Pengertian Demokrasi, Pemikiran Tentang Demokrasi , Ciri-Ciri Demokrasi, Prinsip-Prinsip Demokrasi, dan Demokratisasi
Konsep demokrasi bukanlah hal yang sama sekali baru bagi dunia internasional. Konsep demokrasi tertua telah diperkenalkan secara implisit oleh filsuf Yunani kuno, yakni Plato dan Aristoteles. Akan tetapi, posisi demokrasi dalam ketatanegaraan berdasarkan pemikiran filsuf-filsuf tersebut belumlah substansial seperti masa sekarang. Hal itu disebabkan demokrasi dianggap merupakan konsep negara yang buruk dalam dunia filsuf Yunani saat itu.
Pada masa-masa selanjutnya nilai demokrasi ditelan oleh konsep negara politea dan otokrasi, hal ini sejalan dengan pemikiran Santo Agustinus dan Thomas Aquina. Sedangkan pada masa berikutnya, yakni pada masa pemikiran Machiavelli dan Thomas Hobbes, konsep demokrasi mengalami nasib naas, dikubur oleh kekuasaan yang terpusat pada satu penguasa saja. Selanjutnya, demokrasi mulai mendapatkan angin segar dari Montesquieu dan J.J. Rousseau sehingga meraih kepercayaan diri sebagai konsep negara yang idealis dan banyak diidam-idamkan oleh orang-orang di dunia, khususnya orang-orang yang tertindas. Demokrasi meraih momentum keemasan ketika ia diembeli oleh nilai-nilai liberalisme seperti kebebesan berpendapat dan kebebasan pasar ekonomi yang seluas-luasnya.
Berbeda dengan pemikir-pemikir barat era sebelumnya, seperti yang telah disebutkan di atas, Freidrich Engels, Karl Marx dan Engels muncul sebagai pemikir radikal yang kontroversional. Dinamakan kontroversional karena seolah-olah pemikiran ketiganya mendirikan parameter jelas yang membatasi konsep demokrasi yang berlebihan. Dikatakan oleh ketiganya, bahwa demokrasi yang dijunjung tinggi oleh demokrasi mesti diawasi oleh keterlibatan pemerintah pusat dalam melakukan kontrol yang ketat, bila perlu.
Berikut dalam tulisan ini akan dibahas satu persatu perspektif pemikir barat dalam menerjemahkan konsep demokrasi sesuai dengan konteks zamannya masing-masing dengan harapan semoga tulisan ini menjadi bacaan ringan dan menambah pengetahuan pembaca budiman. Segala kritik dan saran diterima dengan terbuka demi memperbaiki tulisan ini di masa datang.
Dalam sejarah awal perkembangannya demokrasi juga memakan korban. Socrates, filsuf terkemuka negara Yunani kuno, sangat kritis membela pemikiran-pemikirannya, yaitu agar kaum muda tidak mempercayai para dewa dan mengajari mereka untuk mencapai kebijaksanaan sejati dengan berani bersikap mencintai kebenaran sehingga terhindar dari kedangkalan berpikir.
Socrates sangat meyakini adanya kebenaran mutlak, maka para penguasa Athena menganggap Socrates sebagai oposan. Mereka menganggap Socrates menyesatkan dan meracuni kaum muda dengan ajaran-ajarannya. Socrates menemukan argumen untuk membela diri, yaitu dengan metode induksi (penyimpulan dari khusus ke umum). Dengan metode induksi ini ia menentukan pengertian umum yang berhasil membuktikan bahwa tidak semua kebenaran itu relatif.
Meskipun tidak meninggalkan ajaran gurunya, Plato mengungkapkan bahwa kebenaran yang mutlak terletak pada ide dan gagasan yang abadi. Seluruh filsafat Plato bertumpu pada ide yang menurutnya realitas (kenyataan) sebenarnya dari segala sesuatu yang ada dan dapat dikenal lewat panca indra.
Melalui idealisme yang empiris, Plato mengungkapkan bahwa hal terpenting berhubungan dengan penguasa adalah,penguasa mesti berasal dari kalangan filsuf. Dengan sejumlah argumentasi, menurut Plato, hanyalah filsuf yang dibekali dengan nilai-nilai kebenaran. Landasan pemikiran Plato tentang negara berawal dari idenya yang menggolongkan manusia ke dalam kelas dalam negara, berturut terdiri dari akal, semangat, dan nafsu yang kemudian memperoleh interpretasi berbeda yakni sebagai penasihat, militer, dan pedagang.
Plato mempercayai bahwa masing-masing individu mesti melaksanakan fungsinya dengan sebaik-baiknya dan tidak ada pelanggaran hierarkis. Hierarki inilah yang kemudian dipertahankan oleh plato sebagai justifikasi pemikirannya mengenai demokrasi. Artinya, demokrasi kerakyatan tidak bisa diterima oleh pemikiran plato seperti di atas karena rakyat biasa tidak mempunyai waktu untuk memikirkan negara, dan lebih pentingnya lagi, Plato menegaskan bahwa rakyat tidak memiliki pengetahuan ketatanegaraan sama sekali. Penyerahan wewenang pada rakyat yang demikian sepenuhnya merupakan awal kehancuran suatu entitas kekuasaan itu sendiri.
Pemikiran ini serupa dengan muridnya Aristoteles, meskipun sedikit berbeda, Aristoteles dan Plato berbagi kemiripan landasan pemikiran. Pemikiran Aristoteles mengenai demokrasi diungkapkan dalam pandangannya mengenai warganegara. Menurutnya tidak semua individu dikelompokkan ke dalam warganegara. Warganegara adalah individu yang memiliki waktu untuk memperluas pengetahuan tentang urusan publik dan mengupayakan kewajiban. Sebaliknya, individu yang secara alamiah merupakan budak dan kelas produsen, petani tidak masuk kategori warganegara. Singkat cerita, implementasi pemikiran Aristoteles terdapat pada pengertian, filsuf yang notabene mengusahakan kebajikan bisa disebut warganegara; sementara budak, bukan warganegara. Jadi ketika wewenang diberikan kepada individu secara meluas seperti golongan petani, golongan penghasil produsen, dan budak, mengakibatkan negara berada pada bentuk terburuknya. Hal ini ditegaskan oleh tulisan Aristoteles, Republik, yang menempatkan bentuk negara demokrasi sebagai bentuk terburuk suatu negara.
Ia meletakkan bentuk negara politea yang berdasarkan dengan konsep ketuhanan sebagai konsep negara paling baik. Secara simbolis ia mengungkapkan bahwa penguasa tunggal, monarki, merupakan representasi Tuhan di dunia. Ia melihat wewenang representasi Tuhan tersebut mesti diikuti oleh rakyat umum atas dasar nilai kebaikan dan kepatuhan bersama. Secara singkat ini menyiratkan seolah Tuhan mengatur kehidupan ketatanegaraan, semacam bentuk negara kesemakmuran Kristiani. Sehingga ia melihat konsep negara dengan wewenang terletak pada rakyat luas—demokrasi, sebagai suatu negara yang tidak ideal karena negara demokrasi merupakan refleksi negara duniawi yang penuh dengan kekacauan, pertikaian, dan peperangan.
Dalam beberapa tulisannya dia memperkenalkan konsep pemahaman dalam memahami fenomena budak sebagai keadaan alamiah yang mesti diterima dengan lapang sebagai suatu keadaan dalam rangka upaya untuk menebus dosa. Masyarakat bawah menurutnya terdiri dari banyak orang yang masih berposisi budak. Sehingga ketika wewenang diberikan pada rakyat secara luas, maka wewenang tersebut cenderung dilaksanakan jauh dari cita-cita negara Tuhan.
Selain itu, Thomas Aquinas lahir 1225, terkenal dengan tulisannya Summa Theologika. Ia mengatakan bahwa hakikat manusia adalah berasal dari tuhan, yang mana tuhan kemudian menetapkan bahwa manusia adalah makhluk sosial dan politik. Dalam tulisanya ia juga sering mengusung pola hukum yang meliputi hukum kodrat, hukum alam dan hukum abadi. Menurutnya negara merupakan aktualisasi sifat alamiah manusia, sehingga terbentuknya suatu negara merupakan cerminan kebutuhan kodrati manusia.
Negara memuat serangkaian kewajiban salah satunya adalah mengarahkan setiap kelas-kelas sosial dalam masyarakat untuk mencapai tujuan bersama sesuai dengan doktrin kristiani meyakini keberadaan alam akhirat yang abadi.
Dalam hal ini, pemikiran Thomas Aquinas tidak jauh berbeda dengan Santo Agustinus. Keduanya memiliki pandangan yang sama bahwa negara mesti dibentuk oleh nilai ketuhanan. Bentuk negara yang sesuai dengan cita-cita keduanya yakni politea.
Thomas Aquinas berpikirn bahwa tentang kehendak bebas manusia dan tujuan akhir manusia yang selalu bermuara pada kebaikan, idealnya, pada tujuan ketuhanan. Meski tidak dijelaskan secara tersurat dalam berbagai tulisan baik Santo Agustinus dan Thomas Aquinas mengenai posisi demokrasi. sedikit sekali mereka menyinggung bentuk negara demokrasi. adapun Thomas Aquinas pernah mengatakan bahwa bentuk negara terbaik adalah monarki, dan yang terburuk adalah tirani denga tambahan demokrasi, setidaknya telah mendapatkan posisi yang lebih baik daripada dulu pada zaman filsuf. Menurutnya, demokrasi, meskipun buruk, tapi masih lebih baik daripada tirani.
Pemikiran ini selaras dengan Thomas Hobbes. Meninggalkan pemikiran ekstrem Machiavelli, Thomas Hobbes, meletakkan demokrasi di tempat terburuk, dan monarki di tempat tertinggi dalam hierarki bentuk negara sesuai dengan pemikirannya. Menurutnya pemerintahan akan sebaik-baiknya dijalankan jika kekuasaan terpusat pada satu orang saja. Akan tetapi, meletakkan adanya kewenangan dalam menjalankan kekuasaan tersebut. Kewenangan tersebut diperoleh dari kontrak sosial dimana sekelompok orang secara pasrah dan sadar memberikan seluruh kekuatan politiknya pada orang di luar kelompok mereka. kontrak sosial memiliki kemiripan struktur dengan bentuk negara demokrasi saat ini. Kemiripan tersebut dapat ditelusuri pada periode pemikir barat selanjutnya, yakni JJ Russeau melalui penerbitan lembaga-lembaga pemerintahan atau biasa dikenal dengan distribusi kekuasaan.
