Dalam rangka mengkaji pendidikan nilai moral secara luas, berikut ini dikemukakan pula pembahasan mengenai perkembangan moral, pendidikan nilai moral, dan strategi pendidikan nilai moral. A. Teori Perkembangan Moral Dewasa ini, psikolog dan sosiolog banyak membahas nilai-nilai moral dalam kaitannya dengan perkembangan dan pendidikan anak. Pembahasan itu bertolak dari anggapan bahwa tidak ada prinsip moral yang universal (kecuali moral agama) dan tetap atau tidak berubah-ubah. Pada dasarnya setiap pribadi memperoleh nilainya sendiri dari kebudayaan eksternal. Nilai moral merupakan penilaian terhadap tindakan yang umumnya diyakini oleh anggota masyarakat tertentu sebagai yang salah atau benar (Berkowitz, 1964; dikutip Muhaimin, 2001: 215).
Definisi itu mencerminkan pandangan bahwa nilai moral bersifat relatif. Para ahli lain memandang bahwa perkembangan moral dan bentuk-bentuk sosialisasi lainnya sebagai keseluruhan proses, di mana seorang pribadi lahir dengan banyak kemungkinan tingkah laku aktual yang dibatasi pada bidang yang jauh lebih spirital, yaitu suatu bidang yang lazim diterima sesuai dengan ukuran kelompoknya.Dengan demikian, perkembangan moral dipahami sebagai suatu Pendidikan Nilai Moral ditinjau dari Perspektif Global internalisasi langsung norma-norma budaya eksternal. Anak yang sedang tumbuh dan berkembang dapat dilatih untuk berperilaku dengan cara sedemikian rupa sehingga ia dapat menyesuaikan diri dengan berbagai aturan dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya.
Aturan dan nilai-nilai di masyarakat tentunya nilai-nilai universal dan nilai-nilai lokal yang baik, yakni nilai lokal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal, sedangkan nilai nilai negatif misalnya radikalisme harus dilakukan tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi di lingkungan masyarakat,karena nilai radikalisme itu bertentangan dengan nilai universal dan nilai lokal.Pertimbangan moral adalah penilaian mengenai benar dan baiknya sebuah tindakan.
Akan tetapi, tidak semua penilaian mengenai baik dan benar merupakan pertimbangan moral. Banyak di antara tindakan yang justru merupakan penilaian terhadap kebaikan atau kebenaran, estetis, teknologis atau bijak. Berbeda dengan penilaian terhadap kebijakan atau estetika, penilaian moral cenderung bersifat universal, inklusif,konsisten, dan didasarkan pada alasan-alasan yang objektif, impersonal, atau ideal. Struktur pertimbangan moral ditetapkan berdasarkan pada apa yang didapatkan seseorang sebagai sesuatu yang berharga pada setiap isu-isu moral dan bagaimana ia mampu memilih dan menetapkan nilai-nilai dengan disertai alasan mengapa seseorang memilih dan menetapkan bahwa sesuatu itu berharga.
Hal ini merupakan penentu struktur tingkat pertimbangan moral seseorang, yang sekaligus menentukan keputusan moral atau perilaku moral.Kohlberg, melalui penelitian Longitudinal and Crosscultural, telah berupaya untuk menyempurnakan teori Piaget dengan menetapkan enam tingkat pertimbangan moral yang relatif tidak bergantung pada umur.Penetapan tingkat perkembangan moral ini didasarkan pada karakteristik empiris yang memiliki beberapa ciri pokok berikut.
(1) Tahap-tahap pertimbangan moral tersusun secara utuh, artinya system berpikirnya terorganisasi.
(2) Tahap pertimbangan moral berurutan secara invarian dan tidak pernah terbalik dalam semua kondisi (kecuali mereka yang mengalami trauma secara ekstrem perkembangannya selalu progresif). Tidak ada tahap-tahap terlompati dan gerakannya selalu menuju tahap yang lebih tinggi.
(3) Tahap-tahap pertimbangan moral terintegrasi secara hierarkis. Artinya, tingkat pemikiran moral yang tinggi telah tercakup dan menguasai tahap-tahap dan pola piker yang berada di bawahnya.
(4) Struktur tingkat pertimbangan moral berfungsi melahirkan kecenderungan ke arah tahapan-tahapan yang lebih tinggi.
(5)Struktur pertimbangan moral harus dibedakan dengan isi pertimbangan moral. Sebagai contoh, suatu pilihan yang ditetapkan seseorang (se-bagai sesuatu yang berharga atau tidak berharga) dalam suatu situasi yang dihadapi disebut isi pertimbangan moral, sedangkan alasan tentang penetapan suatu pilihan (struktur penetapan pilihan) berdasarkan pemikiran moralnya disebut pertimbangan moral (melalui Muhamimin, 2001: 216).
