PENGERTIAN, KONSEP, PRAKTEK,TINGKATAN PARTISIPASI POLITIK - Berikut ini akan ditampilkan mengenai Pengertian, konsep, praktek, dan tingkatan partisipasi politik. Dengan tujuan untuk memudahkan pemahaman bagi siapa saja ingin belajar salah satu pokok nahasan mata pelajaran PPKN.
Pengertian partisipasi politik adalah kegiatan warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri dan sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa.
Definisi partisipasi politik yang cukup senada disampaikan oleh Silvia Bolgherini. Menurut Bolgherini, partisipasi politik " ... a series of activities related to political life, aimed at influencing public decisions in a more or less direct way—legal, conventional, pacific, or contentious. Bagi Bolgherini, partisipasi politik adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan politik, yang ditujukan untuk memengaruhi pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung - dengan cara legal, konvensional, damai, ataupun memaksa.
Studi klasik mengenai partisipasi politik diadakan oleh Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries. Lewat penelitian mereka, Huntington and Nelson memberikan suatu catatan: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Bolgherini yaitu bahwa dalam melakukan partisipasi politik, cara yang digunakan salah satunya yang bersifat paksaan (contentious). Bagi Huntington and Nelson, perbedaan partisipasi politik sukarela dan mobilisasi (diarahkan, senada dengan dipaksa) hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik.
Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).
KONSEP PARTISIPASI POLITIK
Penulis meminjam pendapat Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Partisipasi sukarela dan mobilisasi hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik.
Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).
Terbukti banyak Negara-Negara yang sedang berkembang telah mencapai angka pertumbuhan GNP tahunan secara pukul rata melampui target sebesar 5%, menjelang akhir tahun-tahun enam puluhan, akan tetapi dampak dari pertumbuhan itu tidak dirasakan oleh masyarakat, terbukti masih banyak ketimpangan dimana-mana antara sikaya dan simiskin”. Artinya adalah, meningkatnya GNP tidak dengan sendirinya akan meningkatkan pendapatan yang adil, terbukanya peluang yang besar terhadap golongan-golongan masyarakat yang tidak beruntung dalam mengecap pendidikan, dan memperoleh pekerjaan yang produktif .
Dalam urain diatas, penulis juga punya pandangan yang menarik bagaimana tentang pembanguan politik dan ekonomi pada tahun 2011 di era pemerintah SBY. Fenomena ini ternyata hari ini memang terjadi di negeri kita ini, kita dijebak dengan kegembiraan angka-angka yang mengatakan jumlah angka kemiskinan sudah berkurang, dan meningkatnya GDP Indonesia pada tahun 2010, seperti akhir-akhir ini pemerintah selalu memuji keberhasilan ekonomi Indonesia yang mampu lebih siap menghadapi krisis, pemerintah selalu mengunakan angka-angka terhadap peningkatan GDP pembangunan Indonesia, kondisi ekonomi Indonesia meningkat, artinya pemerintah mencoba menjebak masyarakat dengan angka-angka makro ekonomi. Tetapi pertanyaannya kemudian apakah dengan meningkatkan GDP Indonesia, seolah persoalan ekonomi selesai, ternyata kemiskinan masih ada dimana-mana, penganguran. Memang antara realita dengan idealnya tidak terwujud.
Jika model partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi :
1. Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
2. Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu;
3. Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
4. Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan
5. Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
6. Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini.
Namun yang jelas dalam tulisan ini, pengertian atau definisi partisipasi politik dapat disimpulkan, yang jelas partisipasi politik tidak hanya kegiatan yang oleh pelakunya sendiri tidak hanya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah, atau juga kegiatan oleh orang lain diluar sipelaku yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Yang pertama dapat dikatakan sebagai partisipasi otonom, yang terakhir adalah partisipasi yang dimobilisasikan.