‘Manusia dilahirkan bebas’, merupakan … JJ Russeau. Ia mengungkapkan adanya kehendak umum sebagai bentuk penyatuan sosial yang menciptakan pribadi kolektif baru, yaitu negara. JJ Russeau memperkenalkan untuk pertama kalinya konsep kedaulatan rakyat yang menempatkan kebebasan manusia sejajar dengan kehendak negara. kedaulatan rakyat ini bersifat tidak terbatas dan tidak dapat dibagi-bagi. Akan tetapi, kewenangan untuk menjalankan kedaulatan rakyat. Karena rakyat adalah subyek hukum maka dia harus menjadi pembautnya, semua anggota komunitas politik memiliki kedudukan sama dalam pembuatan hukum. Keadaulatan ada di tangan komunitas kapasita kolektif. Parlemen yang representatif dipilih oleh rakyat. Individu bebas dari pengaruh orang lain dalam menyatakan kehendak bebasnya. JJ Russeau mengatakan bahwa itdak ada sistem pemerintahan perwakilan, oleh karena itu, pemikirannya tentang konsep kedaulatan rakyat ini biasa dikenal dengan demokrasi langsung.
Berbeda dengan JJ Russeau, prinsip pemerintahan Montesquieu bisa dikategorikan ke dalam tiga kelompok,yakni republik, monarki, dan depotisme. Dalam Republik, Montesquieu mengatakan bahwa nilai penggerak pemerintahan adalah civic virtue dan spirit publik dari rakyat dalam cinta pada negara, kesediaan menundukkan kepentingan diri, patriotisme, kejujuran, keserhanaan dan persamaan. Demokrasi terletak di dalam republiknya Montesquieu, yang didefinisikan sebagai kedaulatan yan gdiserahkan pada lembaga kerakyatan.
Karakter pemerintahan, demokrasi, mencakup kedaulatan tidak bisa dilaksanakan kecuali oleh hak pilih rakyat dalampemilu, yang merupakan kehendak rakyat sendiri. Montesquieu melatarbelakangi konsepsi bahwa kedaulatan rakyat bisa dibagi (didistribusikan) melalui tiga, pemisahan kekuatan pada legislatif, eksekutif, dan yudikatif dengan fungsionalnya masing-masing.
Posisi individu dalam pemikirannya, tidak mungkin bertentangan dengan negara, akan tetapi keberadaannya tetap diakui. Pemirikirannya yang seperti ini berasa dari pengarku pemikiran Kristiani Protestanisme. Konsepnya yang meletakkan rakyat harus sebagai abdi negara seolah menjustifikasi adanya bentuk negara yang demokratis, dalam tanda kutip. Dalam tanda kutip, artinya dengan suatu persyaratan bahwa warganegara wajib dibekali dan memiliki pengetahuan ketatanegaraan untuk kemudian diberi wewenang untuk menjalankan kedaulatan. Akan tetapi, pemikirannya yang Kristiani Protestanisme seolah menegaskan negara dengan orientasi nilai kebaikan yang berlandaskan pada ketuhanan. Seolah Hegel nampak menempatkan kembali negara dengan kekuasaan di tangan abdi negara dan agama dalam posisi sejajar, dan equal.
Berasal dari keadaan politis yang bersangkut paut erat dengan mass produksi dan ekonomi yang menyebabkan terciptanya dua kelas yakni kelas pemilik modal produksi dan kelas yang tidak memiliki modal. Keberadaan dua kelas ini seringkali menciptakan pertentangan. Dilatarbelakangi oleh adanya dua kaum ini, kelas bawah terus menerus berusaha melawan kelas atas dengan menghilangkan kelas. Perjuangan kelas bawah untuk menghilangkan gap tersbut inilah yang seringkali identik dengan perjuangan menuju revolusi. Karl Marx tidak bicara secara khusus tentang demokrasi, sebaliknya ia mendukung adanya regulasi ketat pemerintah, yang mengusung persamaan semua kelas. Pahamnya yang demikian sering dikenal dengan nama sosialis. ia tidak memposisikan demokrasi di ujung tanduk, sebaliknya ia memposisikan kekuasaan mesti diletakkan terpusat. Adapun demokrasi bisa ditarik ke haluan Marx, demokrasi rakyat yang disebut juga demokrasi proletar, adalah demokrasi yang berhaluan Marxisme-komunisme, mencita-citakan kehidupan yang tidak mengenal kelas sosial, manusia dibebaskan dari keterkaitannya kepada kepemilikan pribadi tanpa penindasan dan paksaan. Tetapi untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan cara paksa atau kekerasan.
a. Macam-Macam Demokrasi Berdasarkan Fokus Perhatiannya
Demokrasi formal : Demokrasi yang berfokus di bidang politik tanpa mengurangi sedikitpun kesenjangan ekonomi.
Demokrasi Material : Demokrasi yang berfokus di bidang ekonomi tanpa mengurangi sedikitpun kesenjangan politik.
Demokrasi Gabungan : Demokrasi ini gabungan dari demokrasi formal dan demokrasi material.
b. Macam-Macam Demokrasi Berdasarkan Penyaluran Kehendak Rakyat
Demokrasi Langsung (Direct Democracy): Demokrasi yang secara langsung melibatkan rakyat untuk pengambilan keputusan terhadap suatu negara. Contohnya seperti pemilu.
Demokrasi Tidak Langsung (Indirect Democracy): Demokrasi yang tidak secara langsung melibatkan seluruh rakyat suatu negara dalam pengambilan suatu keputusan. Contohnya seperti suatu keputusan yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat (DPR, DPD, DPRD)
Prinsip Prinsip Demokrasi - Prinsip merupakan kaidah atau ketentuan dasar yang harus dipegang dan ditaati. Prinsip demokrasi adalah beberapa kaidah dasar yang harus ada dan ditaati oleh negara penganut pemerintahan demokratis. Adapun prinsip-prinsip demokrasi tersebut sebagai berikut:
Pengertian negara demokratis adalah negara yang pemerintah dan warganya menjadikan konstitusi sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi dapat diartikan sebagai undang-undang dasar atau seluruh peraturan hukum yang berlaku di sebuah negara. Sebagai prinsip demokrasi, keberadaan konstitusi sangat penting sebab dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Konstitusi berfungsi untuk membatasi wewenang penguasa atau pemerintah serta menjamin hak rakyat. Dengan demikian, penguasa atau pemerintah tidak akan bertindak sewenang-wenang kepada rakyatnya dan rakyat tidak akan bertindak anarki dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajibannya.
2. Jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak dasar atau hak pokok yang dimiliki manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia mencakup hak untuk hidup, kebebasan memeluk agama, kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, serta hak-hak lain sesuai ketentuan undang-undang. Perlindungan terhadap HAM merupakan salah satu prinsip negara demokrasi karena perlindungan terhadap HAM pada hakikatnya merupakan bagian dari pembangunan negara yang demokratis.
3. Kebebasan Berserikat dan Mengeluarkan Pendapat
Salah satu prinsip demokrasi adalah mengakui dan memberikan kebebasan setiap orang untuk berserikat atau membentuk organisasi. Setiap orang boleh berkumpul dan membentuk identitas dengan organisasi yang ia dirikan. Melalui organisasi tersebut setiap orang dapat memperjuangkan hak sekaligus memenuhi kewajibannya. Sejarah demokrasi memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk berpikir dan menggunakan hati nurani serta menyampaikan pendapat dengan cara yang baik. Paham demokrasi tidak membatasi seseorang untuk berpendapat, tetapi mengatur penyampaian pendapat dengan cara bijak.
4. Pergantian Kekuasaan Secara Berkala
Gagasan tentang perlunya pembatasan kekuasaan dalam prinsip demokrasi dicetuskan oleh Lord Acton (seorang ahli sejarah Inggris). Lord Acton menyatakan bahwa pemerintahan yang diselenggarakan manusia penuh dengan kelemahan. Pendapatnya yang cukup terkenal adalah "ower tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely". Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan, tetapi manusia yang memiliki kekuasaan tidak terbatas pasti akan menyalahgunakannya.
Pergantian kekuasaan secara berkala bertujuan untuk membatasi kekuasaan atau kewenangan penguasa. Pergantian kekuasaan secara berkala dapat meminimalisasi penyelewengan dalam pemerintahan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pergantian seorang kepala negara atau kepala daerah dapat dilakukan dengan mekanisme pemilihan umum yang jujur dan adil.
5. Adanya Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
Peradilan bebas adalah peradilan yang berdiri sendiri dan bebas dari campur tangan pihak lain termasuk tangan penguasa. Pengadilan bebas merupakan prinsip demokrasi yang mutlak diperlukan agar aturan hukum dapat ditegakkan dengan baik. Para hakim memiliki kesempatan dan kebebasan untuk menemukan kebenaran dan memberlakukan hukum tanpa pandang bulu. Apabila peradilan tidak lagi bebas untuk menegakkan hukum dapat dipastikan hukum tidak akan tegak akibat intervensi atau campur tangan pihak di luar hukum oleh karena itu, peradilan yang bebas dari campur tangan pihak lain menjadi salah satu prinsip demokrasi.
Peradilan tidak memihak artinya peradilan yang tidak condong kepada salah satu pihak yang bersengketa di muka persidangan. Posisi netral sangat dibutuhkan untuk melihat masalah secara jernih dan tepat Kejernihan pemahaman tersebut akan membantu hakim menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya Selanjutnya, hakim dapat mempertimbangkan keadaan yang ada dan menerapkan hukum dengan adil bagi pihak beperkara.
6. Penegakan Hukum dan Persamaan Kedudukan Setiap Warga Negara di Depan Hukum
Hukum merupakan instrumen untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, pelaksanaan kaidah hukum tidak boleh berat sebelah atau pandang bulu. Setiap perbuatan melawan hukum harus ditindak secara tegas. Persamaan kedudukan warga negara di depan hukum akan memunculkan wibawa hukum. Saat hukum memiliki wibawa, hukum tersebut akan ditaati oleh setiap warga negara.
