“Segala sesuatu memiliki alat dan persiapan. Alat dan persiapan seorang mukmin ialab akalnya. Segala sesuatu memiliki tunggangan (kendaraan) dan kendaraan seseorang ialab akalnya. Segala sesuatu memiliki penyangga dan penyangga agama ialah akal. Setiap kaum memiliki motivator, dan yang memotivasi para ahli ibadah ialah akaInya. Setiap pedagang memiliki barang dagangan, dan barang dagangan para mujahid ialah akal. Setiap keluarga memiliki pengatur, dan pengatur orang‑orang yang benar yang menisbatkan dirinya kepada‑Nya dan menyebut-nyebut‑Nya adalah akal. Dan setiap orang bepergian memiliki tenda, dan tenda orang‑orang mukmin ialah akal. ” (H.R. Al‑Harits bin Usamah dari Ibnu Abbas ra)
Umar bin Khathab ra pernah berkomentar mengenai akal dengan katanya: Mahkota seseorang adalah akalnya, derajat seseorang adalah agamanya, dan harga diri seseorang adalah ahklaqnya.”
Seorang sastrawan menggambarkan akal sebagai berikut: “Teman setiap orang adalah akalnya, dan musuhnya adalah kebodohannya. Allah sungguh telah menjadikan. akal sebagai pangkal agama dan juga tiangnya.”
Betapa pentingnya peranan akal dalam kehidupan kita. Akal sebagai alat dan persiapan seorang mukmin dalam menjalani kehidupannya. Dan demi menyempurnakan serta menjaga akal kita agar bisa berfungsi secara optimal, maka kita harus menjadikan takwa sebagai bekal hidup kita.
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik‑baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada‑Ku hai orang‑orang yang berakal.” (Q.S. Al‑Baqarah [21:197)
Dari Sa’id bin al‑Musayyab bahwa Umar, Ubai bin Ka’ab dan Abu Hurairah ra pernah menghadap Rasulullah Saw lalu mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling mengerti itu?” Beliau menjawab: “Orang yang berakal. ” Mereka mereka bertanya lagi, “Siapakah orang yang paling ahli ibadah?” Beliau menjawab: “Orang yang berakal. Mereka bertanya lagi, “Siapakah orang yang paling utama?” Beliau menjawab: “Orang yang berakal. ” Mereka. bertanya lagi: “Bukankab orang yang berakal itu orang yang sempurna dalam menjaga barga dirinya, jelas kefasihannya, yang pemurah tangannya, dan mulia kedudukannya?” Lalu Beliau membaca Q.S. Az‑Zukhruf [43]:35 yang artinya: “Dan semua itu tiada lain adalah kesenangan kehidupan dunia, dan kebidupan akbirat itu di sisi Tubanmu adalah bagi orang‑orang yang takwa. Dan sesunggubnya orang‑orang yang berakal itu ialab orang yang bertakwa walaupun dalam kebidupan dunia ini ia tergolong rendah dan hina. ” (H.R. Al‑Harits bin Usamah)
Apa Akal Itu dan Hubungannya dengan Intelektual
Sayyid Hossein Nasr menyebut akal sebagai proyeksi atau cermin dari hati (qalb), tempat keyakinan dan kepercayaan manusia. Dengan itu akal bukan hanya instrumen untuk mengetahui, melainkan juga menjadi wadah bagi “penyatuan” Tuhan dan manusia.
Teori Akal Aktif dari Ibnu Sina dan Al‑Kindi maupun hierarki ilmu dari Al‑Farabi dapat menjelaskan hal itu. Dalam diri manusia, akal bersifat potent yang kemudian mewujud dalam bentuk jiwa (spirit).
Menurut Rhenis Meister Echart; di dalam jiwa seseorang terdapat sesuatu yang tidak diciptakan dan tidak mungkin dibentuk (oleh manusia). Sesuatu itu adalah intelect. ”
[SSNI-357] Part 1: https://www.asianclub.tv/f/yx93jmqkqvl Part II : https://www.asianclub.tv/f/1lo6j1q8l95
Akal, menurut Abi al‑Baqa’ Ayyub Ibn Musa al‑Kufi memiliki banyak nama. Tercatat empat nama yang menonjol:
(1) Al‑lub, karena ia merupakan, cerminan kesucian dan kemurnian Tuhan. Akivitasnya adalah berdzikir dan berpikir.
(2) Al‑bujab, karena akal ini dap’at menunjukkan bukti‑bukti yang kuat dan mnguraikan hal‑hal yang abstrak.
(3) Al‑bijr, karena, akal mampu mengikatkan. keinginan seseorang hingga membuatnya dapat menahan diri, dan
(4) Al‑nuba, karena akal merupakan puncak kecerdasan, pengetahuan dan penalaran.
Mungkinkah Akal Manusia itu Dikembangkan
“Dan janganlab kamu serahkan kepada orang‑orang yang belum sempurna akalnya. ” (Q.S. Al‑Nisaa’ [41]:5)
“Dan janganlab kamu memakan barta anak yatim lebib dail batas kepatutan dan janganlab kamu) tergesa‑gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.” (Q.S. Al‑Nisaa’ [4]:6)
Dalam ayat di atas, dijelaskan bahwa akal manusia itu mengalami perkembangan dari tidak sempurna menuju sempurna. Maka mengembangkan akal manusia agar menjadi lebih baik adalah sangat mungkin, sebagaimana yang telah diisyaratkan, dalam ayat di atas. Dalarn ayat tersebut dijelaskan bahwa manusia, itu mengalami perkembangan baik tubuh maupun kernampuan berpikirnya (kecerdasan)
Pernah imam Syafi’i ditanya: “Apakah kemarnpuan akal itu merupakan potensi yang dibawa sejak lahir?” Jawabnya: “Tidak, tapi akal. itu adalah hasil pergaulan dengan banyak orang dan berdiskusi dengan mereka.”
Di lain kesempatan, Imam Syafi’i pernah menganjurkan kepada siapa yang ingin akalnya menjadi jenius agar belajar matematika dengan perkataannya: “Siapa yang mempelajari matematika maka jeniuslah akalnya“. Oleh : Masrukhin, M.Pd
Loading...
No comments:
Post a Comment