Kebijakan Publik Dalam Otonom Daerah- Desentralisasi sebagai salah satu manifesto demokrasi telah mengarahkan kedaulatan menjadi lebih dekat dengan public, visi inilah sebenarnya yang hendak diemban dalam undang-undang No,32/2004 tentang pemerintahan daerah. Dengan undang-undang tersebut seharusnya peluang public didaerah untuk mengakses, berpartisipasi dan mengontrol sebuah kebijakan menjadi terbuka lebar. Kalau dahulu daerah tidak mempunyai hak untuk mengatur segala keputusan dalam proses pembangunan, dengan adanya aturan , dari sekarang ini daerah diberi wewenang penuh untuk mengelola ,mengatur, membuat kebijakan dengan memberi ruang public yang lebih luas sehingga masyarakat lebih mampu untuk mengontrol jalannya proses kebijakan.
Semakin jauh posisi masyarakat dengan pemerintah, maka masyarakat akan semakin kesulitan untuk mengetehui kebijakan, namun sebaliknya ketika posisi masyarakat dekat dengan pemerintah maka peluang untuk mengawasi, mengontrol proses kebijakan semakin besar.
Melihat latar belakang pemikiran tentang penyelanggaraan otonomi daerah yang ditekankan pada dua aspek yaitu: (1) menciptakan ruang/ peluang bagi masayrakat untuk mengembangkan dirinya dan (2) mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mampu memanfaatkan ruang/ peluang yang tercipta., pemikiran diatas adalah merupakan prinsip dasar kemandirian local. Hubungannya dengan kebijakan public dalam pelaksanaan otonomi daerah, maka pemerintah desa menjadi basis utama , namun ini bisa jadi sebuah peluang atau juga sebuah ancaman yang harus dihadapi dan diselesaikan. Pada tataran legal formal DPRD adalah policy maker yang bertanggung jawab melakukan pengaturan lebih lanjut tentang pemerintahan dan pembangunan desa, ini adalah tugas berat. Tetapi dalam tataran realitasnya, barangkali sering kita lihat bahwa DPRD adalah sebuah lembaga pemerintah daerah sebatas symbol yang sering kali kerjanya melakukan konspirasi dengan eksekutif dalam pembuatan kebijakan public, yang sering kali pula tidak mempedulikan kepentingan masyarakat.
Seiring proses demokratisasi, mestinya terjadi peningkatan komitmen pembuat kebijakan public untuk mengakomodasi kepentingan public dalam kebijakan public.
Seiring desentralisasi, kebijakan public dirumuskan oleh pembuat kebijakan tingkat local, yang asumsinya lebih memahami kepentingan dan kebutuhan public, sekaligus juga mengetahui potensi sumber daya yang ada di daerahnya masing-masing. Jadi tantangan paling krusial di era sekarang ini terkait dengan kebijakan public adalah bagaimana kebijakan public lebih mampu mengakomodasi aneka kepentingan public, untuk selanjutnya melalui kebijakan public yang demikian kebutuhan masyarakat akan lebih terpenuhi ditengah-tengah keterbatasan sumber daya yang tersedia.
Namun perlu diingat bahwa era transisi yang demikian harus dikawal ketat oleh banyak pihak terutama komunitas diluar lembaga formal, seperti LSM, atau NGOs lainya yang mempunyai fungsi dan peran agen control social. Sehingga proses transisi bisa terselamatkan .dari jurang totaliterisme, otoriterisme dan militeristik. Senada ini Samuel P, Humitington mengatakan bahwa negara dunia ketiga atau negara berkembang yang sedang melakukan proses transisi demokrasi seyogyanya harus menjaga dan menyelamatkan pada masa transisi tersebut. Ketika negara tersebut gagal dalam menyelamtkan masa transisinya menuju demokrasi sejati, maka pemerintahanya akan kembali pada system otoriterianistik, totaliterianistik dan militeritik dengan kondisi yang lebih parah.
