Beberapa hari belakangan ini, kerusuhan yang berlatar belakang agama, kembali terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Kasus kekerasan terakhir di Cikeusik, Temanggung, paket bom di Jakarta, dan bukan tidak mungkinakan muncul di daerah lainnya, patut diwaspadai oleh masyarakat kita. Melihat kejadian kekerasan ini, kita memang kembali dituntut untuk meneguhkan kembali maksud cita-cita negara Pancasila yang plural dan menghormati perbedaan, termasuk menolak segala bentuk kekerasan yang terjadi di negara kita.
Sesungguhnya, Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, telah mencakup banyak hal, termasuk tujuan utama berdirinya negara ini. Sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, tujuan negara kita adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan ini kemudian dicita-citakan dengan didasarkan pada lima (5) sila yang kita kenal dengan Pancasila.
Cita-cita Negara Pancasila, sebagaimana dirintis dasar-dasar filosofisnya oleh the founding fathersmerupakan sumber nilai dan filosofi bangsa sebagaimana terumuskan dalam lima (5) silanya. Pancasila sebagai ideologi bangsa menegaskan bahwa Indonesia bukan negara sekuler, tetapi juga bukan negara agama. Indonesia adalah negara yang berKetuhanan, berPerikemanusiaan, yang mengedepankan harmoni dan persatuan bangsa, menjunjung tinggi musyawarah dalam bingkai demokrasi, dan mengedepankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila yang dicita-citakan oleh the founding fathers, juga merupakan pondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, menjadi pilar utama diantara empat pilar yang sedang disosialisasikan oleh MPR. Keempat pilar itu adalah Pancasila, Undang Undang Negara Republik Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Keempat pilar ini adalah wujud dari peningkatan pemahaman kita terhadap sistem politik ketatanegaraan.
Sebelum Era Reformasi,Pancasila memang pernah ditempatkan sebagai ideologi yang statis, eksklusif, monolitik, serta menutup ruang dialog bagi kebhinekaan (keberagaman) pandangan. Pancasila sebagai ideologi bangsa mengarah pada penafsiran tunggal dengan tujuan untuk meligitimasi kekuasaan. Pada masa itu, oleh berbagai kalangan, bahkan penguasa, Pancasila seringkali dijadikan sebagai alat pukul politik (political hammer) terhadap perbedaan pendapat atau pandangan. Untuk melegitimasi kekuasaan, ditetapkan TAP MPR No. V/MPR/1973 dan TAP MPR No. IX/MPR/1978 yang menegaskan secara formal bahwa “Pancasila sebagai sumber hukum dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum di Indonesia”. Untuk menguatkan legitimasi kekuasaan pula, dilakukanlah Penataran P4 (yang ditetapkan melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila/Eka Prasetya Pancakarsa) dan penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, yang pada akhirnya memunculkan penafsiran tunggal atas azas Pancasila. UU. No. 8 tahun1985Tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang mewajibkan setiap Organisasi Kemasyarakatan untuk menggunakan satu azas, yaitu azas Pancasila pada akhirnya memecah beberapa Ormas, karena pada dasarnya mereka sudah memiliki azas organisasi misalnya azas agama (azas islam, Kristen dll), azas nasionalis dan sebagainya.
Pada Era Reformasi, kesadaran terhadap arti penting Pancasiladijadikan pertimbangan untuk mencabut berbagai TAP tersebut. Keluarnya TAP MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang P4/ Eka Prasetya Pancakarsa dan tidak berlaku lagi TAP MPR No. V/MPR/1973 dan TAP MPR No. IX/MPR/1978, membuktikan bahwa penafsiran terhadap cita-cita negara Pancasila memang perlu direvitalisasi kembali. Namun demikian, mengingat era reformasi mengagungkan semangat demokratisasi, keterbukaan dan kebebasan, spirit dasar Pancasila harus tetap dijaga. Spirit Pancasila yang dimaksud adalah bahwa perbedaan itu bisa benar-benar diwujudkan sebagai sebuah rahmat Tuhan, sehingga perbedaan yang ada bukan menjadi sumber perpecahan dan kekerasan.