Selanjutnya, Kohlberg mengidentifikasi enam tahap tingkat pertimbangan moral, yaitu
(i) orientasi hukuman atau kepatuhan,
(ii) orientasi instrumental-relatif,
(iii) orientasi masuk kelompok anak manis atau anak baik,
(iv)orientasi hukum dan ketertiban,
(v) orientasi kontrak social legalitas, dan
(vi) orientasi prinsip kewajiban.
Hasil kajian Kohlberg mengenai tahap-tahap perkembangan moral memiliki kelemahan di mana tahap ke-5 kurang memiliki bukti empiris dan tahap ke-6 tidak memiliki bukti empiris.
Hasil ini dikritik oleh Gilligan (1982) karena semua responden penelitian berjenis laki-laki, padahal menurut Gilligan wanita memiliki perbedaan dengan laki dalam membuat keputusan moral (Zuchdi, 2008: 19). Secara singkat dikatakan laki-laki dalam membuat keputusan moral mengutamakan “hak”, sedangkan wanita mengutamakan “tanggung jawab”.
Perbedaan Kohlberg dan Gilligan tersebut ditanggapi oleh Reimer, Paolitto, dan Hersh (1983:108), bahwa kematangan moral harus dilihat dari dua sisi. Laki-laki dalam penalaran moral tentang keadilan mendasarkan pada prinsip, perlu belajar menjadi orang yang memiliki kasih sayang di samping bertindak adil. Sebaliknya, wanita yang memiliki sifat kasih saying perlu belajar mengintegrasikan moralitas personal dan institusional dalam prinsip-prinsip moral yang konsisten Dengan demikian teori perkembangan moral tawaran Kohlberg tersebut dari perspektif gender tampak bias gender karena objek kajian penelitian pada jenis laki-laki saja, sedangkan wanita tidak dijadikan objek penelitian, padahal dari sisi psikologi laki-laki dan wanita terdapat perbedaan. Di antara perbedaan kedua jenis laki-laki dan wanita antara lain telah disebutkan di atas.
Definisi itu mencerminkan pandangan bahwa nilai moral bersifat relatif. Para ahli lain memandang bahwa perkembangan moral dan bentuk-bentuk sosialisasi lainnya sebagai keseluruhan proses, di mana seorang pribadi lahir dengan banyak kemungkinan tingkah laku aktual yang dibatasi pada bidang yang jauh lebih spirital, yaitu suatu bidang yang lazim diterima sesuai dengan ukuran kelompoknya.Dengan demikian, perkembangan moral dipahami sebagai suatu Pendidikan Nilai Moral ditinjau dari Perspektif Global internalisasi langsung norma-norma budaya eksternal. Anak yang sedang tumbuh dan berkembang dapat dilatih untuk berperilaku dengan cara sedemikian rupa sehingga ia dapat menyesuaikan diri dengan berbagai aturan dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya.
Aturan dan nilai-nilai di masyarakat tentunya nilai-nilai universal dan nilai-nilai lokal yang baik, yakni nilai lokal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal, sedangkan nilai nilai negatif misalnya radikalisme harus dilakukan tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi di lingkungan masyarakat,karena nilai radikalisme itu bertentangan dengan nilai universal dan nilai lokal.Pertimbangan moral adalah penilaian mengenai benar dan baiknya sebuah tindakan.
Akan tetapi, tidak semua penilaian mengenai baik dan benar merupakan pertimbangan moral. Banyak di antara tindakan yang justru merupakan penilaian terhadap kebaikan atau kebenaran, estetis, teknologis atau bijak. Berbeda dengan penilaian terhadap kebijakan atau estetika, penilaian moral cenderung bersifat universal, inklusif,konsisten, dan didasarkan pada alasan-alasan yang objektif, impersonal, atau ideal. Struktur pertimbangan moral ditetapkan berdasarkan pada apa yang didapatkan seseorang sebagai sesuatu yang berharga pada setiap isu-isu moral dan bagaimana ia mampu memilih dan menetapkan nilai-nilai dengan disertai alasan mengapa seseorang memilih dan menetapkan bahwa sesuatu itu berharga.
Hal ini merupakan penentu struktur tingkat pertimbangan moral seseorang, yang sekaligus menentukan keputusan moral atau perilaku moral.Kohlberg, melalui penelitian Longitudinal and Crosscultural, telah berupaya untuk menyempurnakan teori Piaget dengan menetapkan enam tingkat pertimbangan moral yang relatif tidak bergantung pada umur.Penetapan tingkat perkembangan moral ini didasarkan pada karakteristik empiris yang memiliki beberapa ciri pokok berikut.