Untuk memadukan otonomi daerah dengan kebijakan publik haruslah dibarengi dengan kesungguhan para pejabat pemerintah untuk memberdayakan keterlibatan secara aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan Di Indonesia, desentralisasi dan otonomi daerah telah berjalan , setelah daerah menunggu dan menuntut otonomi dan keadilan selama beberapa dekade. Selama itu juga daerah menikmati bulan madu otonomi daerah, yakni bergulat dengan keleluasaan daerah, keragaman lokal dan “pesta” demokrasi lokal. Daerah terus-menerus sibuk melakukan penataan kelembagaan secara internal, sekaligus bertempur dengan pusat yang mereka nilai tidak rela menjalankan otonomi daerah. Pada saat yang sama pemerintah daerah menghapi harapan dan tuntutan masyarakat yang melambung tinggi. Di tempat lain kalangan aktivis dan organisasi masyarakat sipil menyambut otonomi daerah dengan cara berbicara tentang demokrasi lokal, transparansi, akuntabilitas, partisipasi dan pemberdayaan rakyat. Mereka terus-menerus melakukan kajian dan kritik terhadap buruknya penyelenggaraan otonomi daerah. Tetapi pada saat yang sama, publik bahkan orang awam terus bertanya (jika tidak bisa disebut kecewa) apa relevansi otonomi daerah dan demokrasi lokal bagi kesejahteraan rakyat.
Pertanyaannya, bagaimana desentralisasi membuat kesejahteraan? Bagaimana “janji politik” menciptakan “janji kebijakan” untuk kesejahteraan? Dan sejauh mana Indonesia telah berada dalam pencapaian kondisi ideal dalam kerangka demokrasi dan desentralisasi ini.
Semenjak diterapkannya UU No. 22/1999 lalu UU No. 32/2004, banyak masalah lahir. Di antara ketidaksiapan menjalankan prinsip-prinsip desentralisasi yang memuat nilai demokrasi. Evaluasi singkat atas pelaksanaan program otonomi daerah sepanjang reformasi ini nampaknya masih banyak ditemui adanya penyimpangan dan penyempitan makna. Cita-cita ideal dari otonomi daerah belum sepenuhnya tegas, dan dampkanya penyimpangan dan penyempitan makna dalam pelaksanaan otonomi daerah itu sering sekali terjadi.
Saat ini banyak warga merasakan kondisi yang tidak nyaman, yang disebabkan oleh tidak berjalannya kebijakan publik secara tepat. Kebijakan publik yang berjalan justru banyak menciptakan kondisi ketidakpastian khususnya yang menyangkut pada kebijakan publik bidang ekonomi. Jalannya negara ini seperti tidak mempunyai arah tertentu untuk kepentingan ekonomi jangka panjang. Kebijakan publik yang berjalan seperti kebijakan tutup lubang gali lubang, menyelesaikan masalah yang menyangkut hal hal yang berlaku sesaat saja. Koordinasi antar kebijakan publik yang dijalankan oleh berbagai departemen juga sangat terbatas. Sebenarnya hal seperti ini tidak boleh terjadi karena dapat mengurangi manfaat dari kebijakan itu sendiri. Public policy consists of courses of action - rather than separate, discrete decision or actions - performed by government officials. Antara satu kebijakan publik dengan kebijakan publik lainnya harus mempunyai kaitan yang saling menudukung. Jadi tidak berjalan sendiri sendiri.
Sebagai contoh kebijakan publik yang gali lubang tutup lubang dan menyelesaikan masalah sesaat adalah bagaimana mungkin harga minyak goreng dapat dinormalkan sementara ekspor CPO didorong secara habis-habisan. Kebijakan publik di persimpangan jalan antara perlunya devisa dengan normalnya harga minyak goreng. Bagaimana mungkin ada ekspor beras sementara beberapa bulan lalu Indonesia adalah negara pengimpor beras terbesar. Padahal kita tahu dunia akan mengalami krisis pangan dan kita sadar iklim panas akan berkepanjangan yang akan mempengaruhi produksi padi. Namun ini semua menjadi mungkin karena pemerintah di dalam menyusun kebijakan selalu berdasarkan keadaan sesaat dan dalam jangka pendek.
Dalam fase otonomi daerah muncul paradigma reinventing government dan goog governance bukan hanya memeicu tampilnya konsep otonomi, partisipasi, efisiensi dan pelayanan publik, tetapi juga memicu tampilnya jejaring kebijakan, Good governance memiliki 3 pilar yaitu : 1) pemerintah, 2) masyarakat, 3)swasta. Jaring kebijakan yang terbentuk antara tiga pilar ini akan semakin memperkuat pelaksanaan Goog Governance.
Jejaring dalam kebijakan memiliki pengertian yang berbeda dengan partisipasi, Jejaring kebijakan bukan hanya menuntut peranserta atau keterlibatan para aktor sebagai partisipan, melainkan juga hubungan saling menguntungkan dintara partisipan, aktor pemerintah , swasta dan masyarakat.