Untuk menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai arah pada perjalanan bangsa saat ini, maka kita harus mengambil makna sejarah bangsa sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang sebenarnya merekomendasikan agar Pancasila diposisikan sebagai ideologi terbuka atau ideologi yang inklusif,yaitusuatu ideologi bangsa yang dinamis, adaptif, aktual, dan hidup. Konsekuensinya, segenap permasalahan bangsa harus dapat dijawab dengan perspektif Pancasila kita –suatu perspektif yang hadir melalui proses dialektika segenap anak bangsa yang ber-Pancasila.
Dalam era reformasi ini pula, Pancasila harus diaktualisasikan nilai-nilainya di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Reaktualisasi nilai-nilai tersebut, ditumbuhkan dengan membuka kembali kesadaran dan komitmen untuk menempatkan Pancasila sebagai konsensus nasional, pijakan dasar dalam melangkah, dan sebagai common platform yang mempersatukan keberagaman kita sebagai bangsa. Pancasila adalah titik temu (bukan titik tengkar/mempertajam perbedaan). Konsekwensinya, agar nilai-nilai Pancasilamenjadi arah bagi perjalanan bangsa, maka segenap perundang-undangan, termasuk peraturan-peraturan daerah, harus merujukpada spirit Pancasila dan merujuk pada konstitusi UUD 1945. Tidak boleh ada undang-undang, peraturan-peraturan pemerintah, perda-perda yang “bermasalah”, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai Pancasila. Dalam konteks ini negara harus tegas untuk meluruskan, manakala terdapat peraturan perundang-undangan “yang bermasalah”. Apalagi sekarang sudah ada institusi Mahkamah Konstitusi (MK), yang semakin dituntut untuk proaktif dalam memperkuat ketaatan kita semua dalam berkonstitusi.
Pancasila yang menjiwai Pembukaan UUD 1945, yang menjadi dasar dalam tujuan kita berbangsa dan bernegara, dalam tataran implementasinya harus mengarah kepada terwujudnya cita-cita NKRI yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinnekaan. Oleh karenanya, lembaga-lembaga negara terkait, terutama pemerintah, tidak boleh ragu-ragu dalam menyikapi berbagai fenomena yang berkembang dalam masyarakat yang ditengarai bertentangan dengan Pancasila dan sendi-sendi bangsa. Segala tindakan yang melawan konstitusi dan hukum, lebih-lebih yang bersifat anarkhis dan memecah belah bangsa, tentu harus diselesaikan dengan tegas pemerintah dan perangkat hukum melalui jalur hukum yang berkeadilan dan beradab.
Menjawab kedua tantangan tersebut, tentu saja, perlu penegasan kembali hal-hal seperti: menumbuhkan kesadaran kolektif dan komitmen bersama terhadap Pancasila sebagai sumber nilai/filosofi bangsa, sebagai platform bersama kita semua dalam meniti masa depan bangsa; perlunya digalakkan kembali sosialisasi nilai-nilai Pancasila di tengah-tengah masyarakat, dengan melibatkan instrumen-instrumen negara, namun dengan pendekatan yang lebih tepat, tidak bersifat indoktrinatif, selaras dengan tantangan zaman –dimana Pancasila harus dipandang sebagai ideologi yang terbuka; Pancasila harus ditempatkan sebagai spirit dasar dalam pembentukan perundang-undangan dan berbagai peraturan di bawahnya. Tidak boleh ada UU dan peraturan-peraturan di bawahnya yang bertentangan dengan konstitusi kita. Sebaliknya, Pancasila harus ditempatkan sebagai rujukan dasar dalam menyelesaikan permasalahan bangsa.
Sesungguhnya, Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, telah mencakup banyak hal, termasuk tujuan utama berdirinya negara ini. Sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, tujuan negara kita adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan ini kemudian dicita-citakan dengan didasarkan pada lima (5) sila yang kita kenal dengan Pancasila.
Cita-cita Negara Pancasila, sebagaimana dirintis dasar-dasar filosofisnya oleh the founding fathersmerupakan sumber nilai dan filosofi bangsa sebagaimana terumuskan dalam lima (5) silanya. Pancasila sebagai ideologi bangsa menegaskan bahwa Indonesia bukan negara sekuler, tetapi juga bukan negara agama. Indonesia adalah negara yang berKetuhanan, berPerikemanusiaan, yang mengedepankan harmoni dan persatuan bangsa, menjunjung tinggi musyawarah dalam bingkai demokrasi, dan mengedepankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila yang dicita-citakan oleh the founding fathers, juga merupakan pondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, menjadi pilar utama diantara empat pilar yang sedang disosialisasikan oleh MPR. Keempat pilar itu adalah Pancasila, Undang Undang Negara Republik Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Keempat pilar ini adalah wujud dari peningkatan pemahaman kita terhadap sistem politik ketatanegaraan.