7. Jaminan Kebebasan Pers
Kebebasan pers merupakan salah satu pilar penting dalam prinsip prinsip demokrasi. Pers yang bebas dapat menjadi media bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi serta memberikan kritikan dan masukan kepada pemerintah dalam pembuatan kebijakan publik. Di sisi lain, pers juga menjadi sarana sosialisasi program-program yang dibuat pemerintah. Melalui pers diharapkan dapat terjalin komunikasi yang baik antara pemerintah masyarakat.
Kesetaraan hak membuat setiap masyarakat dapat ikut serta dalam sistem politik .
Pemegang kekuasaan dipilih menurut suara dan keinginan rakyat.
Mencegah terjadinya monopoli kekuasaan.
Kelemahan atau Kekurangan Demokrasi
Kepercayaan rakyat bisa dengan mudah digoyangkan melalui pengaruh-pengaruh negatif. Contohnya media yang tidak netral dalam menyampaikan informasi.
Kesetaraan hak dianggap tidak adil karena menurut para ahli, setiap orang mempunyai pengetahuan politik yang tidak sama.
Konsentrasi pemerintah yang sedang menjabat akan berkurang ketika mendekati pemilihan umum berikutnya.
Membangun Demokrasi
Dalam membangun demokrasi, negara Indonesia telah melewati masa transisi dari demokrasi semu (masa orde baru) ke demokrasi yang sesungguhnya. Dalam dekade terakhir negara ini banyak mengalami kemajuan dalam berdemokrasi.
Para pimpinan lembaga negara sepakat bahwa kunci sukses membangun demokrasi Indonesia adalah dengan memperkuat empat pilar kebangsaan, yaitu:
Pancasila
UUD 1945
NKRI
Bhinneka Tunggal Ika.
Empat pilar tersebut merupakan pondasi negara ini. Perjuangan gigih dari founding father (Bapak pendiri) bangsa ini telah dicetuskan untuk membangun demokrasi. Dengan memperkuat empat pilar tersebut diharapkan agar para Pimpinan Lembaga Negara dapat mengatasi dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini.
Kita tentu mengharapkan kesemuanya dapat berjalan seimbang sehingga tercipta suasana yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peraturan sebagus apapun kalau tidak ditaati dan dipatuhi, maka ia tetap tidak akan sempurna. Sedangkan peraturan yang sederhana tetapi ditaati dan dipatuhi, maka ia akan menjadi peraturan yang sempurna dan membawa kemaslahatan.
Negara sangat dibutuhkan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Dengan memahami dan melaksanakan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang terangkum dalam empat pilar kebangsaan. Maka cukup dengan empat pilar tersebut bila semuanya menjalankan dengan baik dan tulus, maka dapat dipastikan Indonesia akan menjadi negara besar dan berdaulat penuh.
Dari banyaknya negara demokrasi modern saat ini, seluruh rakyatnya masih merupakan satu kekuasaan yang berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan (DPR), hal ini yang disebut dengan demokrasi perwakilan. Konsep demokrasi perwakilan muncul dari ide-ide dan institusi yang berkembang pada abad pertengahan Eropa, era pencerahan (renaissance), dan revolusi Perancis dan Amerika Serikat.
Demokratisasi adalah transisi ke rezim politik yang lebih demokratis. Transisi ini bisa terjadi dari rezim otoriter ke demokrasi menyeluruh, dari sistem politik otoriter ke semi-demokrasi, atau dari sistem politik semi-otoriter ke demokrasi. Hasilnya bisa menguat seperti di Britania Raya atau mundur seperti di Argentina. Berbagai pola demokratisasi digunakan untuk menjelaskan fenomena politik lain, misalnya apakah negara terlibat dalam perang atau ekonominya tumbuh. Demokratisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk pembangunan ekonomi, sejarah, dan masyarakat madani. Hasil ideal dari demokratisasi adalah menjamin rakyat punya hak memilih dan suara dalam sistem politik negaranya.
Demokratisai disuatu system pemerintahan memerlukan proses yang tidaklah mudah. Pada saat perubahan terjadi, selalu ada orang yang tidak ingin melakukan perubahan terus menerus, atau ada manusia yang tidak mampu menyesuaikan diri.Dalam kontes demokratisasi, peran individu yang mampu menerima perubahan itu sangat penting. Untuk itulah, individu harus punya tanggung jawab. Apalagi globalisasi yang terus mendorong perubahan yagn tidak bisa ditahan oleh Negara manapun.
Demokratisasi biasanya terjadi ketika ekspektasi terhadap demokrasi muncul dari dalam Negara sendiri, karna warga negaranya melihat system politik yang lebih baik, seperti yang berjalan dinegara demokrasi lain yang telah mapan, akan bisa juga dicapai oleh Negara tersebut. Dengan kata lain, pengaruh internasional dating sebagai sebuah inpirasi yang kuat bagi warga Negara didalam Negara itu.
Sebuah Negara yang sedang menjalani demokratisasi sangat mudah dipengaruhi oleh factor – factor eksternal. Pengaruh internasional dari sebuah proses demokratisasi bisa terjadi dalam beberapa bentuk, seperti : contagion, control dan conditionality.
Contagion terjadi ketika demokratisasi disebuah Negara mendorong gelombang demokratisasi dinegara lain. Proses demokratisasi di Negara – Negara eropa timur setelah perang dingin usai dan juga gelombang demokratisasi di negara – Negara amerika latin pada tahun 1970 an menajdi contoh signifikan.
Mekanisme control terjadi ketika sebuah pihak diluar Negara berusaha menerapkan demokrasi dinegara tersebut. Misalnya Doktrin Truman 1947 mengharuskan yunani untuk memenuhi beberapa kondisi untuk mendapatkan status sebagai “Negara demokrasi” dan karenanya berhak menerima bantuan anti komunisme dari amerika serikat.
Conditionality yaitu tindakan yang dilakukan organisasi internasional yang memberi kondisi – kondisi tertentu yang harus dipenuhi Negara penerima bantuan.
Pengertian Demokrasi
Pengertian Demokrasi – Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang diambil dari kata Demokratia yang berarti “kekuasaan rakyat”. Demokratia sendiri terdiri dari dua kata yakni demos yang mempunyai arti “rakyat” dan kratos yang mempunyai arti “kekuasaan atau kekuatan”.
Demokrasi mencakup kondisi budaya, ekonomi dan sosial yang memungkinkan dalam terjadinya praktik kebebasan politik baik secara bebas ataupun setara.
Secara umum pengertian demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang setiap warga negara mempunyai hak yang setara dalam pengambilan suatu keputusan yang akan memberikan efek dalam kehidupan mereka. Demokrasi juga bisa diartikan sebagai bentuk kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat.
Dalam demokrasi, warga negara bisa diizinkan untuk berpartisipasi aktif secara langsung atau juga melalui perwakilan dalam melakukan perumusan, pengembangan serta pembuatan hukum.
Pengertian demokrasi menurut Abraham Linclon adalah sistem pemerintahan yang dibuat dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pengertian demokrasi menurut Charles Costello adalah sistem sosial serta politik pemerintahan diri dengan kekuasaan pemerintah yang dibatasi oleh hukum serta kebiasaan untuk melindungi setiap hak perorangan warga negara.
Pengertian demokrasi menurut Hans Kelsen adalah pemerintahan yang dilakukan oleh rakyat dan untuk rakyat. Adapun yang melakukan kekuasaan negara adalah wakil-wakil rakyat yang sudah terpilih. Rakyat sendiri sudah yakin, bahwa segala kepentingannya akan diperhatikan di dalam aturan yang dibuat oleh wakil-wakil rakyatnya dalam pelaksanaan kekuasaan negara.
Demokrasi mencakup kondisi budaya, ekonomi dan sosial yang memungkinkan dalam terjadinya praktik kebebasan politik baik secara bebas ataupun setara.
Secara umum pengertian demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang setiap warga negara mempunyai hak yang setara dalam pengambilan suatu keputusan yang akan memberikan efek dalam kehidupan mereka. Demokrasi juga bisa diartikan sebagai bentuk kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat.
Dalam demokrasi, warga negara bisa diizinkan untuk berpartisipasi aktif secara langsung atau juga melalui perwakilan dalam melakukan perumusan, pengembangan serta pembuatan hukum.
[BGN-054] https://mm9841.com/v/8x9p66-q-qo
Pengertian Demokrasi Menurut Para Ahli
Berikut ini beberapa pengertian demokrasi menurut para ahli.Pengertian demokrasi menurut Abraham Linclon adalah sistem pemerintahan yang dibuat dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pengertian demokrasi menurut Charles Costello adalah sistem sosial serta politik pemerintahan diri dengan kekuasaan pemerintah yang dibatasi oleh hukum serta kebiasaan untuk melindungi setiap hak perorangan warga negara.
Pengertian demokrasi menurut Hans Kelsen adalah pemerintahan yang dilakukan oleh rakyat dan untuk rakyat. Adapun yang melakukan kekuasaan negara adalah wakil-wakil rakyat yang sudah terpilih. Rakyat sendiri sudah yakin, bahwa segala kepentingannya akan diperhatikan di dalam aturan yang dibuat oleh wakil-wakil rakyatnya dalam pelaksanaan kekuasaan negara.
Pemikiran Tentang Demokrasi
Fenomena demokrasi telah menjadi wacana luas sejak berakhirnya perang dingin di tahun 1991. Runtuhnya simbol kekuasaan komunis yakni Uni soviet menjadi determinasi penerimaan konsep demokrasi secara menyeluruh oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Demokrasi merupakan konsep penyelenggaraan pemerintah yang diusung oleh pemahaman liberal Barat, utamanya Amerika sebagai pencetus pertama konsep demokrasi. Walaupun demikian, banyak pula yang berpendapat bahwa demokrasi secara partikular berakar dari nilai nasionalisme dan kebebasan berpendapat yang berkembang sekitar awal abad 20.Konsep demokrasi bukanlah hal yang sama sekali baru bagi dunia internasional. Konsep demokrasi tertua telah diperkenalkan secara implisit oleh filsuf Yunani kuno, yakni Plato dan Aristoteles. Akan tetapi, posisi demokrasi dalam ketatanegaraan berdasarkan pemikiran filsuf-filsuf tersebut belumlah substansial seperti masa sekarang. Hal itu disebabkan demokrasi dianggap merupakan konsep negara yang buruk dalam dunia filsuf Yunani saat itu.
