Banyak malapetaka yang menimpa bangsa dan negara berawal dari ketidak transparanan pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan antara lain: a. Adanya kebijakan-kebijakan yang bermuatan kepentingan individu dan golongan, sehingga merusak tatanan hidup berbangsa dan bernegara. b. Penyelenggaraan pemerintah yang tidak transparan menjadikan penyelenggara negara bertindak menyimpang, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sangat merugikan bangsa dan negara. c. Adanya ketidak adilan dan ketidakpastian hokum. d. Timbulnya instabilitas dalam berbagai bidang kehidupan. e. Bentuk-bentuk penyimpangan akibat tidak transparannya penyelenggaraan negara misalnya: manipulasi pajak, penyelundupan, korupsi, kolusi, nepotisme.
Sebaiknya Anda Tahu Dampak Lain Pemerintahan yang Tidak Transparan a. Pemerintahan yang diktator. Yaitu pemerintahan yang tidak demokratis, menindas rakyat dengan kekuasaan mutlak, yang diperoleh dengan cara kekerasan. b. Pemerintahan yang tidak bertanggungjawab. Adalah pemerintahan yang dalam setiap kebijakannya tidak dipertanggungjawabkan kepada rakyatnya. Biasanya banyak kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada kepentingan rakyat banyak. c. Pemerintahan yang korup. Yaitu pemerintahan yang banyak diwarnai penyelewengan atau penggelapan uang negara/perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi dari pejabat negara. d. Pemerintahan yang banyak terjadi kolusi. Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. e. Pemerintahan yang penuh nepotisme. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. f. Pemerintahan yang tidak menjunjung tinggi norma kesusilaan,kepatutan dan norma hukum.
Sebaiknya Anda Tahu Peraturan Perundangan dan Lembaga untuk Pemberantasan KKN a. Komisi pemberantasan tindak pidana korupsi; b. Perlindungan saksi dan korban; c. Kejahatan terorganisasi; d. Kebebasan mendapatkan informasi; e. Etika pemerintahan; f. Kejahatan pencucian uang; g. Ombudsman. g. Perlu segera membentuk Undang-undang guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan kolusi dan atau nepotisme yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi.
3. Pemerintahan yang Transparan perlu Adanya Kebebasan Pers Ketika Soeharto lengser dari kursi kepresidenan setelah didudukinya selama 32 tahun, kalangan pers berharap bahwa kebebasan pers yang selama ini terbelenggu dapat diperoleh kembali. Maka harapan besar sangat dipikulkan pada BJ Habibie sebagai presiden setelah Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Menteri Penerangan era BJ Habibie, Yunus Yosfiah mencabut Peraturan Menteri Penerangan No. 01/Per/Menpen/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang selama ini dikhawatirkan banyak orang sebagai satu-satunya penghambat kebebasan pers. Pencabutan peraturan tentang SIUPP ini ternyata belum membuat lega kalangan pers karena masih ada beberapa Permenpen dan SK Menpen yang disinyalir sama dan sebangun dalam usaha menghambat kebebasan pers. Dengan tidak ragu-ragu lagi Menpen mancabut pula: a. Permenpen No 02/Per/Menpen/1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Wartawan. b. SK Menpen No.214 tentang Prosedur dan Persyaratan untuk mendapatkan SIUPP. c. SK Menpen No. 47/Kep/Menpen/1975 tentang Pengukuhan PWI dan SPS Sebagai Satu-satunya Organisasi Wartawan dan Organisasi Penerbit Pers Indonesia. d. SK Menpen No. 184/Kep/Menpen/1978 tentang Pengukuhan Serikat Grafika Pers Sebagai Satu-satunya Organisasai Percetakan Pers Nasional. e. SK Menpen No. 24/Kep/Menpen/1978 dan SK Menpen No. 