Sebelum Era Reformasi,Pancasila memang pernah ditempatkan sebagai ideologi yang statis, eksklusif, monolitik, serta menutup ruang dialog bagi kebhinekaan (keberagaman) pandangan. Pancasila sebagai ideologi bangsa mengarah pada penafsiran tunggal dengan tujuan untuk meligitimasi kekuasaan. Pada masa itu, oleh berbagai kalangan, bahkan penguasa, Pancasila seringkali dijadikan sebagai alat pukul politik (political hammer) terhadap perbedaan pendapat atau pandangan. Untuk melegitimasi kekuasaan, ditetapkan TAP MPR No. V/MPR/1973 dan TAP MPR No. IX/MPR/1978 yang menegaskan secara formal bahwa “Pancasila sebagai sumber hukum dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum di Indonesia”. Untuk menguatkan legitimasi kekuasaan pula, dilakukanlah Penataran P4 (yang ditetapkan melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila/Eka Prasetya Pancakarsa) dan penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, yang pada akhirnya memunculkan penafsiran tunggal atas azas Pancasila. UU. No. 8 tahun1985Tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang mewajibkan setiap Organisasi Kemasyarakatan untuk menggunakan satu azas, yaitu azas Pancasila pada akhirnya memecah beberapa Ormas, karena pada dasarnya mereka sudah memiliki azas organisasi misalnya azas agama (azas islam, Kristen dll), azas nasionalis dan sebagainya.
Pada Era Reformasi, kesadaran terhadap arti penting Pancasiladijadikan pertimbangan untuk mencabut berbagai TAP tersebut. Keluarnya TAP MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang P4/ Eka Prasetya Pancakarsa dan tidak berlaku lagi TAP MPR No. V/MPR/1973 dan TAP MPR No. IX/MPR/1978, membuktikan bahwa penafsiran terhadap cita-cita negara Pancasila memang perlu direvitalisasi kembali. Namun demikian, mengingat era reformasi mengagungkan semangat demokratisasi, keterbukaan dan kebebasan, spirit dasar Pancasila harus tetap dijaga. Spirit Pancasila yang dimaksud adalah bahwa perbedaan itu bisa benar-benar diwujudkan sebagai sebuah rahmat Tuhan, sehingga perbedaan yang ada bukan menjadi sumber perpecahan dan kekerasan.
Untuk menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai arah pada perjalanan bangsa saat ini, maka kita harus mengambil makna sejarah bangsa sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang sebenarnya merekomendasikan agar Pancasila diposisikan sebagai ideologi terbuka atau ideologi yang inklusif,yaitusuatu ideologi bangsa yang dinamis, adaptif, aktual, dan hidup. Konsekuensinya, segenap permasalahan bangsa harus dapat dijawab dengan perspektif Pancasila kita –suatu perspektif yang hadir melalui proses dialektika segenap anak bangsa yang ber-Pancasila.
Dalam era reformasi ini pula, Pancasila harus diaktualisasikan nilai-nilainya di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Reaktualisasi nilai-nilai tersebut, ditumbuhkan dengan membuka kembali kesadaran dan komitmen untuk menempatkan Pancasila sebagai konsensus nasional, pijakan dasar dalam melangkah, dan sebagai common platform yang mempersatukan keberagaman kita sebagai bangsa. Pancasila adalah titik temu (bukan titik tengkar/mempertajam perbedaan). Konsekwensinya, agar nilai-nilai Pancasilamenjadi arah bagi perjalanan bangsa, maka segenap perundang-undangan, termasuk peraturan-peraturan daerah, harus merujukpada spirit Pancasila dan merujuk pada konstitusi UUD 1945. Tidak boleh ada undang-undang, peraturan-peraturan pemerintah, perda-perda yang “bermasalah”, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai Pancasila. Dalam konteks ini negara harus tegas untuk meluruskan, manakala terdapat peraturan perundang-undangan “yang bermasalah”. Apalagi sekarang sudah ada institusi Mahkamah Konstitusi (MK), yang semakin dituntut untuk proaktif dalam memperkuat ketaatan kita semua dalam berkonstitusi.