Pada masa-masa selanjutnya nilai demokrasi ditelan oleh konsep negara politea dan otokrasi, hal ini sejalan dengan pemikiran Santo Agustinus dan Thomas Aquina. Sedangkan pada masa berikutnya, yakni pada masa pemikiran Machiavelli dan Thomas Hobbes, konsep demokrasi mengalami nasib naas, dikubur oleh kekuasaan yang terpusat pada satu penguasa saja. Selanjutnya, demokrasi mulai mendapatkan angin segar dari Montesquieu dan J.J. Rousseau sehingga meraih kepercayaan diri sebagai konsep negara yang idealis dan banyak diidam-idamkan oleh orang-orang di dunia, khususnya orang-orang yang tertindas. Demokrasi meraih momentum keemasan ketika ia diembeli oleh nilai-nilai liberalisme seperti kebebesan berpendapat dan kebebasan pasar ekonomi yang seluas-luasnya.
Berbeda dengan pemikir-pemikir barat era sebelumnya, seperti yang telah disebutkan di atas, Freidrich Engels, Karl Marx dan Engels muncul sebagai pemikir radikal yang kontroversional. Dinamakan kontroversional karena seolah-olah pemikiran ketiganya mendirikan parameter jelas yang membatasi konsep demokrasi yang berlebihan. Dikatakan oleh ketiganya, bahwa demokrasi yang dijunjung tinggi oleh demokrasi mesti diawasi oleh keterlibatan pemerintah pusat dalam melakukan kontrol yang ketat, bila perlu.
Berikut dalam tulisan ini akan dibahas satu persatu perspektif pemikir barat dalam menerjemahkan konsep demokrasi sesuai dengan konteks zamannya masing-masing dengan harapan semoga tulisan ini menjadi bacaan ringan dan menambah pengetahuan pembaca budiman. Segala kritik dan saran diterima dengan terbuka demi memperbaiki tulisan ini di masa datang.
Zaman Yunani Kuno, Plato (429-347 Sm) dan Aristoteles (384-322 SM)
Keilmuan Yunani, pusat awal perkembangan peradaban Barat, memperkenalkan metode-metode eksperimental dan spekulatif guna mengembangkan pengetahuan melalui semangat rasionalisme dan empirisme dengan menempatkan akal di atas segala-galanya. Dengan kata lain sumber kebenaran hanya dapat dikenali melalui akal. Berbeda dengan pemikiran di atas yang lazim di Yunani, Socrates, salah satu pemikir Yunani yang paling signifikan dan inspiratif, mengungkapkan bahwa kebenaran dapat dikenali melalui metode retoriknya. Yakni kebenaran akan diketahui buktinya dengan melakukan investigasi, dengan bertanya, terus-menerus. Athena, tempat lahirnya para filsuf Yunani dahulunya terkenal dengan sistem pemerintahan yang demokratis.Dalam sejarah awal perkembangannya demokrasi juga memakan korban. Socrates, filsuf terkemuka negara Yunani kuno, sangat kritis membela pemikiran-pemikirannya, yaitu agar kaum muda tidak mempercayai para dewa dan mengajari mereka untuk mencapai kebijaksanaan sejati dengan berani bersikap mencintai kebenaran sehingga terhindar dari kedangkalan berpikir.
Socrates sangat meyakini adanya kebenaran mutlak, maka para penguasa Athena menganggap Socrates sebagai oposan. Mereka menganggap Socrates menyesatkan dan meracuni kaum muda dengan ajaran-ajarannya. Socrates menemukan argumen untuk membela diri, yaitu dengan metode induksi (penyimpulan dari khusus ke umum). Dengan metode induksi ini ia menentukan pengertian umum yang berhasil membuktikan bahwa tidak semua kebenaran itu relatif.
Meskipun tidak meninggalkan ajaran gurunya, Plato mengungkapkan bahwa kebenaran yang mutlak terletak pada ide dan gagasan yang abadi. Seluruh filsafat Plato bertumpu pada ide yang menurutnya realitas (kenyataan) sebenarnya dari segala sesuatu yang ada dan dapat dikenal lewat panca indra.
Melalui idealisme yang empiris, Plato mengungkapkan bahwa hal terpenting berhubungan dengan penguasa adalah,penguasa mesti berasal dari kalangan filsuf. Dengan sejumlah argumentasi, menurut Plato, hanyalah filsuf yang dibekali dengan nilai-nilai kebenaran. Landasan pemikiran Plato tentang negara berawal dari idenya yang menggolongkan manusia ke dalam kelas dalam negara, berturut terdiri dari akal, semangat, dan nafsu yang kemudian memperoleh interpretasi berbeda yakni sebagai penasihat, militer, dan pedagang.
Plato mempercayai bahwa masing-masing individu mesti melaksanakan fungsinya dengan sebaik-baiknya dan tidak ada pelanggaran hierarkis. Hierarki inilah yang kemudian dipertahankan oleh plato sebagai justifikasi pemikirannya mengenai demokrasi. Artinya, demokrasi kerakyatan tidak bisa diterima oleh pemikiran plato seperti di atas karena rakyat biasa tidak mempunyai waktu untuk memikirkan negara, dan lebih pentingnya lagi, Plato menegaskan bahwa rakyat tidak memiliki pengetahuan ketatanegaraan sama sekali. Penyerahan wewenang pada rakyat yang demikian sepenuhnya merupakan awal kehancuran suatu entitas kekuasaan itu sendiri.
Pemikiran ini serupa dengan muridnya Aristoteles, meskipun sedikit berbeda, Aristoteles dan Plato berbagi kemiripan landasan pemikiran. Pemikiran Aristoteles mengenai demokrasi diungkapkan dalam pandangannya mengenai warganegara. Menurutnya tidak semua individu dikelompokkan ke dalam warganegara. Warganegara adalah individu yang memiliki waktu untuk memperluas pengetahuan tentang urusan publik dan mengupayakan kewajiban. Sebaliknya, individu yang secara alamiah merupakan budak dan kelas produsen, petani tidak masuk kategori warganegara. Singkat cerita, implementasi pemikiran Aristoteles terdapat pada pengertian, filsuf yang notabene mengusahakan kebajikan bisa disebut warganegara; sementara budak, bukan warganegara. Jadi ketika wewenang diberikan kepada individu secara meluas seperti golongan petani, golongan penghasil produsen, dan budak, mengakibatkan negara berada pada bentuk terburuknya. Hal ini ditegaskan oleh tulisan Aristoteles, Republik, yang menempatkan bentuk negara demokrasi sebagai bentuk terburuk suatu negara.
Abad Pertengahan, Santo Agustinus (354-450) dan Thomas Aquinas (1229-1274)
Watak filsafat politik Santo Agustinus, bekas penganut Manikheisme dan pembuat onar semasa remajanya ini, bisa dikarakterkan menjadi tiga: filsafat murni, yakni membahas teori tentang waktu; filsafat tentang sejarah yang membahas City of God; dan teori tentang penebusan dosa.Ia meletakkan bentuk negara politea yang berdasarkan dengan konsep ketuhanan sebagai konsep negara paling baik. Secara simbolis ia mengungkapkan bahwa penguasa tunggal, monarki, merupakan representasi Tuhan di dunia. Ia melihat wewenang representasi Tuhan tersebut mesti diikuti oleh rakyat umum atas dasar nilai kebaikan dan kepatuhan bersama. Secara singkat ini menyiratkan seolah Tuhan mengatur kehidupan ketatanegaraan, semacam bentuk negara kesemakmuran Kristiani. Sehingga ia melihat konsep negara dengan wewenang terletak pada rakyat luas—demokrasi, sebagai suatu negara yang tidak ideal karena negara demokrasi merupakan refleksi negara duniawi yang penuh dengan kekacauan, pertikaian, dan peperangan.
Dalam beberapa tulisannya dia memperkenalkan konsep pemahaman dalam memahami fenomena budak sebagai keadaan alamiah yang mesti diterima dengan lapang sebagai suatu keadaan dalam rangka upaya untuk menebus dosa. Masyarakat bawah menurutnya terdiri dari banyak orang yang masih berposisi budak. Sehingga ketika wewenang diberikan pada rakyat secara luas, maka wewenang tersebut cenderung dilaksanakan jauh dari cita-cita negara Tuhan.
Selain itu, Thomas Aquinas lahir 1225, terkenal dengan tulisannya Summa Theologika. Ia mengatakan bahwa hakikat manusia adalah berasal dari tuhan, yang mana tuhan kemudian menetapkan bahwa manusia adalah makhluk sosial dan politik. Dalam tulisanya ia juga sering mengusung pola hukum yang meliputi hukum kodrat, hukum alam dan hukum abadi. Menurutnya negara merupakan aktualisasi sifat alamiah manusia, sehingga terbentuknya suatu negara merupakan cerminan kebutuhan kodrati manusia.
Negara memuat serangkaian kewajiban salah satunya adalah mengarahkan setiap kelas-kelas sosial dalam masyarakat untuk mencapai tujuan bersama sesuai dengan doktrin kristiani meyakini keberadaan alam akhirat yang abadi.
Dalam hal ini, pemikiran Thomas Aquinas tidak jauh berbeda dengan Santo Agustinus. Keduanya memiliki pandangan yang sama bahwa negara mesti dibentuk oleh nilai ketuhanan. Bentuk negara yang sesuai dengan cita-cita keduanya yakni politea.
Thomas Aquinas berpikirn bahwa tentang kehendak bebas manusia dan tujuan akhir manusia yang selalu bermuara pada kebaikan, idealnya, pada tujuan ketuhanan. Meski tidak dijelaskan secara tersurat dalam berbagai tulisan baik Santo Agustinus dan Thomas Aquinas mengenai posisi demokrasi. sedikit sekali mereka menyinggung bentuk negara demokrasi. adapun Thomas Aquinas pernah mengatakan bahwa bentuk negara terbaik adalah monarki, dan yang terburuk adalah tirani denga tambahan demokrasi, setidaknya telah mendapatkan posisi yang lebih baik daripada dulu pada zaman filsuf. Menurutnya, demokrasi, meskipun buruk, tapi masih lebih baik daripada tirani.
