Pendidikan nilai moral adalah pendidikan yang berusaha mengembangkan komponen-komponen integrasi pribadi. Integrasi pribadi dapat dilukiskan sekurang-kurangnya dengan empat gambaran kepribadian. Menurut John P. Miller (1976: 5), gambaran kepribadian menunjukkan beberapa karakteristik.Pertama, pribadi yang terintegrasikan selalu melakukan pertumbuhan dan perkembangan.
Maksudnya, ia memandang hidupnya sebagai suatu proses menjadi dan berusaha memilih pengalaman-pengalaman yang mengakibatkan perkembangan tersebut. Oleh karenanya, ia berani menanggung resiko dan menghadapi konflik, selagi ia tahu bahwa tanpa resiko itu perkembangannya tertahan. Dengan kata lain,ia memiliki kesadaran terhadap perubahan perkembangan yang mesti dialami.
Pendidikan Nilai Moral ditinjau dari Perspektif Global Kedua, pribadi yang terintegrasikan memiliki kesadaran akan jati dirinya dan identitasnya. Dia dapat mengenal dan menjelaskan nilai-nilai dan keyakinan yang ia percayai dan menegaskannya secara terbuka, sejauh nilai-nilai itu menjadi kesatuan dengan jati dirinya.
Walaupun ia memiliki kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan orang lain, jati diri atau identitas yang telah ia kembangkan adalah miliknya dan tidak disandarkan pada harapan orang lain atas dirinya. Jati diri yang ia miliki terbentuk dari proses kesadaran memilih dan keteguhan hatinya. Ketiga, pribadi yang terintegrasikan senantiasa terbuka dan peka terhadap kebutuhan orang lain.
Dia tidak memutuskan diri dari orang-orang dan dia dapat mengkomunikasikan rasa empatinya secara jelas terhadap orang lain. Dia secara efektif dapat berfungsi dalam suatu situasi kelompok. Keempat, pribadi yang terintegrasikan menggambarkan suatu kebulatan kesadaran. Dia merasakan suatu keseimbangan antara hati dan pikirannya. Ia mengalami rasa keutuhan pribadinya.Dia dapat menggunakan daya kemampuan intuisi, imajinasi, dan penalarannya.
Pendidikan nilai moral tawaran John P. Miller tersebut di atas tidak jauh berbeda dengan tawaran Kohlberg. Artinya, John P. Miller pun beranggapan bahwa pendidikan nilai moral itu berfokus pada pembentukan pribadi secara integratif.
Oleh karena itu, pendidikan nilai moral bersifat individualistis. Pendidikan nilai merupakan bagian dari pendidikan afeksi karena aspek sistem nilai merupakan salah satu bagian dari aspek afeksi. Selengkapnya, aspek afektif meliputi harga diri, minat, motivasi, sikap, sistem nilai, dan keyakinan.Ada beberapa model pendidikan afektif (nilai) yang dapat dipertimbangkan. Sekurang-kurangnya, ada tujuh belas model. Setiap model mem-punyai tujuan yang berbeda.
Berdasarkan arah atau orientasinya, sejumlah model dapat digolongkan dalam satu rumpun. Tujuh belas model pembelajaran afektif yang ada dapat dikelompokkan ke dalam empat buah rumpun dengan sifat penggolongan yang tidak ketat. Empat buah rumpun model pendidilan afektif itu adalah (i) model-model perkembangan (developmental models), (ii) model-model pengenalan diri (selfconceps models), (iii) model-model kepekaan dan kecenderungan-kelompok (sensitivity and group-orientation models), dan (iv) model-model perluasan kesadaran (consciousness-expansion models.
Model pendidikan afektif yang dipandang relevan dengan pendidikan nilai adalah model komunikasi, model kepekaan perhatian, model analisis transaksional, model membangun hubungan manusiawi, dan model kejiwaan sosial. Setiap model pembelajaran itu harus memenuhi kerangka kerja yang meliputi arah teori, penerapan kelas, peranan guru, kelayakan model, dan lingkungan belajar. Dengan demikian, tugas guru adalah memilih model yang paling efektif untuk suatu lingkungan tertentu. Pada waktu memilih model, guru harus memperhatikan dua hal.