226/Kep/Menpen/1984 tentang Wajib Relai Siaran RRI dan Penyelenggaraan Siaran Berita oleh Radio Siaran Non RRI. Penegasan secara eksplisit akan jaminan kebebasan pers dikeluarkan melalui Permenpen No. 01/Per/Menpen/1998 yang tidak ada lagi sanksi pencabutan SIUPP. Jika sebelumnya untuk mendapatkan SIUPP diperlukan 16 syarat dan harus berhadapan dengan birokrasi yang sulit ditembus, sekarang hanya perlu tiga syarat, mengisi formulir permohonan, menyerahkan akta pendirian perusahaan dan ssusunan pengasuh. Dengan demikian lengkaplah sudah jawaban keraguan masyarakat akan jaminan kebebasan pers oleh menteri yang dari militer itu. Gayungpun bersambut, dalam tahun 1999 telah ada 852 SIUPP. Bahkan sampai juli 1999 jumlah penerbitan pers telah bertambah dari 289 pada tahun 1997 menjadi 1427. Dengan demikian sejak Soeharto lengser, ada penambahan 1138 SIUPP baru baik yang sudah dan akan terbit. Organisasi kewartawananpun tidak dimonopoli lagi oleh PWI. Saat ini sudah ada sekitar 24 organisasi kewartawanan. Wilayah penyebaran SIUPP, juga sangat beragam, meliputi kota kabupaten tidak hanya kota propinsi apalagi di jakarta. Meskipun dari segi prosentase jakarta tetap masih tertinggi (48,70%). Dari segi isi tak jauh berbeda meskipun lebih terkonsentrasi ke koran umum dan politik. Pemerintah BJ Habibie mempunyai sumbangan yang sangat besar dengan mengembalikan esensi kebebasan pers. Berbagai regulasi aturan dihapuskan dan berbagai tekanan psikologis dihilangkan. Maka dalam posisi ini, pers yang selama Orde Baru takut memberitakan kejahatan pejabat, kemudian tak tanggung-tanggung mengekpos habis-habisan. Sekedar menyebut contoh adalah pemberitaan mengenai keluarga Cendana. Selama Orde Baru berbagai bentuk penyelewengan bisnis keluarga Soeharto tidak pernah diberitakan pers. Berbagai kasus KKN cenderung ditutup-tutupi. Begitu Habibie membuka kran kebebasan, pers menanggapi dengan sangat antusias. Bisnis keluarga Cendana kemudian dipreteli satu persatu. Pejabat yang korup diberitakan tanpa rasa takut. Inilah kebebasan yang diberikan baik secara struktural maupun psikologis.
4. Sikap Terbuka dalam Penyelenggaraan Negara Saat menyampaikan pidato pada puncak peringatan Hari Pers Nasional 2005, di Pekan Baru, Riau, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyatakan bahwa dirinya sangat terbuka terhadap kritik, terbuka pada setiap masukan. Bahkan secara tegas presiden mengatakan, para menteri pada pemerintahannya diminta berbesar hati menerima kritik. Kritik yang baik merupakan alat untuk memotivasi kerja, memperbaiki kinerja. Secara khusus presiden meminta bantuan pers untuk terus menyoroti pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Berbagai pengungkapan kasus KKN yang terjadi di lapangan merupakan masukan yang baik bagi pemerintah untuk bisa menindaklanjuti dan menyadari betapa masih banyak persoalan besar yang harus ditangani. Pers dan pemerintah, pers dan masyarakat, pers dan dunia usaha bukanlah institusi yang harus berseberangan. Dengan menghormati peran masing-masing dan kesadaran akan hak dan kewajiban yang diemban, seharusnya justru menjadi kekuatan yang saling mengisi. Sekarang ini semua itu belum bisa berjalan dengan baik dan optimal karena kedua belah pihak dihinggapi rasa saling tidak percaya. Pers tidak percaya bahwa kebebasan yang menjadi salah satu prasyarat bagi mereka untuk menjalankan tugasnya secara tulus diberikan. Sementara pihak di luar pers menganggap pers hanya ingin menikmati kebebasannya, tanpa pernah mau peduli dan sadar mengenai manfaat bagi kebebasan