Abad Pencerahan, Machiavelli (1467-1527) dan Thomas Hobbes (1588-1679)
Machiavelli meletakkan, demokrasi di tempat terburuk, dan tirani di tempat terbaik dalam hirarki bentuk negara menurut pemikirannya. Hal berdasarkan pemikiran realis klasiknya yang berlebihan, ia beranggapan negara akan mengalami kejayaan manakala pemimpimnya terlepas dari nilai moral dan etika yang dulu pada abad pertengahan pernah diagung-agungkan. Akan tetapi, dalam lingkaran pemikirannya Machiavelli menyiratkan salah satu nilai demokrasi, yakni kebebasan individu. Menurutnya, kebebasan individu disediakan sepanjang tidak mengganggu keselamatan dan stabilitas tatanan politik. Walaupun Machiavelli tidak secara eksplisit menunjukkan nilai-nilai demokrasi, ia telah memulai anggapan bahawa sebenarnya nilai demokrasi itu tetap digenggam dalam bentuk negaranya. Akan tetapi, tetap, monarki absolut berada di tataran tertinggi bentuk negara terbaik berdasarkan pemikirannya.Pemikiran ini selaras dengan Thomas Hobbes. Meninggalkan pemikiran ekstrem Machiavelli, Thomas Hobbes, meletakkan demokrasi di tempat terburuk, dan monarki di tempat tertinggi dalam hierarki bentuk negara sesuai dengan pemikirannya. Menurutnya pemerintahan akan sebaik-baiknya dijalankan jika kekuasaan terpusat pada satu orang saja. Akan tetapi, meletakkan adanya kewenangan dalam menjalankan kekuasaan tersebut. Kewenangan tersebut diperoleh dari kontrak sosial dimana sekelompok orang secara pasrah dan sadar memberikan seluruh kekuatan politiknya pada orang di luar kelompok mereka. kontrak sosial memiliki kemiripan struktur dengan bentuk negara demokrasi saat ini. Kemiripan tersebut dapat ditelusuri pada periode pemikir barat selanjutnya, yakni JJ Russeau melalui penerbitan lembaga-lembaga pemerintahan atau biasa dikenal dengan distribusi kekuasaan.
Era Westphalia, John Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755), dan Jean Jacques Russeau (1712-1778)
Benih nilai-nilai demokrasi baru mendapatkan perhatian penuh oleh pemikir politik abad selanjutnya, ketika pertama kali John Locke mengungkapkan bahwa dalam keadaan alamiah, manusia lahir dengan persamaan dan kebebasan—kebebasan di sini masih tunduk dalam hukum alam yang bersifat normatif (hukum manusia). Nilai kebebasan ini kemudian dituankan dalam kontrak sosialnya John Locke yang bersifat sangat liberal. John Locke memberikan dukungannya bahwa rakyat sipil atau warganegara juga termasuk dalam masyarakat politik. Oleh karena itu semestinya dilibatkan dalam setiap kegiatan politis pemerintahan. John Locke juga tampil dengan mengurusng konsep kekuasaan mayoritas. Namun, karena saat itu negara gereja masih mendominasi keadaan politik, maka pemikirannya ini masih berkembang secara rahasia.‘Manusia dilahirkan bebas’, merupakan … JJ Russeau. Ia mengungkapkan adanya kehendak umum sebagai bentuk penyatuan sosial yang menciptakan pribadi kolektif baru, yaitu negara. JJ Russeau memperkenalkan untuk pertama kalinya konsep kedaulatan rakyat yang menempatkan kebebasan manusia sejajar dengan kehendak negara. kedaulatan rakyat ini bersifat tidak terbatas dan tidak dapat dibagi-bagi. Akan tetapi, kewenangan untuk menjalankan kedaulatan rakyat. Karena rakyat adalah subyek hukum maka dia harus menjadi pembautnya, semua anggota komunitas politik memiliki kedudukan sama dalam pembuatan hukum. Keadaulatan ada di tangan komunitas kapasita kolektif. Parlemen yang representatif dipilih oleh rakyat. Individu bebas dari pengaruh orang lain dalam menyatakan kehendak bebasnya. JJ Russeau mengatakan bahwa itdak ada sistem pemerintahan perwakilan, oleh karena itu, pemikirannya tentang konsep kedaulatan rakyat ini biasa dikenal dengan demokrasi langsung.
Berbeda dengan JJ Russeau, prinsip pemerintahan Montesquieu bisa dikategorikan ke dalam tiga kelompok,yakni republik, monarki, dan depotisme. Dalam Republik, Montesquieu mengatakan bahwa nilai penggerak pemerintahan adalah civic virtue dan spirit publik dari rakyat dalam cinta pada negara, kesediaan menundukkan kepentingan diri, patriotisme, kejujuran, keserhanaan dan persamaan. Demokrasi terletak di dalam republiknya Montesquieu, yang didefinisikan sebagai kedaulatan yan gdiserahkan pada lembaga kerakyatan.
Karakter pemerintahan, demokrasi, mencakup kedaulatan tidak bisa dilaksanakan kecuali oleh hak pilih rakyat dalampemilu, yang merupakan kehendak rakyat sendiri. Montesquieu melatarbelakangi konsepsi bahwa kedaulatan rakyat bisa dibagi (didistribusikan) melalui tiga, pemisahan kekuatan pada legislatif, eksekutif, dan yudikatif dengan fungsionalnya masing-masing.
Abad Imperialisme dan Kolonialisme, Fredrich Hegel (1818-1883), Karl Marx (1770-1831), dan Fredrich Engels (1820-1895)
Pandangan Hegel mengenai demokrasi, menurutnya demokrasi pada masanya dan sedikit pada masa sekarang bukanlah hasil akhir dan terbaik dari bentuk negara yang ada. Hegel dikenal sebagai pemikir yang mengedepankan disposisinya berkaitan dengan nilai-nilai kristiani. Ia menarasikan bahwa negara bukanlah alat melainkan tujuan itu sendiri sehingga untuk kebaikan bersama, maka rakyat harus menjadi abdi negara.Posisi individu dalam pemikirannya, tidak mungkin bertentangan dengan negara, akan tetapi keberadaannya tetap diakui. Pemirikirannya yang seperti ini berasa dari pengarku pemikiran Kristiani Protestanisme. Konsepnya yang meletakkan rakyat harus sebagai abdi negara seolah menjustifikasi adanya bentuk negara yang demokratis, dalam tanda kutip. Dalam tanda kutip, artinya dengan suatu persyaratan bahwa warganegara wajib dibekali dan memiliki pengetahuan ketatanegaraan untuk kemudian diberi wewenang untuk menjalankan kedaulatan. Akan tetapi, pemikirannya yang Kristiani Protestanisme seolah menegaskan negara dengan orientasi nilai kebaikan yang berlandaskan pada ketuhanan. Seolah Hegel nampak menempatkan kembali negara dengan kekuasaan di tangan abdi negara dan agama dalam posisi sejajar, dan equal.
Berasal dari keadaan politis yang bersangkut paut erat dengan mass produksi dan ekonomi yang menyebabkan terciptanya dua kelas yakni kelas pemilik modal produksi dan kelas yang tidak memiliki modal. Keberadaan dua kelas ini seringkali menciptakan pertentangan. Dilatarbelakangi oleh adanya dua kaum ini, kelas bawah terus menerus berusaha melawan kelas atas dengan menghilangkan kelas. Perjuangan kelas bawah untuk menghilangkan gap tersbut inilah yang seringkali identik dengan perjuangan menuju revolusi. Karl Marx tidak bicara secara khusus tentang demokrasi, sebaliknya ia mendukung adanya regulasi ketat pemerintah, yang mengusung persamaan semua kelas. Pahamnya yang demikian sering dikenal dengan nama sosialis. ia tidak memposisikan demokrasi di ujung tanduk, sebaliknya ia memposisikan kekuasaan mesti diletakkan terpusat. Adapun demokrasi bisa ditarik ke haluan Marx, demokrasi rakyat yang disebut juga demokrasi proletar, adalah demokrasi yang berhaluan Marxisme-komunisme, mencita-citakan kehidupan yang tidak mengenal kelas sosial, manusia dibebaskan dari keterkaitannya kepada kepemilikan pribadi tanpa penindasan dan paksaan. Tetapi untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan cara paksa atau kekerasan.
Macam-macam Demokrasi
Demokrasi terbagi ke dalam beberapa macam, antara lain sebagai berikut.a. Macam-Macam Demokrasi Berdasarkan Fokus Perhatiannya
Demokrasi formal : Demokrasi yang berfokus di bidang politik tanpa mengurangi sedikitpun kesenjangan ekonomi.
Demokrasi Material : Demokrasi yang berfokus di bidang ekonomi tanpa mengurangi sedikitpun kesenjangan politik.
Demokrasi Gabungan : Demokrasi ini gabungan dari demokrasi formal dan demokrasi material.
b. Macam-Macam Demokrasi Berdasarkan Penyaluran Kehendak Rakyat
Demokrasi Langsung (Direct Democracy): Demokrasi yang secara langsung melibatkan rakyat untuk pengambilan keputusan terhadap suatu negara. Contohnya seperti pemilu.
Demokrasi Tidak Langsung (Indirect Democracy): Demokrasi yang tidak secara langsung melibatkan seluruh rakyat suatu negara dalam pengambilan suatu keputusan. Contohnya seperti suatu keputusan yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat (DPR, DPD, DPRD)
Ciri-ciri Demokrasi
Ciri-ciri suatu negara yang memakai sistem demokrasi adalah sebagai berikut.
Ciri Konstitusional yaitu merupakan ciri-ciri demokrasi yang berkaitan dengan kehendak, kepentingan maupun kekuasaan rakyat yang ditegaskan kedalam konstitusi maupun undang-undang yang berlaku di negara tersebut.
Segala keputusan yang dilakukan pemerintah berdasarkan kehendak dan kepentingan rakyat.
Memiliki ciri perwakilan, yakni ketika mengatur segala urusan negera, kedaulatan dan kekuasaan rakyat sudah diwakilkan kepada beberapa orang yang sebelumnya sudah dipilih oleh rakyat itu sendiri.