Mick Blue https://woof.tube/stream/i712WA7Z7Ug
Partisipasi Mobilisasi VS Partisipasi Otonom
Apakah mobilisasi dapat diangap sebagai partisipasi politik? Myron Wiener, umpamanya menekankan sifat sukarela dari partisipasi “hadir dalam acara rapat umum atas perintah pemerintah tidak termasuk partisipasi politik”. Seperti warga Negara yang memberikan suaranya dalam pemilu, dimana warga Negara tidak dapat memilih diantara calon-calon.
Perbedaan yang domobilisasikan dan yang otonom, sebenarnya antara partisipasi yang dimobilisasikan dan partisipasi yang otonom, lebih tajam prinsip dari pada dalam realitas. Apakah kegiatan demonstrasi adalah partisipasi yang otonom atau partisipasi yang dimobilisasi?.
Menurut penulis untuk melihat ini tergantung cara pandang kita, bisa partisipasi yang bersifat otonom ketika gerakan demonstrasi benar-benar murni untuk kepentingan tanpa ada yang kemudian menunganginya, tentu berbeda dengan demonstrasi yang dimobilisasikan ketika ada yang membayar untuk memperjuangkan kepentingan seseorang. Sekalipun sangat ditemukan mobilisasi tanpa propokator atau penunggangnya. Memang harus disadari bahwa ada gerakan spontanitas, tapi itu hanya siasat bagi orang yang ingin menuai keberhasilan dari gerakan tersebut.
Ketika penulis mau membahas bagaimana partisipasi politik pada masa orde baru, yang menimbulkan pertanyaan apakah partisipasi yang otonom atau dimobilisasikan, kalau orde baru penulis lebih cenderung terjadinya partisipasi politik yang dimobilisasikan. Soeharto pada rezimnya memang pembangunan berjalan dengan bagus bahkan GDP kita terbaik di Asia Tenggara ketika itu, namun, Soeharto membungkam partisipasi politik. Pembangunan yang top down dari pusat, centralistic, yang menarik lagi desa dipaksakan keseluruh negeri dari Sabang sampai Meroke, konsep desa hanya ada di Jawa, artinya variasi lokal soeharto tidak dimunculkan. Tapi itu tidak bisa dihindari karena memang pilihan sistem ekonomi yang dipilihnya untuk mengatasi masalah ekonomi pada masa itu. Selain itu pendidikan mengenai demokrasi belum terlalu memasyarakat.
Di era demokrasi sekarang kalau penulis boleh objektif, tingkat partisipasi politik sudah bagus, bahkan dengan adanya otonomi daerah adalah bentuk konkrit dari partisipasi itu sendiri dalam arti yang nyata. Sekali lagi setelah reformasi, system pembangunan politik dan ekonomi sudah terjadi pergeseran, sekarang partai lokal juga ada di daerah, tidak itu saja, kalau orde baru pembangunan berasal dari pusat, sementara konsep pembangunan sekarang diserahkan atau daerah yang mengelola, bagaimana meningkatkan pendapatan belanja daerah misalnya.
PRAKTEK PARTISIPASI POLITIK
Mode Partisipasi Politik
Mode partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar: Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan teror.
Bentuk/ Praktek Partisipasi Politik
Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:
Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu;
Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan
Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk/praktek partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini.
Klasifikasi bentuk/praktek partisipasi politik Huntington dan Nelson belumlah relatif lengkap karena keduanya belum memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu. Misalnya, Thomas M. Magstadt menyebutkan bentuk-bentuk partisipasi politik dapat meliputi: (1) Opini publik; (2) Polling; (3) Pemilihan umum; dan (4) Demokrasi langsung. [6] Opini publik adalah gagasan serta pandangan yang diekspresikan oleh para pembayar pajak dan konstituen pemilu.
Opini Publik. Opini publik yang kuat dapat saja mendorong para legislator ataupun eksekutif politik mengubah pandangan mereka atas suatu isu. Opini publik ini mengejawantah dalam bentuk lain partisipasi politik selanjutnya, berupa polling, pemilihan umum, dan demokrasi langsung.