Pertama, model itu harus memenuhi tujuan dan kepentingan guru, misalnya apabila kepentingan untuk memudahkan terbentuknya jati diri yang positif, yang dipilih ialah salah satu di antara model-model yang tergolong dalam rumpun pengenalan diri (self-concept).
Kedua, model itu harus disesuaikaN dengan keadaan struktur yang dapat dihadapi oleh murid. Beberapa murid memerlukan lingkungan dengan struktur yang ketat dan dapat mengarahkan mereka, sedangkan beberapa murid yang lain lebih cocok dengan situasi yang lebih longgar.
Pendekatan komprehensif pendidikan nilai menurut Kirschenbaum dalam Darmiyati Zuchdi, 2008: 36-37) meliputi pendekatan
(i) inculcating, yaitu menanamkan nilai dan moralitas,
(ii) modelling, yaitu meneladankan nilai dan moralitas,
(iii) facilitating, yaitu memudahkan perkembangan nilai dan moral, dan
(iv) skill development, yaitu pengembangan keterampilan untuk mencapai kehidupan pribadi yang tentram dan kehidupan sosial yang kondusif. Pendekatan dapat dipilih sesuai dengan banyaknya nilai yang dipilih untuk ditanamkan dan dikembangkan.
Nilai-nilai itu dapat diterima peserta didik melalui kedua metode tersebut, baik yang sudah dirancang dalam kurikulum maupun nilai yang terkandung di dalam kurikulum sebagai hiddent curriculum.Yang ditekankan dalam pendidikan nilai adalah keseluruhan proses pendidikan nilai yang sangat kompleks dan menyeluruh yang melibatkan cakupan yang luas dan beragam variasi yang dialami. Oleh karena itu, pendidikan nilai tidak dapat disajikan hanya oleh seorang guru atau hanya dalam satu pelajaran, tetapi diperlukan format yang beragam dari berbagai pelajaran yang mengintegrasikan secara sendiri sendiri atau dengan kombinasi. Berikutnya: Metode dan Teknik Pendidikan Moral
Maksudnya, ia memandang hidupnya sebagai suatu proses menjadi dan berusaha memilih pengalaman-pengalaman yang mengakibatkan perkembangan tersebut. Oleh karenanya, ia berani menanggung resiko dan menghadapi konflik, selagi ia tahu bahwa tanpa resiko itu perkembangannya tertahan. Dengan kata lain,ia memiliki kesadaran terhadap perubahan perkembangan yang mesti dialami.
Pendidikan Nilai Moral ditinjau dari Perspektif Global Kedua, pribadi yang terintegrasikan memiliki kesadaran akan jati dirinya dan identitasnya. Dia dapat mengenal dan menjelaskan nilai-nilai dan keyakinan yang ia percayai dan menegaskannya secara terbuka, sejauh nilai-nilai itu menjadi kesatuan dengan jati dirinya.
Walaupun ia memiliki kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan orang lain, jati diri atau identitas yang telah ia kembangkan adalah miliknya dan tidak disandarkan pada harapan orang lain atas dirinya. Jati diri yang ia miliki terbentuk dari proses kesadaran memilih dan keteguhan hatinya. Ketiga, pribadi yang terintegrasikan senantiasa terbuka dan peka terhadap kebutuhan orang lain.
Dia tidak memutuskan diri dari orang-orang dan dia dapat mengkomunikasikan rasa empatinya secara jelas terhadap orang lain. Dia secara efektif dapat berfungsi dalam suatu situasi kelompok. Keempat, pribadi yang terintegrasikan menggambarkan suatu kebulatan kesadaran. Dia merasakan suatu keseimbangan antara hati dan pikirannya. Ia mengalami rasa keutuhan pribadinya.Dia dapat menggunakan daya kemampuan intuisi, imajinasi, dan penalarannya.
Pendidikan nilai moral tawaran John P. Miller tersebut di atas tidak jauh berbeda dengan tawaran Kohlberg. Artinya, John P. Miller pun beranggapan bahwa pendidikan nilai moral itu berfokus pada pembentukan pribadi secara integratif.