Ciri pemilihan umum, yakni segala kegiatan politik dilakukan untuk memilih pihak yang akan menjalankan pemerintahan.
Ciri Kepartaian yaitu merupakan ciri-ciri demokrasi yang berkaitan dengan partai yang menjadi sarana atau media sebagai bagian dalam pelaksaan sistem demokrasi.
Ciri Kekuasaan yaitu merupakan ciri-ciri demokrasi yang berkaitan dengan adanya pembagian kekuasaan dan pemisahan kekuasaan.
Ciri Tanggung Jawab yaitu merupakan ciri-ciri demokrasi yang berkaitan dengan tanggung jawab dari pihak yang telah terpilih.
Ciri Konstitusional yaitu merupakan ciri-ciri demokrasi yang berkaitan dengan kehendak, kepentingan maupun kekuasaan rakyat yang ditegaskan kedalam konstitusi maupun undang-undang yang berlaku di negara tersebut.
Segala keputusan yang dilakukan pemerintah berdasarkan kehendak dan kepentingan rakyat.
Memiliki ciri perwakilan, yakni ketika mengatur segala urusan negera, kedaulatan dan kekuasaan rakyat sudah diwakilkan kepada beberapa orang yang sebelumnya sudah dipilih oleh rakyat itu sendiri.
Ciri pemilihan umum, yakni segala kegiatan politik dilakukan untuk memilih pihak yang akan menjalankan pemerintahan.
Ciri Kepartaian yaitu merupakan ciri-ciri demokrasi yang berkaitan dengan partai yang menjadi sarana atau media sebagai bagian dalam pelaksaan sistem demokrasi.
Ciri Kekuasaan yaitu merupakan ciri-ciri demokrasi yang berkaitan dengan adanya pembagian kekuasaan dan pemisahan kekuasaan.
Ciri Tanggung Jawab yaitu merupakan ciri-ciri demokrasi yang berkaitan dengan tanggung jawab dari pihak yang telah terpilih.
Prinsip demokrasi
Prinsip umum sistem demokrasi antara lain sebagai berikut.
Kebebasan diakui dan diterima oleh warga negara.
Keterlibatan warga negara mengenai pembuatan keputusan politik .
Kesamaan diantara setiap warga negara,
Setiap warga negara mempunyai kesamaan dan kesetaraan dalam hak praktik politik.
Kebebasan diakui dan diterima oleh warga negara.
Keterlibatan warga negara mengenai pembuatan keputusan politik .
Kesamaan diantara setiap warga negara,
Setiap warga negara mempunyai kesamaan dan kesetaraan dalam hak praktik politik.
Pengertian PrinsipPrinsip Demokrasi
Prinsip-Prinsip Demokrasi dan PenjelasannyaPrinsip Prinsip Demokrasi - Prinsip merupakan kaidah atau ketentuan dasar yang harus dipegang dan ditaati. Prinsip demokrasi adalah beberapa kaidah dasar yang harus ada dan ditaati oleh negara penganut pemerintahan demokratis. Adapun prinsip-prinsip demokrasi tersebut sebagai berikut:
Prinsip-Prinsip Demokrasi Tersebut Sebagai Berikut;
1. Negara Berdasarkan KonstitusiPengertian negara demokratis adalah negara yang pemerintah dan warganya menjadikan konstitusi sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi dapat diartikan sebagai undang-undang dasar atau seluruh peraturan hukum yang berlaku di sebuah negara. Sebagai prinsip demokrasi, keberadaan konstitusi sangat penting sebab dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Konstitusi berfungsi untuk membatasi wewenang penguasa atau pemerintah serta menjamin hak rakyat. Dengan demikian, penguasa atau pemerintah tidak akan bertindak sewenang-wenang kepada rakyatnya dan rakyat tidak akan bertindak anarki dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajibannya.
2. Jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak dasar atau hak pokok yang dimiliki manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia mencakup hak untuk hidup, kebebasan memeluk agama, kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, serta hak-hak lain sesuai ketentuan undang-undang. Perlindungan terhadap HAM merupakan salah satu prinsip negara demokrasi karena perlindungan terhadap HAM pada hakikatnya merupakan bagian dari pembangunan negara yang demokratis.
3. Kebebasan Berserikat dan Mengeluarkan Pendapat
Salah satu prinsip demokrasi adalah mengakui dan memberikan kebebasan setiap orang untuk berserikat atau membentuk organisasi. Setiap orang boleh berkumpul dan membentuk identitas dengan organisasi yang ia dirikan. Melalui organisasi tersebut setiap orang dapat memperjuangkan hak sekaligus memenuhi kewajibannya. Sejarah demokrasi memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk berpikir dan menggunakan hati nurani serta menyampaikan pendapat dengan cara yang baik. Paham demokrasi tidak membatasi seseorang untuk berpendapat, tetapi mengatur penyampaian pendapat dengan cara bijak.
4. Pergantian Kekuasaan Secara Berkala
Gagasan tentang perlunya pembatasan kekuasaan dalam prinsip demokrasi dicetuskan oleh Lord Acton (seorang ahli sejarah Inggris). Lord Acton menyatakan bahwa pemerintahan yang diselenggarakan manusia penuh dengan kelemahan. Pendapatnya yang cukup terkenal adalah "ower tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely". Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan, tetapi manusia yang memiliki kekuasaan tidak terbatas pasti akan menyalahgunakannya.
Pergantian kekuasaan secara berkala bertujuan untuk membatasi kekuasaan atau kewenangan penguasa. Pergantian kekuasaan secara berkala dapat meminimalisasi penyelewengan dalam pemerintahan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pergantian seorang kepala negara atau kepala daerah dapat dilakukan dengan mekanisme pemilihan umum yang jujur dan adil.
5. Adanya Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
Peradilan bebas adalah peradilan yang berdiri sendiri dan bebas dari campur tangan pihak lain termasuk tangan penguasa. Pengadilan bebas merupakan prinsip demokrasi yang mutlak diperlukan agar aturan hukum dapat ditegakkan dengan baik. Para hakim memiliki kesempatan dan kebebasan untuk menemukan kebenaran dan memberlakukan hukum tanpa pandang bulu. Apabila peradilan tidak lagi bebas untuk menegakkan hukum dapat dipastikan hukum tidak akan tegak akibat intervensi atau campur tangan pihak di luar hukum oleh karena itu, peradilan yang bebas dari campur tangan pihak lain menjadi salah satu prinsip demokrasi.
Peradilan tidak memihak artinya peradilan yang tidak condong kepada salah satu pihak yang bersengketa di muka persidangan. Posisi netral sangat dibutuhkan untuk melihat masalah secara jernih dan tepat Kejernihan pemahaman tersebut akan membantu hakim menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya Selanjutnya, hakim dapat mempertimbangkan keadaan yang ada dan menerapkan hukum dengan adil bagi pihak beperkara.
6. Penegakan Hukum dan Persamaan Kedudukan Setiap Warga Negara di Depan Hukum
Hukum merupakan instrumen untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, pelaksanaan kaidah hukum tidak boleh berat sebelah atau pandang bulu. Setiap perbuatan melawan hukum harus ditindak secara tegas. Persamaan kedudukan warga negara di depan hukum akan memunculkan wibawa hukum. Saat hukum memiliki wibawa, hukum tersebut akan ditaati oleh setiap warga negara.
7. Jaminan Kebebasan Pers
Kebebasan pers merupakan salah satu pilar penting dalam prinsip prinsip demokrasi. Pers yang bebas dapat menjadi media bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi serta memberikan kritikan dan masukan kepada pemerintah dalam pembuatan kebijakan publik. Di sisi lain, pers juga menjadi sarana sosialisasi program-program yang dibuat pemerintah. Melalui pers diharapkan dapat terjalin komunikasi yang baik antara pemerintah masyarakat.
Kelebihan dan Kekurangan Demokrasi
Kelebihan atau Keuntungan Sistem DemokrasiKesetaraan hak membuat setiap masyarakat dapat ikut serta dalam sistem politik .
Pemegang kekuasaan dipilih menurut suara dan keinginan rakyat.
Mencegah terjadinya monopoli kekuasaan.
Kelemahan atau Kekurangan Demokrasi
Kepercayaan rakyat bisa dengan mudah digoyangkan melalui pengaruh-pengaruh negatif. Contohnya media yang tidak netral dalam menyampaikan informasi.
Kesetaraan hak dianggap tidak adil karena menurut para ahli, setiap orang mempunyai pengetahuan politik yang tidak sama.
Konsentrasi pemerintah yang sedang menjabat akan berkurang ketika mendekati pemilihan umum berikutnya.
Membangun Demokrasi
Dalam membangun demokrasi, negara Indonesia telah melewati masa transisi dari demokrasi semu (masa orde baru) ke demokrasi yang sesungguhnya. Dalam dekade terakhir negara ini banyak mengalami kemajuan dalam berdemokrasi.
Para pimpinan lembaga negara sepakat bahwa kunci sukses membangun demokrasi Indonesia adalah dengan memperkuat empat pilar kebangsaan, yaitu:
Pancasila
UUD 1945
NKRI
Bhinneka Tunggal Ika.
Empat pilar tersebut merupakan pondasi negara ini. Perjuangan gigih dari founding father (Bapak pendiri) bangsa ini telah dicetuskan untuk membangun demokrasi. Dengan memperkuat empat pilar tersebut diharapkan agar para Pimpinan Lembaga Negara dapat mengatasi dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini.
Kita tentu mengharapkan kesemuanya dapat berjalan seimbang sehingga tercipta suasana yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peraturan sebagus apapun kalau tidak ditaati dan dipatuhi, maka ia tetap tidak akan sempurna. Sedangkan peraturan yang sederhana tetapi ditaati dan dipatuhi, maka ia akan menjadi peraturan yang sempurna dan membawa kemaslahatan.
Negara sangat dibutuhkan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Dengan memahami dan melaksanakan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang terangkum dalam empat pilar kebangsaan. Maka cukup dengan empat pilar tersebut bila semuanya menjalankan dengan baik dan tulus, maka dapat dipastikan Indonesia akan menjadi negara besar dan berdaulat penuh.