yang dimilikinya itu. Ketidak percayaan itu membuat segala hal selalu dilihat dengan penuh kecurigaan. Ketika pers mengangkat sebuah fenomena ataupun fakta yang terjadi di masyarakat, yang pertama-tama muncul adalah apa maksud dari pemberitaan itu. Tidak pernah dicoba dilihat apakah benar ada titik api yang menyebabkan keluarnya asap. Yang lebih menonjol adalah kesimpulan, bahwa asap itu bukanlah sesuatu yang benar-benar ada, tetapi diada-adakan. Kebetulan sekarang kita memang hidup di zaman yang bebas. Orang merasa bisa melakukan apa saja, bisa menggunakan apa saja untuk melindungi haknya. Maka munculla pula berbagai gugatan terhadap kegiatan jurnalistik dengan berlindung di balik pencemaran nama baik. Sebaliknya pers tidak pernah mau menyadari bahwa kebebasan yang mereka miliki bukanlah kebebasan tanpa batas dan tanpa tanggung jawab. Akibatnya, kebebasan itu lebih banyak digunakan untuk memuaskan kepentingan pribadi, untuk menghakimi orang lain, bukan kebebasan untuk menyelesaikan persoalan dan mencari solusi bagi perbaikan kehidupan kita bersama. Kritik balik pada pers sering kali dilihat sebagai niat untuk membatasi kebebasan. Padahal hal itu merupakan baigian dari fungsi checks and balances, agar pers selalu ingat akan tugas utamanya, yakni memberikan informasi yang bermanfaat sehingga dapat mencerdaskan dan mencerahkan bangsanya. Selama ini sebagian besar energi kita habis untuk mempertahankan kebenaran yang kita yakini itu. Kalangan pers menuntut adanya perlindungan bagi kegiatan jurnalistik dengan menjadikan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 sebagai bentengnya. Sebaliknya kalangan di luar pers berpendapat agar tidak perlu memberikan hak istimewa pada wartawan. Di hadapan hukum setiap orang haruslah sama. Dengan argumentasi masing-masing, perdebatan itu pasti tidak pernah akan ada habisnya. Untuk itulah kita cenderung datang dengan pendekatan baru, mengapa tidak dibangun saja rasa saling percaya. Masyarakat sebaiknya meyakini, bahwa pers adalah institusi yang selalu peduli terhadap nasib bangsa. Setiap individu di lingkungan pers bukanlah individu yang mementingkan dirinya sendiri. Tak pernah terlintas di benak para pengelola pers untuk menggunakan profesinya guna tujuan menghakimi orang lain, menghancurkan pihak lain. Apalagi bila dikatakan kalangan pers suka menari di atas penderitaan orang lain. Etika jurnalistik dan profesionalisme wartawan merupakan sandaran bagi setiap insan pers untuk bekerja dengan baik. Ketika masih ada wartawan yang tidak menghormati aturan main itu, maka pertama-tama kalangan perslah yang harus menghukumnya.
Sebaiknya Anda Tahu Dampak Lain Pemerintahan yang Tidak Transparan a. Pemerintahan yang diktator. Yaitu pemerintahan yang tidak demokratis, menindas rakyat dengan kekuasaan mutlak, yang diperoleh dengan cara kekerasan. b. Pemerintahan yang tidak bertanggungjawab. Adalah pemerintahan yang dalam setiap kebijakannya tidak dipertanggungjawabkan kepada rakyatnya. Biasanya banyak kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada kepentingan rakyat banyak. c. Pemerintahan yang korup. Yaitu pemerintahan yang banyak diwarnai penyelewengan atau penggelapan uang negara/perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi dari pejabat negara. d. Pemerintahan yang banyak terjadi kolusi. Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. e. Pemerintahan yang penuh nepotisme. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. f. Pemerintahan yang tidak menjunjung tinggi norma kesusilaan,kepatutan dan norma hukum.