Jejaring kebijakan juga berbeda dengan koordinasi, dalam koordinasi terkandung suatu agreement diantara aktor untuk mencapai tujuan bersama dengan pemerintah sebagai aktor utama. Jejaring kebijakan justru mengandung konflik diantara aktor karena perbedaan kepentingan, namun konflik tersebut harus dapat dipersatukan dalam beberapa koalisi untuk mencapai tujuan dengan aktor utama tidak selalu dari unsur pemerintah.
Kekuatan konflik dan koalisi aktor jejaring kebijakan menentukan tercapanya kepentingan publik dalam kebijakan publik. Hubungan diantara para aktor dalam wadah organisasi merupakan subsistem kebijakan. Subsistem kebijakan sebagai jejaring kebijakan ruang gerak dibatasi oleh lingkungan, demikian juga hubungan diantara aktor dalam wadah organisasi atau subsistem kebijakan dalam suatu batas lingkungan tertentu melandasi terbentuknya jejaring kebijakan. (Wardeen ,1992 : 29 -52 ) Hubungan pemerintah dengan kelompok kepentingan dalam masyarakat itu disebut jejaring kebijakan. Hubungan yang erat antara pemerintah dengan stakeholders dalam jejaring kebijakan inilah yang menentukan tercapainya kepentingan publik.
Jejaring kebijakan mengandung dua arti: pertama : berarti menjalin kontak untuk mendapatkan keuntungan dan yang kedua : saling terhubung. Konsep ini memberikan perhatian bagaimana kebijakan muncul dari kesinambungan ( interplay) antara orang dan organisasi dan memberikan gambaran yang lebih informal tentang bagaimana kebijakan riil dilaksanakan. Diversitas yang semakin besar dalam masyarakat, disesuaikanya program kebijakan dengan target dan fungsi spesifik dan peningkatan jumlah partisipan dalam proses kebijakan membuat metafora jaringan dianggab lebih cocok dalam paradigma baru kebijakan publik di aras otonomi daerah dari pada model pluralisme atau korporatime (Parson 2005 : 186-187 )
Jejaring kebijakan merupakan Autopoiesis atau mencipta diri , membentuk pola jaringan yang di dalamnya setiap komponen berpartisipasi dengan komponen lain dalam jaringan untuk menghasilkan kegiatan, produksi, transformasi jaringa sehingga merupakan suatu sistem.
Semakin jauh posisi masyarakat dengan pemerintah, maka masyarakat akan semakin kesulitan untuk mengetehui kebijakan, namun sebaliknya ketika posisi masyarakat dekat dengan pemerintah maka peluang untuk mengawasi, mengontrol proses kebijakan semakin besar.
Melihat latar belakang pemikiran tentang penyelanggaraan otonomi daerah yang ditekankan pada dua aspek yaitu: (1) menciptakan ruang/ peluang bagi masayrakat untuk mengembangkan dirinya dan (2) mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mampu memanfaatkan ruang/ peluang yang tercipta., pemikiran diatas adalah merupakan prinsip dasar kemandirian local. Hubungannya dengan kebijakan public dalam pelaksanaan otonomi daerah, maka pemerintah desa menjadi basis utama , namun ini bisa jadi sebuah peluang atau juga sebuah ancaman yang harus dihadapi dan diselesaikan. Pada tataran legal formal DPRD adalah policy maker yang bertanggung jawab melakukan pengaturan lebih lanjut tentang pemerintahan dan pembangunan desa, ini adalah tugas berat. Tetapi dalam tataran realitasnya, barangkali sering kita lihat bahwa DPRD adalah sebuah lembaga pemerintah daerah sebatas symbol yang sering kali kerjanya melakukan konspirasi dengan eksekutif dalam pembuatan kebijakan public, yang sering kali pula tidak mempedulikan kepentingan masyarakat.
Quinn https://woof.tube/stream/Bfp6y5gFJD5Otonomi daerah yang berkarakter desentralistik sebenarnya adalah wajah baru system pemerintahan Indonesia menuju penyelengaran pemerintahan yang demokratis. Proses transisi demokrasi dan desentralisasi pada gilirannya akan berimplikasi pada signifikansi terhadap kebijakan Publik dalam arti, seiring dengan proses demokratisasi dan desentralisasi, kebijakan public mestinya lebih berbasis kepentingan public, atau lebih mampu menjawab kepentingan public, yang akan bermuara pada upaya peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat, menuju tercapainya cita-cita bangsa. Ini dapat berpeluang terjadi setidaknya karena dua pertimbangan :
Seiring proses demokratisasi, mestinya terjadi peningkatan komitmen pembuat kebijakan public untuk mengakomodasi kepentingan public dalam kebijakan public.