Polling. Polling adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah, partisipasi politik (menurut Magstadt) warganegara menemui manifestasinya. Di dalam polling, terdapat aneka konsep yang menjadi bagian di dalam dirinya yaitu: straw polls, random sampling, stratified sampling, exit polling, dan tracking polls.
Straw polls adalah survey yang tidak ilmiah karena bersifat sederhana, murah, dan amat terbuka untuk penyalahgunaan dan manipulasi. Straw polls dianggap tidak ilmiah karena tidak memertimbangkan representasi populasi yang menjadi responden polling. Penentuan responden bersifat serampangan, dan terkadang hanya menggunakan sampel yang hanya merupakan bagian tertentu dari populasi.
Random sampling adalah metode polling yang melibatkan canvassing atas populasi secara acak. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Dalam teknik ini, disarankan jumlah minimal untuk suatu polling adalah 1500 orang apabila populasi yang diambil pendapatnya adalah besar. Pengambilan sampel acak harus bersifat lintas-segmen seperti usia, ras, agama, orientasi politik, pendidikan, dan faktor-faktor lain yang signifikan di suatu masyarakat. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Metode ini adalah cara menentukan responden polling, yang diadakan akibat munculnya keterbatasan untuk melakukan random sampling. Dalam stratified sampling, pihak yang menyelenggarakan polling memilih populasi yang cukup kecil tetapi memiliki karakteristik khusus (agama, usia, income, afiliasi partai politik, dan sejenisnya).
Exit polling adalah polling yang memungkinkan jaringan televisi memrediksi pemenang suatu pemilihan umum segera setelah pemungutuan suara usai. Teknik yang dilakukan adalah menyurvei pemberi suara di tps-tps tertentu.
Tracking polls adalah polling yang dilakukan atas responden yang sama dalam suatu periode kampanye. Tujuannya mengidentifikasi peralihan sentimen pemilih atas suatu calon, partai, ataupun isu. Tujuan dari polling ini adalah memerbaiki kinerja kampanye calon, kampaye parpol, bahkan kinerja pemerintah.
Pemilihan Umum. Pemilihan umum (Pemilu) erat hubungannya dengan polling. Pemilu hakikatnya adalah polling "paling lengkap" karena menggunakan seluruh warga negara benar-benar punya hak pilih (tidak seperti polling yang menggunakan sampel). Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung adalah suatu situasi di mana pemilih (konstituen) sekaligus menjadi legislator. Demokrasi langsung terdiri atas plebisit dan referendum.
Plebisit adalah pengambilan suara oleh seluruh komunitas atas kebijakan publik dalam masalah tertentu. Misalnya, dalam kasus kenaikan harga BBM ketika parlemen mengalami deadlock dengan eksekutif, diambilah plebisit apakah naik atau tidak. Referendum adalah pemberian suara dengan mana warganegara dapat memutuskan suatu undang-undang. Misalnya, apakah undang-undang otonomi daerah perlu direvisi ataukah tidak, dan parlemen mengalami deadlock, dilakukanlah referendum.
TINGKATAN PARTISIPASI POLITIK
1. Menurut Huntington dan Nelson .
Dua kriteria tingkat partisipasi politik :
a. Ruang lingkup dari suatu kategori warga negara.
b. Intensitas, aturan ukuran, ukuran, dan arti lamanya dan arti penting dari .
kegiatan khusus itu bagi sistem politik.
2. Hubungan tingkat partisipasi tampak dalam hubungan "berbanding terbalik" .
a. Lingkup partisipasi yang besar terjadi dalam intensitas kecil .
b. Lingkup partisipasi kecil, makin tinggi intensitasnya.
Tingkatan Partisipasi Politik.
a. Aktivis ⇒ (menyimpang), pembunuh politik, teroris, penjajah.
b. Partisipan ⇒ Petugas kampanye, aktif dalam parpol/kelompok kepentingan .
c. Pengamat ⇒ Menghadiri rapat umum, anggota kelompok, kepentingan, meya-
kinkan orang, memberikan suara dalam pemilu, perhatian pada
perhatian politik.