Corvus https://verystream.com/stream/YPvbVabxRXp2. Kebijakan Pemberantasan KKN Pemerintahan Era Reformasi Salah satu dampak paling umum dan serius dari pemerintahan yang tidak terbuka adalah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Selama lebih dari tiga puluh tahun pemerintahan Indonesia dibawah Orde Baru juga terjadi KKN yang sangat besar. Arah Kebijakan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme di Indonesia (Tap MPR No. VIII/MPR/2001) a. Mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintah terutama aparat penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga melakukan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta dapat dilakukan tindakan administratif untuk memperlancar proses hukum. b. Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi di masa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya. c. Mendorong partisipasi masyarakat luas dalam mengawasi dan melaporkan kepada pihak yang berwenang berbagai dugaan praktek korupsi, kolusi, dan neporisme yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara dan anggota masyarakat. d. Mencabut, mengubah, atau mengganti semua peraturan perundang-undangan serta keputusan-keputusan penyelenggara negara yang berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. e. Merevisi semua peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan korupsi sehingga sinkron dan konsisten satu dengan yang lainnya. f. Membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi.
Sebaiknya Anda Tahu Peraturan Perundangan dan Lembaga untuk Pemberantasan KKN a. Komisi pemberantasan tindak pidana korupsi; b. Perlindungan saksi dan korban; c. Kejahatan terorganisasi; d. Kebebasan mendapatkan informasi; e. Etika pemerintahan; f. Kejahatan pencucian uang; g. Ombudsman. g. Perlu segera membentuk Undang-undang guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan kolusi dan atau nepotisme yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi.
3. Pemerintahan yang Transparan perlu Adanya Kebebasan Pers Ketika Soeharto lengser dari kursi kepresidenan setelah didudukinya selama 32 tahun, kalangan pers berharap bahwa kebebasan pers yang selama ini terbelenggu dapat diperoleh kembali. Maka harapan besar sangat dipikulkan pada BJ Habibie sebagai presiden setelah Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Menteri Penerangan era BJ Habibie, Yunus Yosfiah mencabut Peraturan Menteri Penerangan No. 01/Per/Menpen/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang selama ini dikhawatirkan banyak orang sebagai satu-satunya penghambat kebebasan pers. Pencabutan peraturan tentang SIUPP ini ternyata belum membuat lega kalangan pers karena masih ada beberapa Permenpen dan SK Menpen yang disinyalir sama dan sebangun dalam usaha menghambat kebebasan pers. Dengan tidak ragu-ragu lagi Menpen mancabut pula: a. Permenpen No 02/Per/Menpen/1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Wartawan. b. SK Menpen No.214 tentang Prosedur dan Persyaratan untuk mendapatkan SIUPP. c. SK Menpen No. 47/Kep/Menpen/1975 tentang Pengukuhan PWI dan SPS Sebagai Satu-satunya Organisasi Wartawan dan Organisasi Penerbit Pers Indonesia. d. SK Menpen No. 184/Kep/Menpen/1978 tentang Pengukuhan Serikat Grafika Pers Sebagai Satu-satunya Organisasai Percetakan Pers Nasional. e. SK Menpen No. 24/Kep/Menpen/1978 dan SK Menpen No. 226/Kep/Menpen/1984 tentang Wajib Relai Siaran RRI dan Penyelenggaraan Siaran Berita oleh Radio Siaran Non RRI. Penegasan secara eksplisit akan jaminan kebebasan pers dikeluarkan melalui Permenpen No. 01/Per/Menpen/1998 yang tidak ada lagi sanksi pencabutan SIUPP. Jika sebelumnya untuk mendapatkan SIUPP diperlukan 16 syarat dan harus berhadapan dengan birokrasi yang sulit ditembus, sekarang hanya perlu tiga syarat, mengisi formulir permohonan, menyerahkan akta pendirian perusahaan dan ssusunan pengasuh. Dengan demikian lengkaplah sudah jawaban keraguan masyarakat akan jaminan