Seiring desentralisasi, kebijakan public dirumuskan oleh pembuat kebijakan tingkat local, yang asumsinya lebih memahami kepentingan dan kebutuhan public, sekaligus juga mengetahui potensi sumber daya yang ada di daerahnya masing-masing. Jadi tantangan paling krusial di era sekarang ini terkait dengan kebijakan public adalah bagaimana kebijakan public lebih mampu mengakomodasi aneka kepentingan public, untuk selanjutnya melalui kebijakan public yang demikian kebutuhan masyarakat akan lebih terpenuhi ditengah-tengah keterbatasan sumber daya yang tersedia.
Namun perlu diingat bahwa era transisi yang demikian harus dikawal ketat oleh banyak pihak terutama komunitas diluar lembaga formal, seperti LSM, atau NGOs lainya yang mempunyai fungsi dan peran agen control social. Sehingga proses transisi bisa terselamatkan .dari jurang totaliterisme, otoriterisme dan militeristik. Senada ini Samuel P, Humitington mengatakan bahwa negara dunia ketiga atau negara berkembang yang sedang melakukan proses transisi demokrasi seyogyanya harus menjaga dan menyelamatkan pada masa transisi tersebut. Ketika negara tersebut gagal dalam menyelamtkan masa transisinya menuju demokrasi sejati, maka pemerintahanya akan kembali pada system otoriterianistik, totaliterianistik dan militeritik dengan kondisi yang lebih parah.
Untuk memadukan otonomi daerah dengan kebijakan publik haruslah dibarengi dengan kesungguhan para pejabat pemerintah untuk memberdayakan keterlibatan secara aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan Di Indonesia, desentralisasi dan otonomi daerah telah berjalan , setelah daerah menunggu dan menuntut otonomi dan keadilan selama beberapa dekade. Selama itu juga daerah menikmati bulan madu otonomi daerah, yakni bergulat dengan keleluasaan daerah, keragaman lokal dan “pesta” demokrasi lokal. Daerah terus-menerus sibuk melakukan penataan kelembagaan secara internal, sekaligus bertempur dengan pusat yang mereka nilai tidak rela menjalankan otonomi daerah. Pada saat yang sama pemerintah daerah menghapi harapan dan tuntutan masyarakat yang melambung tinggi. Di tempat lain kalangan aktivis dan organisasi masyarakat sipil menyambut otonomi daerah dengan cara berbicara tentang demokrasi lokal, transparansi, akuntabilitas, partisipasi dan pemberdayaan rakyat. Mereka terus-menerus melakukan kajian dan kritik terhadap buruknya penyelenggaraan otonomi daerah. Tetapi pada saat yang sama, publik bahkan orang awam terus bertanya (jika tidak bisa disebut kecewa) apa relevansi otonomi daerah dan demokrasi lokal bagi kesejahteraan rakyat.
Pertanyaannya, bagaimana desentralisasi membuat kesejahteraan? Bagaimana “janji politik” menciptakan “janji kebijakan” untuk kesejahteraan? Dan sejauh mana Indonesia telah berada dalam pencapaian kondisi ideal dalam kerangka demokrasi dan desentralisasi ini.
Semenjak diterapkannya UU No. 22/1999 lalu UU No. 32/2004, banyak masalah lahir. Di antara ketidaksiapan menjalankan prinsip-prinsip desentralisasi yang memuat nilai demokrasi. Evaluasi singkat atas pelaksanaan program otonomi daerah sepanjang reformasi ini nampaknya masih banyak ditemui adanya penyimpangan dan penyempitan makna. Cita-cita ideal dari otonomi daerah belum sepenuhnya tegas, dan dampkanya penyimpangan dan penyempitan makna dalam pelaksanaan otonomi daerah itu sering sekali terjadi.
Saat ini banyak warga merasakan kondisi yang tidak nyaman, yang disebabkan oleh tidak berjalannya kebijakan publik secara tepat. Kebijakan publik yang berjalan justru banyak menciptakan kondisi ketidakpastian khususnya yang menyangkut pada kebijakan publik bidang ekonomi. Jalannya negara ini seperti tidak mempunyai arah tertentu untuk kepentingan ekonomi jangka panjang. Kebijakan publik yang berjalan seperti kebijakan tutup lubang gali lubang, menyelesaikan masalah yang menyangkut hal hal yang berlaku sesaat saja. Koordinasi antar kebijakan publik yang dijalankan oleh berbagai departemen juga sangat terbatas. Sebenarnya hal seperti ini tidak boleh terjadi karena dapat mengurangi manfaat dari kebijakan itu sendiri. Public policy consists of courses of action - rather than separate, discrete decision or actions - performed by government officials. Antara satu kebijakan publik dengan kebijakan publik lainnya harus mempunyai kaitan yang saling menudukung. Jadi tidak berjalan sendiri sendiri.