Dari banyaknya negara demokrasi modern saat ini, seluruh rakyatnya masih merupakan satu kekuasaan yang berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan (DPR), hal ini yang disebut dengan demokrasi perwakilan. Konsep demokrasi perwakilan muncul dari ide-ide dan institusi yang berkembang pada abad pertengahan Eropa, era pencerahan (renaissance), dan revolusi Perancis dan Amerika Serikat.
Demokratisasi
Demokratisasi adalah transisi ke rezim politik yang lebih demokratis. Transisi ini bisa terjadi dari rezim otoriter ke demokrasi menyeluruh, dari sistem politik otoriter ke semi-demokrasi, atau dari sistem politik semi-otoriter ke demokrasi.Demokratisasi adalah transisi ke rezim politik yang lebih demokratis. Transisi ini bisa terjadi dari rezim otoriter ke demokrasi menyeluruh, dari sistem politik otoriter ke semi-demokrasi, atau dari sistem politik semi-otoriter ke demokrasi. Hasilnya bisa menguat seperti di Britania Raya atau mundur seperti di Argentina. Berbagai pola demokratisasi digunakan untuk menjelaskan fenomena politik lain, misalnya apakah negara terlibat dalam perang atau ekonominya tumbuh. Demokratisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk pembangunan ekonomi, sejarah, dan masyarakat madani. Hasil ideal dari demokratisasi adalah menjamin rakyat punya hak memilih dan suara dalam sistem politik negaranya.
Pengertian Demokratisasi
Demokratisasi adalah suatu perubahan baik itu perlahan maupaun secara cepat kearah demokrasi. Demokratisasi ini menjadi tuntutan global yang tidak bisa dihentikan. Jika demokratisasi tidak dilakukan, maka bayaran yang harus diterima adalah balkanisasi, perang saudara yang menumpahkan darah, dan kemunduran ekonomi dengan sangat parah (BJ Habibie 2005).Demokratisai disuatu system pemerintahan memerlukan proses yang tidaklah mudah. Pada saat perubahan terjadi, selalu ada orang yang tidak ingin melakukan perubahan terus menerus, atau ada manusia yang tidak mampu menyesuaikan diri.Dalam kontes demokratisasi, peran individu yang mampu menerima perubahan itu sangat penting. Untuk itulah, individu harus punya tanggung jawab. Apalagi globalisasi yang terus mendorong perubahan yagn tidak bisa ditahan oleh Negara manapun.
Demokratisasi biasanya terjadi ketika ekspektasi terhadap demokrasi muncul dari dalam Negara sendiri, karna warga negaranya melihat system politik yang lebih baik, seperti yang berjalan dinegara demokrasi lain yang telah mapan, akan bisa juga dicapai oleh Negara tersebut. Dengan kata lain, pengaruh internasional dating sebagai sebuah inpirasi yang kuat bagi warga Negara didalam Negara itu.
Sebuah Negara yang sedang menjalani demokratisasi sangat mudah dipengaruhi oleh factor – factor eksternal. Pengaruh internasional dari sebuah proses demokratisasi bisa terjadi dalam beberapa bentuk, seperti : contagion, control dan conditionality.
Contagion terjadi ketika demokratisasi disebuah Negara mendorong gelombang demokratisasi dinegara lain. Proses demokratisasi di Negara – Negara eropa timur setelah perang dingin usai dan juga gelombang demokratisasi di negara – Negara amerika latin pada tahun 1970 an menajdi contoh signifikan.
Mekanisme control terjadi ketika sebuah pihak diluar Negara berusaha menerapkan demokrasi dinegara tersebut. Misalnya Doktrin Truman 1947 mengharuskan yunani untuk memenuhi beberapa kondisi untuk mendapatkan status sebagai “Negara demokrasi” dan karenanya berhak menerima bantuan anti komunisme dari amerika serikat.
Conditionality yaitu tindakan yang dilakukan organisasi internasional yang memberi kondisi – kondisi tertentu yang harus dipenuhi Negara penerima bantuan.
Demokrasi Di Indonesia
Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad 20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, “migrasi” para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera. Dapat dicatat disini para “migran politik’ tersebut antara lain; Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa yang lain. Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi.
Di Indonesia, fenomena demokrasi dapat ditemui dalam sejarah perkembangan politik pasca kolonial. Fokus demokrasi pada masa demokrasi parlementer (1955-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965) bentukkan Presiden Soekarno, demokrasi Pancasila masa Orde Baru, dan karakteristik demokrasi setelah berakhirnya kekuasaan otoritarian (periode transisi dan konsolidasi demokrasi 1998-2007).
Masa Demokrasi Liberal
Momentum historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru.
Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante). Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness.
Fragmentasi politik yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan kinerja parlemen hasil pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru ini tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni “gonta-ganti” pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.
Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada umumnya. Banyak kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh “anti demokrasi”. Hatta dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan kepentingan rakyat. Namun begitu, mereka tidak menjadikan demokrasi parlementer sebagai biang keladi kebobrokan dan kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang menempatkan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal sebagai sasaran tembak. Soekarno lebih mengkritik pada sistemnya. Kebobrokan demokrasi liberal yang sedang diterapkan, dalam penilaian Soekarno, merupakan penyebab utama kekisruhan politik. Maka, yang paling mendesak untuk keluar dari krisis politik tersebut adalah “mengubur” demokrasi liberal yang dalam pandangannya tidak cocok untuk dipraktikkan di Indonesia. Akhirnya, Soekarno menyatakan demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk revolusi, “parliamentary democracy is not good for revolution”.
Demokrasi Diktatorial (dibawah Soekarno dan Soeharto)
Dalam amanatnya kepada sidang pleno Konstitante di Bandung 22 April 1959, Soekarno dengan lugas menyerang konstituante, praktik demokrasi liberal, dan menawarkan kembali konsepsinya tentang demokrasi Indonesia yang disebutnya sebagai Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) .
Demokrasi Terpimpin Soekarno kemudian runtuh setelah terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang melibatkjan unsur komunis (PKI) dan angkatan bersenjata, yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya kekuasaan PKI serta secara bertahap berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno. Muncul kekuasaan baru dibawah militer dibawah Letjen. Soeharto yang menyatakan diri sebagai “Orde Baru”.
Konsepsi demokrasi Soeharto, rencana praksis politiknya, awalnya tidak cukup jelas. Ia lebih sering mengemukakan gagasan demokrasinya, yang kemudian disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila, dalam konsep yang sangat abstrak. Pada dasarnya, konsep dasar Demokrasi Pancasila memiliki titik berangkat yang sama dengan konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno, yakni suatu demokrasi asli Indonesia. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai dengan tradisi dan filsafat hidup masyarakat Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang sehat dan bertanggungjawab, berdasarkan moral dan pemikiran sehat, berlandaskan pada suatu ideologi tunggal, yaitu Pancasila.
Langkah politik awal yang dilakukan Soeharto untuk membuktikan bahwa dirinya tidak anti demokrasi adalah dengan merespons penjadwalan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), sebagaimana dituntut oleh partai-partai politik. Soeharto sendiri pada hakekatnya tidak menghendaki pemilu dengan segera, sampai dengan terkonsolidasikannya “kekuatan Orde Baru”. Sebagai upaya lanjut mengatasi “peruncingan ideologi” Soeharto melakukan inisiatif penggabungan partai politik pada 1973, dari 10 partai menjadi 3 partai politik (Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia). Golkar sendiri yang notabene, dibentuk dan dikendalikan oleh penguasa tidak bersedia menyatakan diri sebagai parpol melainkan organisasi kekaryaan. Fusi atau penggabungan partai ini merupakan wujud kekesalan Soeharto terhadap parpol dan hasratnya untuk membangun kepolitikan “kekeluargaan”. Menjaga citra sebagai “negara demokrasi” terus dijaga oleh rezim Orde Baru.
Terhadap tuntutan demokrasi yang berkembang kuat sejak pertengahan 1980-an, sebuah momen perkembangan yang oleh Huntington dinamakan “gelombang demokrasi ketiga” Soeharto menjawab dengan kebijakan “mulur mungkret” liberalisasi politik terbatas, yang oleh para pengkritik disebut sebagai demokrasi seolah-olah (democracy as if), tetapi sekaligus mempertahankan instrumen represif terhadap kelompok yang mencoba-coba keluar dari “aturan main” yang ditentukan rezim.
Praktik democracy dictatorship yang diterapkan Soeharto mulai tergerus dan jatuh dalam krisis bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai akibat terjadinya krisis moneter mulai 1997. Krisis moneter yang semakin parah menjadikan porak porandanya ekonomi nasional yang ditandai dengan runtuhnya nilai mata uang rupiah, inflasi, tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), dan semakin besarnya pengangguran. Krisis ekonomi memacu berlangsungya aksi-aksi protes dikalangan mahasiswa menuntut Soeharto mundur.
Demokratisasi Pasca Orde Baru
Berakhirnya Orde Baru melahirkan kembali fragmentasi ideologi dalam masyarakat. Berbagai kelompok dengan latar belakang ideologi yang beranekaragam, mulai dari muslim radikal, sosialis, nasionalis, muncul dan bersaing untuk mendapatkan pengaruh politik. Sebelum pemilu multi partai 1999 diselenggarakan, berlangsung pertikaian di kalangan pro demokrasi soal bagaimana transisi demokrasi harus berjalan dan soal memposisikan elite-elite lama dalam proses transisi.
Beberapa kemajuan penting dalam arsitektur demokrasi yang dilakukan pemerintahan Habibie antara lain; adanya kebebasan pers, pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian partai-partai politik, kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), amandemen konstitusi antara lain berupa pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, pencabutan beberapa UU politik yang represif dan tidak demokratis, dan netralitas birokrasi dan militer dari politik praktis.
Kesuksesan dalam melangsungkan demokrasi prosedural ini merupakan prestasi yang mendapatkan pengakuan internasional, tetapi di lain pihak, transisi juga ditandai dengan meluasnya konflik kesukuan, agama, dan rasial yang terjadi di beberapa wilayah di tanah air sejak 1998. Misalnya di Ambon, Poso, Sambas dan lainnya.
