negara adalah..
a. Retribusi dan cukai d. DAK dan pajak kendaraan bermotor
b. DAU dan laba BUMN e. Pajak pertambahan nilai dan bea masuk
c. DAK dan pendapatan migas
4. Alat ukur yang paling tepat digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara disebut … .
a. Pemungutan pajak d. Kebijakan anggaran
b. Pendapatan perseorangan e. APBN dan APBD
c. Pendapatan per kapita
5. Belanja pemerintah pusat dalam APBN antara lain…
a. Dana perimbangan
b. Dana alokasi khusus
c. Dana bagi hasil
d. Subsidi
e. Dana alokasi umum
DASD-502 https://oload.stream/f/jQ3N6npmHCk
6. Retribusi termasuk ke dalam jenis…
a. Pajak langsung
b. Iuran
c. Sumbangan
d. Hibah
e. Pungutan resmi
7. Unsur-unsur pengeluaran anggaran belanja, yaitu:
1) Belanja barang
2) Cicilan utang
3) Pembelian kendaraan dinas
4) Bantuan proyek
5) Subsidi daerah otonom
Hal yang termasuk pengeluaran rutin, yaitu…
a. 1,2 dan 3
b. 1,3 dan 4
c. 2,3 dan 4
d. 1,2 dan 5
e. 3,4 dan 5
8. Pendapatan daerah meliputi sumber-sumber berikut ini, kecuali…
a. Pendapatan asli daerah yang berasal dari hasil pajak dari retribusi daerah
b. Penerimaan sumber daya alam
c. Hasil perusahaan milik daerah
d. Dana perimbangan
e. Pinjaman daerah
9. Tujuan penyusunan APBN adalah ...
a. Memperbesar pendapatan dan pengeluaran negara dengan sebaik-baiknya
b. Agar uang yang diterima negara dan bersumber dari pajak dapat digunakan sebaik-
baiknya untuk tujuan pembangunan
c. Agar penggunaan uang negara dapat digunakan sebaik-baiknya untuk tujuan
meningkatkan taraf hidup masyarakat
d. Agar penggunaan uang negara yang berasal dari tabungan dapat digunakan sebaik
mungkin sesuai dengan undang-undang yang berlaku
e. Mengatur sedemikian rupa sehingga penggajian dan pembiayaan yang dilakukan
pemerintah lebih bermanfaat
10. Menurut pendapat penganut anggaran belanja berimbang dalam hal terpaksa terjadi ketidakstabilan ekonomi pada waktu depresi, anggaran yang dipakai adalah anggaran ...
a. Surplus d. Disesuaikan
b. Defisit e. lebih
c. Seimbang
11. Pada APBN, pajak yang diterima dapat disalurkan pada berbagai proyek pembangunan. APBN dalam hal ini menjalankan fungsi ...
a. Distribusi d. Pengembangan
b. Stabilisasi e. alokasi
c. Relokasi
12. Anggaran pendapatan dan belanja negara yang defisit ada kebaikanya, yaitu dapat ...
a. Memfungsikan uang menganggur
b. Memperluas kesempatan kerja
c. Menghemat pengeluaran negara
d. Membiayai proyek-proyek yang beresiko tinggi
e. Menekan laju inflasi
13. Yang bukan merupakan azas penyusunan APBN adalah ...
a. Penghematan
b. Peningkatan efisiensi
c. Pemasukan berdasar pengeluaran
d. Manajemen prioritas pembangunan
e. Kemandirian
14. Dana yang masuk ke kas negara yang berasal dari pungutan pajak digunakan untuk membangun sarana jalan tol. Fungsi pajak dalam hal ini adalah fungsi ...
a. Alokasi d. Pengembangan
b. Stabilitas e. Pemerataan
c. Distribusi
15. Berikut hal-hal yang berhubungan dengan APBN:
1. minyak bumi dan gas alam
2. pajak ekspor
3. subsidi daerah otonom
4. pajak penghasilan
5. gaji pegawai
6. bunga dan cicilan utang
Yang merupakan sumber penerimaan negara adalah ...
a. 1, 2, 5 d. 2, 4, 6
b. 1, 3, 4 e. 2, 5, 6
c. 1, 2, 4
16. Sebagai sumber pendapatan negara adalah ...
a. Pajak bumi dan bagunan
b. Pajak penghasilan dan pajak barang mewah
c. Bantuan program dan bantuan proyek
d. Penerimaan negara dan penerimaan pembangunan
e. Minyak bumi dan gas alam
17. Hal yang berhubungan dengan APBN:
1. pembiayaan pembangunan rupiah
2. pembiayaan proyek
3. dana perimbangan
4. dana alokasi umum
5. belanja pegawai
6. dana alokasi khusus
Yang merupakan belanja/pengeluaran daerah adalah ...
a. 1, 3, 6 d. 3, 4,6
b. 1, 2, 5 e. 4, 5, 6
c. 2, 4, 5
18. Bukan merupakan dampak APBN dalam kegiatan ekonomi ...
a. Berpengaruh negatip terhadap APBD
b. Memperbaiki kestabilan ekonomi
c. Menimbulkan investasi masyarakat
d. Berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
e. Berperan meningkatkan kegiatan produksi
19. Sebagai dasar untuk menerima pendapatan dan melakukan belanja, merupakan salah satu fungsi APBN; yaitu fungsi ...
a. Perencanaan
b. Otorisasi
c. Pengawasan
d. Alokasi
e. Distribusi
20. Dana Perimbangan dalam APBN diantaranya adalah ...
a. Pajak daerah
b. Hibah
c. Dana bagi hasil
d. Retribusi daerah
e. Retribusi daerah dan pengelolaan kekayaan daerah
21. Yang dikategorikan dalam PAD (Pendapatan Asli Daerah) adalah ...
a. Dana alokasi umum, hibah, pajak daerah
b. Pajak daerah, pajak darurat, hibah
c. Dana bagi hasil, pajak daerah, retribusi
d. Retribusi daerah, pajak daerah, pendapatan bunga
e. Retribusi daerah, pajak daerah, dana darurat
22. Yang termasuk sumber pendapatan negara antara lain ...
a. Retribusi dan cukai
b. Dana Alokasi Umum dan BUMN
c. Dana Alokasi Khusus dan pajak daerah
d. Dana Alokasi Khusus dan migas
e. Pajak Pertambahan Nilai dan Bea Masuk
23. Yang tidak termasuk pajak dalam negeri adalah ...
a. Pajak Pertambahan Nilai
b. Pajak Bumi Bangunan
c. Pajak Penghasilan
d. Cukai
e. Bea Masuk
24. Yang tidak termasuk unsur-unsur penerimaan negara adalah ...
a. Subsidi daerah otonom
b. Laba BUMN
c. Bea Masuk
d. Pajak Ekspor
e. Pajak Pertambahan Nilai
25. Berikut adalah sumber pendapatan daerah:
1. PAD
2. dana perimbangan
3. pendapatan hibah
4. dana darurat
5. pajak daerah
Yang termasuk kelompok lain-lain pendapatan yang sah adalah ...
a. 1, 2
b. 2, 3
c. 3, 4
d. 4, 5
e. 3, 5
Loading...
No comments:
Post a Comment