Sebagai contoh kebijakan publik yang gali lubang tutup lubang dan menyelesaikan masalah sesaat adalah bagaimana mungkin harga minyak goreng dapat dinormalkan sementara ekspor CPO didorong secara habis-habisan. Kebijakan publik di persimpangan jalan antara perlunya devisa dengan normalnya harga minyak goreng. Bagaimana mungkin ada ekspor beras sementara beberapa bulan lalu Indonesia adalah negara pengimpor beras terbesar. Padahal kita tahu dunia akan mengalami krisis pangan dan kita sadar iklim panas akan berkepanjangan yang akan mempengaruhi produksi padi. Namun ini semua menjadi mungkin karena pemerintah di dalam menyusun kebijakan selalu berdasarkan keadaan sesaat dan dalam jangka pendek.
Dalam fase otonomi daerah muncul paradigma reinventing government dan goog governance bukan hanya memeicu tampilnya konsep otonomi, partisipasi, efisiensi dan pelayanan publik, tetapi juga memicu tampilnya jejaring kebijakan, Good governance memiliki 3 pilar yaitu : 1) pemerintah, 2) masyarakat, 3)swasta. Jaring kebijakan yang terbentuk antara tiga pilar ini akan semakin memperkuat pelaksanaan Goog Governance.
Jejaring dalam kebijakan memiliki pengertian yang berbeda dengan partisipasi, Jejaring kebijakan bukan hanya menuntut peranserta atau keterlibatan para aktor sebagai partisipan, melainkan juga hubungan saling menguntungkan dintara partisipan, aktor pemerintah , swasta dan masyarakat.
Jejaring kebijakan juga berbeda dengan koordinasi, dalam koordinasi terkandung suatu agreement diantara aktor untuk mencapai tujuan bersama dengan pemerintah sebagai aktor utama. Jejaring kebijakan justru mengandung konflik diantara aktor karena perbedaan kepentingan, namun konflik tersebut harus dapat dipersatukan dalam beberapa koalisi untuk mencapai tujuan dengan aktor utama tidak selalu dari unsur pemerintah.
Kekuatan konflik dan koalisi aktor jejaring kebijakan menentukan tercapanya kepentingan publik dalam kebijakan publik. Hubungan diantara para aktor dalam wadah organisasi merupakan subsistem kebijakan. Subsistem kebijakan sebagai jejaring kebijakan ruang gerak dibatasi oleh lingkungan, demikian juga hubungan diantara aktor dalam wadah organisasi atau subsistem kebijakan dalam suatu batas lingkungan tertentu melandasi terbentuknya jejaring kebijakan. (Wardeen ,1992 : 29 -52 ) Hubungan pemerintah dengan kelompok kepentingan dalam masyarakat itu disebut jejaring kebijakan. Hubungan yang erat antara pemerintah dengan stakeholders dalam jejaring kebijakan inilah yang menentukan tercapainya kepentingan publik.
Jejaring kebijakan mengandung dua arti: pertama : berarti menjalin kontak untuk mendapatkan keuntungan dan yang kedua : saling terhubung. Konsep ini memberikan perhatian bagaimana kebijakan muncul dari kesinambungan ( interplay) antara orang dan organisasi dan memberikan gambaran yang lebih informal tentang bagaimana kebijakan riil dilaksanakan. Diversitas yang semakin besar dalam masyarakat, disesuaikanya program kebijakan dengan target dan fungsi spesifik dan peningkatan jumlah partisipan dalam proses kebijakan membuat metafora jaringan dianggab lebih cocok dalam paradigma baru kebijakan publik di aras otonomi daerah dari pada model pluralisme atau korporatime (Parson 2005 : 186-187 )
Jejaring kebijakan merupakan Autopoiesis atau mencipta diri , membentuk pola jaringan yang di dalamnya setiap komponen berpartisipasi dengan komponen lain dalam jaringan untuk menghasilkan kegiatan, produksi, transformasi jaringa sehingga merupakan suatu sistem.
Loading...
No comments:
Post a Comment