(1) Tahap-tahap pertimbangan moral tersusun secara utuh, artinya system berpikirnya terorganisasi.
(2) Tahap pertimbangan moral berurutan secara invarian dan tidak pernah terbalik dalam semua kondisi (kecuali mereka yang mengalami trauma secara ekstrem perkembangannya selalu progresif). Tidak ada tahap-tahap terlompati dan gerakannya selalu menuju tahap yang lebih tinggi.
(3) Tahap-tahap pertimbangan moral terintegrasi secara hierarkis. Artinya, tingkat pemikiran moral yang tinggi telah tercakup dan menguasai tahap-tahap dan pola piker yang berada di bawahnya.
(4) Struktur tingkat pertimbangan moral berfungsi melahirkan kecenderungan ke arah tahapan-tahapan yang lebih tinggi.
(5)Struktur pertimbangan moral harus dibedakan dengan isi pertimbangan moral. Sebagai contoh, suatu pilihan yang ditetapkan seseorang (se-bagai sesuatu yang berharga atau tidak berharga) dalam suatu situasi yang dihadapi disebut isi pertimbangan moral, sedangkan alasan tentang penetapan suatu pilihan (struktur penetapan pilihan) berdasarkan pemikiran moralnya disebut pertimbangan moral (melalui Muhamimin, 2001: 216).
Selanjutnya, Kohlberg mengidentifikasi enam tahap tingkat pertimbangan moral, yaitu
(i) orientasi hukuman atau kepatuhan,
(ii) orientasi instrumental-relatif,
(iii) orientasi masuk kelompok anak manis atau anak baik,
(iv)orientasi hukum dan ketertiban,
(v) orientasi kontrak social legalitas, dan
(vi) orientasi prinsip kewajiban.
Hasil kajian Kohlberg mengenai tahap-tahap perkembangan moral memiliki kelemahan di mana tahap ke-5 kurang memiliki bukti empiris dan tahap ke-6 tidak memiliki bukti empiris.
Hasil ini dikritik oleh Gilligan (1982) karena semua responden penelitian berjenis laki-laki, padahal menurut Gilligan wanita memiliki perbedaan dengan laki dalam membuat keputusan moral (Zuchdi, 2008: 19). Secara singkat dikatakan laki-laki dalam membuat keputusan moral mengutamakan “hak”, sedangkan wanita mengutamakan “tanggung jawab”.
Perbedaan Kohlberg dan Gilligan tersebut ditanggapi oleh Reimer, Paolitto, dan Hersh (1983:108), bahwa kematangan moral harus dilihat dari dua sisi. Laki-laki dalam penalaran moral tentang keadilan mendasarkan pada prinsip, perlu belajar menjadi orang yang memiliki kasih sayang di samping bertindak adil. Sebaliknya, wanita yang memiliki sifat kasih saying perlu belajar mengintegrasikan moralitas personal dan institusional dalam prinsip-prinsip moral yang konsisten Dengan demikian teori perkembangan moral tawaran Kohlberg tersebut dari perspektif gender tampak bias gender karena objek kajian penelitian pada jenis laki-laki saja, sedangkan wanita tidak dijadikan objek penelitian, padahal dari sisi psikologi laki-laki dan wanita terdapat perbedaan. Di antara perbedaan kedua jenis laki-laki dan wanita antara lain telah disebutkan di atas.
Polla https://woof.tube/stream/i8w7mwdWxJVMeskipun demikian tawaran pemikiran moral Kohlberg tetap memberikan sumbangan pemikiran yang berguna dalam kajian moral.Jika dianalisis lebih lanjut sumbangan pemikiran moral Kohlberg lebih menekankan pada pemikiran moral belum menjangka pada penghayatan, dan ranah spiritual. Sementara tesis Capra yang dituangkan dalam paradigm “Visi Realitas Baru” yang antara lain berintikan pandangan hidup system dan keutuhan. Ia mengamati perubahan yang berlangsung terus menerus yang merupakan sebuah “titik balik” dalam peradaban manusia yang mewakili tumbuhnya kesadaran baru dalam kehidupan yang sarat nilai Tesis Capra lebih menekankan bahwa setiap peradaban manusia akan melahirkan kesadaran baru dalam kehidupan yang sarat nilai. Oleh karena itu, ada dua hal esensial menghadapi peradaban manusia, yaitu (1) lahirnya kesadaran baru, dan (2) kehidupan sarat nilai. Berikutnya: Isu Pendidikan Moral di Beberapa Negara
Loading...
No comments:
Post a Comment