Pancasila yang menjiwai Pembukaan UUD 1945, yang menjadi dasar dalam tujuan kita berbangsa dan bernegara, dalam tataran implementasinya harus mengarah kepada terwujudnya cita-cita NKRI yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinnekaan. Oleh karenanya, lembaga-lembaga negara terkait, terutama pemerintah, tidak boleh ragu-ragu dalam menyikapi berbagai fenomena yang berkembang dalam masyarakat yang ditengarai bertentangan dengan Pancasila dan sendi-sendi bangsa. Segala tindakan yang melawan konstitusi dan hukum, lebih-lebih yang bersifat anarkhis dan memecah belah bangsa, tentu harus diselesaikan dengan tegas pemerintah dan perangkat hukum melalui jalur hukum yang berkeadilan dan beradab.
PPPD-795 https://woof.tube/stream/R9sL6bpxDCj
Menjawab Tantangan
Dalam memperkuat konsolidasi demokrasi, tantangan yang muncul di tengah-tengah masyarakat kita, memperlihatkan bahwa integrasi bangsa semakin dipertaruhkan oleh hadirnya berbagai tantangan internal dan eksternal. Secara internal, identitas Keindonesiaan kita yang berdasarkan Pancasila, terus diuji: bagaimana substansi Pancasila mampu terefleksikan dengan baik di tengah-tengah masyarakat dan bangsa. Secara eksternal, kita semakin dihadapkan pada fenomena dinamika globalisasi berikut dampak-dampaknya yang harus dapat kita respons dengan tepat. Kita harus mampu hadir dan berkompetisi di tataran global, dengan kelebihan-kelebihan yang kita miliki.Menjawab kedua tantangan tersebut, tentu saja, perlu penegasan kembali hal-hal seperti: menumbuhkan kesadaran kolektif dan komitmen bersama terhadap Pancasila sebagai sumber nilai/filosofi bangsa, sebagai platform bersama kita semua dalam meniti masa depan bangsa; perlunya digalakkan kembali sosialisasi nilai-nilai Pancasila di tengah-tengah masyarakat, dengan melibatkan instrumen-instrumen negara, namun dengan pendekatan yang lebih tepat, tidak bersifat indoktrinatif, selaras dengan tantangan zaman –dimana Pancasila harus dipandang sebagai ideologi yang terbuka; Pancasila harus ditempatkan sebagai spirit dasar dalam pembentukan perundang-undangan dan berbagai peraturan di bawahnya. Tidak boleh ada UU dan peraturan-peraturan di bawahnya yang bertentangan dengan konstitusi kita. Sebaliknya, Pancasila harus ditempatkan sebagai rujukan dasar dalam menyelesaikan permasalahan bangsa.
Hasil perjuangan kemerdekaan itu terjelma dalam wujud suatu Negara Indonesia. Menyusun suatu Negara atas kemampuan dan kekuatan sendiri dan selanjutnya untuk menuju cita-cita bersama yaitu masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tujuan Nasional Negara Republik Indonesia tertuang dalam Alinea Keempat, disebutkan bahwa “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial …”.
Berdasarkan alinea tersebut, tujuan nasional yang ingin dicapai Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum.
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam rangka perwujudan cita-cita dan tujuan nasional tersebut, beberapa upaya yang dapat dilakukan negara, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Memberikan kepastian dan perlidungan hukum terhadap semua warga negara tanpa diskriminatif.
2. Menyediakan fasilitas umum yang memadai yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
3. Menyediakan sarana pendidikan yang memadai dan merata di seluruh tanah air.
4. Memberikan biaya pendidikan gratis terhadap seluruh jenjang pendidikan bagi seluruh warga negara.
5. Menyediakan infrastruktur serta sarana transportasi yang memadai dan menunjang tingkat perekonomian rakyat.
6. Menyediakan lapangan kerja yang dapat menyerap jumlah angkatan kerja dalam rangka penghidupan yang layak bagi seluruh warga negara.
7. Mengirimkan pasukan perdamaian dalam rangka ikut serta berpartisipasi aktif dalam menjaga dan memelihara perdamaian dunia.
Loading...
No comments:
Post a Comment