Pemerintahan baru hasil pemilu 1999 yang memunculkan pasangan Abdurrahman Wahid-Megawati jauh dari performance yang optimal. Wahid pada akhirnya dipaksa lengser setelah kurang dari dua tahun berkuasa. Lengsernya Wahid yang terpilih dengan legitimasi demokratis dan dikenal luas sebagai pendukung militan demokrasi, menjadi sebuah tragedi transisi demokrasi.
Praktik berdemokrasi di Indonesia masa transisi mendapatkan pengakuan luas dari dunia internasional. Dalam indeks yang disusun oleh Freedom House tentang hak politik dan kebebasan sipil Indonesia sejak pemilu 1999 hingga masa konsolidasi demokrasi saat ini berhasil masuk dalam kategori “negara bebas”. Hal ini berbeda dengan kepolitikan masa Orde Baru yang dikategorikan sebagai dengan kebebasan yang sangat minimal (partly free).
Problem demokrasi yang populer belakangan ini adalah, dapatkah demokrasi mampu mengantar bangsa ini ke arah sejahtera? Ataukah sebaliknya, demokrasi menjadi amat mahal, ketika biaya Pemilu dan Pilkada membutuhkan ongkos mahal, baik ongkos pemilu, maupun ongkos sosial akibat kerusuhan pasca pemilu.
Referens;
Di Indonesia, fenomena demokrasi dapat ditemui dalam sejarah perkembangan politik pasca kolonial. Fokus demokrasi pada masa demokrasi parlementer (1955-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965) bentukkan Presiden Soekarno, demokrasi Pancasila masa Orde Baru, dan karakteristik demokrasi setelah berakhirnya kekuasaan otoritarian (periode transisi dan konsolidasi demokrasi 1998-2007).
Masa Demokrasi Liberal
Momentum historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru.
Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante). Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness.
Fragmentasi politik yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan kinerja parlemen hasil pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru ini tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni “gonta-ganti” pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.
Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada umumnya. Banyak kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh “anti demokrasi”. Hatta dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan kepentingan rakyat. Namun begitu, mereka tidak menjadikan demokrasi parlementer sebagai biang keladi kebobrokan dan kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang menempatkan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal sebagai sasaran tembak. Soekarno lebih mengkritik pada sistemnya. Kebobrokan demokrasi liberal yang sedang diterapkan, dalam penilaian Soekarno, merupakan penyebab utama kekisruhan politik. Maka, yang paling mendesak untuk keluar dari krisis politik tersebut adalah “mengubur” demokrasi liberal yang dalam pandangannya tidak cocok untuk dipraktikkan di Indonesia. Akhirnya, Soekarno menyatakan demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk revolusi, “parliamentary democracy is not good for revolution”.
Demokrasi Diktatorial (dibawah Soekarno dan Soeharto)
Dalam amanatnya kepada sidang pleno Konstitante di Bandung 22 April 1959, Soekarno dengan lugas menyerang konstituante, praktik demokrasi liberal, dan menawarkan kembali konsepsinya tentang demokrasi Indonesia yang disebutnya sebagai Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) .
Demokrasi Terpimpin Soekarno kemudian runtuh setelah terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang melibatkjan unsur komunis (PKI) dan angkatan bersenjata, yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya kekuasaan PKI serta secara bertahap berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno. Muncul kekuasaan baru dibawah militer dibawah Letjen. Soeharto yang menyatakan diri sebagai “Orde Baru”.
Konsepsi demokrasi Soeharto, rencana praksis politiknya, awalnya tidak cukup jelas. Ia lebih sering mengemukakan gagasan demokrasinya, yang kemudian disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila, dalam konsep yang sangat abstrak. Pada dasarnya, konsep dasar Demokrasi Pancasila memiliki titik berangkat yang sama dengan konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno, yakni suatu demokrasi asli Indonesia. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai dengan tradisi dan filsafat hidup masyarakat Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang sehat dan bertanggungjawab, berdasarkan moral dan pemikiran sehat, berlandaskan pada suatu ideologi tunggal, yaitu Pancasila.
Langkah politik awal yang dilakukan Soeharto untuk membuktikan bahwa dirinya tidak anti demokrasi adalah dengan merespons penjadwalan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), sebagaimana dituntut oleh partai-partai politik. Soeharto sendiri pada hakekatnya tidak menghendaki pemilu dengan segera, sampai dengan terkonsolidasikannya “kekuatan Orde Baru”. Sebagai upaya lanjut mengatasi “peruncingan ideologi” Soeharto melakukan inisiatif penggabungan partai politik pada 1973, dari 10 partai menjadi 3 partai politik (Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia). Golkar sendiri yang notabene, dibentuk dan dikendalikan oleh penguasa tidak bersedia menyatakan diri sebagai parpol melainkan organisasi kekaryaan. Fusi atau penggabungan partai ini merupakan wujud kekesalan Soeharto terhadap parpol dan hasratnya untuk membangun kepolitikan “kekeluargaan”. Menjaga citra sebagai “negara demokrasi” terus dijaga oleh rezim Orde Baru.
Terhadap tuntutan demokrasi yang berkembang kuat sejak pertengahan 1980-an, sebuah momen perkembangan yang oleh Huntington dinamakan “gelombang demokrasi ketiga” Soeharto menjawab dengan kebijakan “mulur mungkret” liberalisasi politik terbatas, yang oleh para pengkritik disebut sebagai demokrasi seolah-olah (democracy as if), tetapi sekaligus mempertahankan instrumen represif terhadap kelompok yang mencoba-coba keluar dari “aturan main” yang ditentukan rezim.
Praktik democracy dictatorship yang diterapkan Soeharto mulai tergerus dan jatuh dalam krisis bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai akibat terjadinya krisis moneter mulai 1997. Krisis moneter yang semakin parah menjadikan porak porandanya ekonomi nasional yang ditandai dengan runtuhnya nilai mata uang rupiah, inflasi, tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), dan semakin besarnya pengangguran. Krisis ekonomi memacu berlangsungya aksi-aksi protes dikalangan mahasiswa menuntut Soeharto mundur.
Demokratisasi Pasca Orde Baru
Berakhirnya Orde Baru melahirkan kembali fragmentasi ideologi dalam masyarakat. Berbagai kelompok dengan latar belakang ideologi yang beranekaragam, mulai dari muslim radikal, sosialis, nasionalis, muncul dan bersaing untuk mendapatkan pengaruh politik. Sebelum pemilu multi partai 1999 diselenggarakan, berlangsung pertikaian di kalangan pro demokrasi soal bagaimana transisi demokrasi harus berjalan dan soal memposisikan elite-elite lama dalam proses transisi.
Beberapa kemajuan penting dalam arsitektur demokrasi yang dilakukan pemerintahan Habibie antara lain; adanya kebebasan pers, pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian partai-partai politik, kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), amandemen konstitusi antara lain berupa pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, pencabutan beberapa UU politik yang represif dan tidak demokratis, dan netralitas birokrasi dan militer dari politik praktis.
Kesuksesan dalam melangsungkan demokrasi prosedural ini merupakan prestasi yang mendapatkan pengakuan internasional, tetapi di lain pihak, transisi juga ditandai dengan meluasnya konflik kesukuan, agama, dan rasial yang terjadi di beberapa wilayah di tanah air sejak 1998. Misalnya di Ambon, Poso, Sambas dan lainnya.
Pemerintahan baru hasil pemilu 1999 yang memunculkan pasangan Abdurrahman Wahid-Megawati jauh dari performance yang optimal. Wahid pada akhirnya dipaksa lengser setelah kurang dari dua tahun berkuasa. Lengsernya Wahid yang terpilih dengan legitimasi demokratis dan dikenal luas sebagai pendukung militan demokrasi, menjadi sebuah tragedi transisi demokrasi.
Praktik berdemokrasi di Indonesia masa transisi mendapatkan pengakuan luas dari dunia internasional. Dalam indeks yang disusun oleh Freedom House tentang hak politik dan kebebasan sipil Indonesia sejak pemilu 1999 hingga masa konsolidasi demokrasi saat ini berhasil masuk dalam kategori “negara bebas”. Hal ini berbeda dengan kepolitikan masa Orde Baru yang dikategorikan sebagai dengan kebebasan yang sangat minimal (partly free).
Problem demokrasi yang populer belakangan ini adalah, dapatkah demokrasi mampu mengantar bangsa ini ke arah sejahtera? Ataukah sebaliknya, demokrasi menjadi amat mahal, ketika biaya Pemilu dan Pilkada membutuhkan ongkos mahal, baik ongkos pemilu, maupun ongkos sosial akibat kerusuhan pasca pemilu.
Referens;
Budiyanto , 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA Kelas XI. Jakarta , Erlangga.
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson,1990. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta: Rineka Cipta, ) h. 9-10.
Silvia Bolgherini, "Participation" dalam Mauro Calise and Theodore J. Lowi, Hyperpolitics: An Interactive Dictionary of Political Science Concept (Chicago: The University of Chicago, 2010) p. 169.
Oscar Garcia Luengo,2006. E-Activism New Media and Political Participation in Europe, (CONFines 2/4 agosto-diciembre )
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi ... op.cit.
Thomas M. Magstadt, Understanding Politics (Belmont: Cengage Learning, 2012) pp. 273-82.
Christina Holtz-Bacha, Political Disaffection, dalam dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of Political Communication, (California : Sage Publications, 2008) p.577-9.
Jan W. van Deth, Political Participation, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2.
Kai Arzheimer, Political Efficacy, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2. p. 579-80.
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson,1990. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta: Rineka Cipta, ) h. 9-10.
Silvia Bolgherini, "Participation" dalam Mauro Calise and Theodore J. Lowi, Hyperpolitics: An Interactive Dictionary of Political Science Concept (Chicago: The University of Chicago, 2010) p. 169.
Oscar Garcia Luengo,2006. E-Activism New Media and Political Participation in Europe, (CONFines 2/4 agosto-diciembre )
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi ... op.cit.
Thomas M. Magstadt, Understanding Politics (Belmont: Cengage Learning, 2012) pp. 273-82.
Christina Holtz-Bacha, Political Disaffection, dalam dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of Political Communication, (California : Sage Publications, 2008) p.577-9.
Jan W. van Deth, Political Participation, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2.
Kai Arzheimer, Political Efficacy, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2. p. 579-80.
Loading...
No comments:
Post a Comment