Tingkatan Partisipasi Politik Jika dilihat dari segi aktifitasnya setiap saat maka tingkatan partisipasi politik teridiri dari :
a. Menduduki jabatan politik atau administrasi
b. Mencari jabatan politik atau administrasi
c. Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
d. Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
e. Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik
f. Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik
g. Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi dsb
h. Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam bidang politik
i. Voting (pemberian suara)
Berikut ini tingkatan partisipasi politik dilihat target setiap yang berkepentingan menurut beberapa ahli :
1) Herbert McClosky, dalam International Encyclopedia of The Social Science; Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung terlibat dalam proses pembentukan kebijaksanaan umum.
2) Kevin R. Hardwick, Partisipasi politik memberi perhatian pada cara-cara warga negara berinteraksi dengan pemerintah, warga negara berupaya menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka terhadap pejabat-pejabat publik agar mampu mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut. Indikatornya adalah terdapat interaksi antara warga negara dengan pemerintah dan terdapat usaha warga negara untuk mempengaruhi pejabat publik.
3) Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Science; Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga Negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat Negara dan/atau tindakan-tindakan yang mereka ambil.
4) Michael Rush dan Philip Althoft, Partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Indikatornya adalah berwujud keterlibatan individu dalam sistem politik dan memiliki tingkatan-tingkatan partisipasi.
5) Huntington dan Nelson, Partisipasi politik ialah kegiatan warga negara preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh pemerintah. Indikatornya adalah:
• Partisipasi politik menyangkut kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap.
• Subyek partisipasi politik adalah warga negara preman (private citizen)atau orang per orang dalam peranannya sebagai warga negara biasa, bukan orang-orang profesional di bidang politik.
• Kegiatan dalam partisipasi politik adalah kegiatan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dan ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah yang mempunyai wewenang politik.
• Partisipasi politik mencakup semua kegiatan mempengaruhi pemerintah, terlepas apakah tindakan itu memunyai efek atau tidak.
• Partisipasi politik menyangkut partisipasi otonom dan partisipasi dimobilisasikan
6) Ramlan Surbakti, Partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Partisipasi politik berarti keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak mempunyai kewenangan) dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Indikatornya adalah keikutsertaan warga negara dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik dan dilakukan oleh warga negara biasa
7) Prof. Miriam Budiharjo dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik; Partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang dalam partai politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan turut serta secara langsung atau tak langsung dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Indikatornya adalah berupa kegiatan individu atau kelompok dan bertujuan ikut aktif dalam ke-hidupan politik, memilih pim-pinan publik atau mempenga-ruhi kebijakan publik.
Berdasarkan beberapa defenisi konseptual partisipasi politik yang dikemukakan beberapa sarjana ilmu politik tersebut, secara substansial menyatakan bahwa setiap partisipasi politik yang dilakukan termanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan sukarela yang nyata dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Kegiatan partisipasi politik dilakukan oleh warga negara preman atau masyarakat biasa, sehingga seolah-olah menutup kemungkinan bagi tindakan-tindakan serupa yang dilakukan oleh non-warga negara biasa. Keikutsertaan warga negara dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik.
Referensi
Budiyanto M.M . 2007. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SMA Kelas XI. Jakarta , Erlangga.
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) h. 9-10.
Ibid.
Silvia Bolgherini, "Participation" dalam Mauro Calise and Theodore J. Lowi, Hyperpolitics: An Interactive Dictionary of Political Science Concept (Chicago: The University of Chicago, 2010) p. 169.
Oscar Garcia Luengo, E-Activism New Media and Political Participation in Europe, (CONFines 2/4 agosto-diciembre 2006)
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi ... op.cit.
Thomas M. Magstadt, Understanding Politics (Belmont: Cengage Learning, 2012) pp. 273-82.
Christina Holtz-Bacha, Political Disaffection, dalam dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of Political Communication, (California : Sage Publications, 2008) p.577-9.
Jan W. van Deth, Political Participation, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2.
Kai Arzheimer, Political Efficacy, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2. p. 579-80.
Loading...
No comments:
Post a Comment