Oleh karena itu, pendidikan nilai moral bersifat individualistis. Pendidikan nilai merupakan bagian dari pendidikan afeksi karena aspek sistem nilai merupakan salah satu bagian dari aspek afeksi. Selengkapnya, aspek afektif meliputi harga diri, minat, motivasi, sikap, sistem nilai, dan keyakinan.Ada beberapa model pendidikan afektif (nilai) yang dapat dipertimbangkan. Sekurang-kurangnya, ada tujuh belas model. Setiap model mem-punyai tujuan yang berbeda.
Berdasarkan arah atau orientasinya, sejumlah model dapat digolongkan dalam satu rumpun. Tujuh belas model pembelajaran afektif yang ada dapat dikelompokkan ke dalam empat buah rumpun dengan sifat penggolongan yang tidak ketat. Empat buah rumpun model pendidilan afektif itu adalah (i) model-model perkembangan (developmental models), (ii) model-model pengenalan diri (selfconceps models), (iii) model-model kepekaan dan kecenderungan-kelompok (sensitivity and group-orientation models), dan (iv) model-model perluasan kesadaran (consciousness-expansion models.
Model pendidikan afektif yang dipandang relevan dengan pendidikan nilai adalah model komunikasi, model kepekaan perhatian, model analisis transaksional, model membangun hubungan manusiawi, dan model kejiwaan sosial. Setiap model pembelajaran itu harus memenuhi kerangka kerja yang meliputi arah teori, penerapan kelas, peranan guru, kelayakan model, dan lingkungan belajar. Dengan demikian, tugas guru adalah memilih model yang paling efektif untuk suatu lingkungan tertentu. Pada waktu memilih model, guru harus memperhatikan dua hal.
Pertama, model itu harus memenuhi tujuan dan kepentingan guru, misalnya apabila kepentingan untuk memudahkan terbentuknya jati diri yang positif, yang dipilih ialah salah satu di antara model-model yang tergolong dalam rumpun pengenalan diri (self-concept).
Kedua, model itu harus disesuaikaN dengan keadaan struktur yang dapat dihadapi oleh murid. Beberapa murid memerlukan lingkungan dengan struktur yang ketat dan dapat mengarahkan mereka, sedangkan beberapa murid yang lain lebih cocok dengan situasi yang lebih longgar.
Pendekatan komprehensif pendidikan nilai menurut Kirschenbaum dalam Darmiyati Zuchdi, 2008: 36-37) meliputi pendekatan
(i) inculcating, yaitu menanamkan nilai dan moralitas,
(ii) modelling, yaitu meneladankan nilai dan moralitas,
(iii) facilitating, yaitu memudahkan perkembangan nilai dan moral, dan
(iv) skill development, yaitu pengembangan keterampilan untuk mencapai kehidupan pribadi yang tentram dan kehidupan sosial yang kondusif. Pendekatan dapat dipilih sesuai dengan banyaknya nilai yang dipilih untuk ditanamkan dan dikembangkan.
DOCP-017 https://woof.tube/stream/MFByZEVEMT3Demikian pula, banyak sumber pengembangan nilai-nilai dan banyak pula faktor lain yang membatasinya. Di sisi lain, keseluruhan kurikulum sekolah berfungsi sebagai suatu sumber penting pendidikan nilai. Aktivitas dan praktik yang demokratis di sekolah merupakan faktor efektif yang mendukung keberhasilan pendidikan nilai, di samping kesediaan peserta didik itu sendiri. Peserta didik tidak dapat terlepas dari pengaruh apa yang dilakukan para guru mereka yang berkenaan dengan pendidikan nilai di sekolah, baik dengan metode langsung maupun tidak langsung.
Nilai-nilai itu dapat diterima peserta didik melalui kedua metode tersebut, baik yang sudah dirancang dalam kurikulum maupun nilai yang terkandung di dalam kurikulum sebagai hiddent curriculum.Yang ditekankan dalam pendidikan nilai adalah keseluruhan proses pendidikan nilai yang sangat kompleks dan menyeluruh yang melibatkan cakupan yang luas dan beragam variasi yang dialami. Oleh karena itu, pendidikan nilai tidak dapat disajikan hanya oleh seorang guru atau hanya dalam satu pelajaran, tetapi diperlukan format yang beragam dari berbagai pelajaran yang mengintegrasikan secara sendiri sendiri atau dengan kombinasi. Berikutnya: Metode dan Teknik Pendidikan Moral
Loading...
No comments:
Post a Comment