kebebasan pers oleh menteri yang dari militer itu. Gayungpun bersambut, dalam tahun 1999 telah ada 852 SIUPP. Bahkan sampai juli 1999 jumlah penerbitan pers telah bertambah dari 289 pada tahun 1997 menjadi 1427. Dengan demikian sejak Soeharto lengser, ada penambahan 1138 SIUPP baru baik yang sudah dan akan terbit. Organisasi kewartawananpun tidak dimonopoli lagi oleh PWI. Saat ini sudah ada sekitar 24 organisasi kewartawanan. Wilayah penyebaran SIUPP, juga sangat beragam, meliputi kota kabupaten tidak hanya kota propinsi apalagi di jakarta. Meskipun dari segi prosentase jakarta tetap masih tertinggi (48,70%). Dari segi isi tak jauh berbeda meskipun lebih terkonsentrasi ke koran umum dan politik. Pemerintah BJ Habibie mempunyai sumbangan yang sangat besar dengan mengembalikan esensi kebebasan pers. Berbagai regulasi aturan dihapuskan dan berbagai tekanan psikologis dihilangkan. Maka dalam posisi ini, pers yang selama Orde Baru takut memberitakan kejahatan pejabat, kemudian tak tanggung-tanggung mengekpos habis-habisan. Sekedar menyebut contoh adalah pemberitaan mengenai keluarga Cendana. Selama Orde Baru berbagai bentuk penyelewengan bisnis keluarga Soeharto tidak pernah diberitakan pers. Berbagai kasus KKN cenderung ditutup-tutupi. Begitu Habibie membuka kran kebebasan, pers menanggapi dengan sangat antusias. Bisnis keluarga Cendana kemudian dipreteli satu persatu. Pejabat yang korup diberitakan tanpa rasa takut. Inilah kebebasan yang diberikan baik secara struktural maupun psikologis.
4. Sikap Terbuka dalam Penyelenggaraan Negara Saat menyampaikan pidato pada puncak peringatan Hari Pers Nasional 2005, di Pekan Baru, Riau, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyatakan bahwa dirinya sangat terbuka terhadap kritik, terbuka pada setiap masukan. Bahkan secara tegas presiden mengatakan, para menteri pada pemerintahannya diminta berbesar hati menerima kritik. Kritik yang baik merupakan alat untuk memotivasi kerja, memperbaiki kinerja. Secara khusus presiden meminta bantuan pers untuk terus menyoroti pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Berbagai pengungkapan kasus KKN yang terjadi di lapangan merupakan masukan yang baik bagi pemerintah untuk bisa menindaklanjuti dan menyadari betapa masih banyak persoalan besar yang harus ditangani. Pers dan pemerintah, pers dan masyarakat, pers dan dunia usaha bukanlah institusi yang harus berseberangan. Dengan menghormati peran masing-masing dan kesadaran akan hak dan kewajiban yang diemban, seharusnya justru menjadi kekuatan yang saling mengisi. Sekarang ini semua itu belum bisa berjalan dengan baik dan optimal karena kedua belah pihak dihinggapi rasa saling tidak percaya. Pers tidak percaya bahwa kebebasan yang menjadi salah satu prasyarat bagi mereka untuk menjalankan tugasnya secara tulus diberikan. Sementara pihak di luar pers menganggap pers hanya ingin menikmati kebebasannya, tanpa pernah mau peduli dan sadar mengenai manfaat bagi kebebasan yang dimilikinya itu. Ketidak percayaan itu membuat segala hal selalu dilihat dengan penuh kecurigaan. Ketika pers mengangkat sebuah fenomena ataupun fakta yang terjadi di masyarakat, yang pertama-tama muncul adalah apa maksud dari pemberitaan itu. Tidak pernah dicoba dilihat apakah benar ada titik api yang menyebabkan keluarnya asap. Yang lebih menonjol adalah kesimpulan, bahwa asap itu bukanlah sesuatu yang benar-benar ada, tetapi diada-adakan. Kebetulan sekarang kita memang hidup di zaman yang bebas. Orang merasa bisa melakukan apa saja, bisa menggunakan apa saja untuk melindungi haknya. Maka munculla pula berbagai gugatan terhadap kegiatan jurnalistik dengan berlindung di balik pencemaran nama baik. Sebaliknya pers tidak pernah mau menyadari bahwa kebebasan yang mereka miliki bukanlah kebebasan tanpa batas dan tanpa tanggung jawab. Akibatnya, kebebasan itu lebih banyak digunakan untuk memuaskan kepentingan pribadi, untuk menghakimi orang lain, bukan kebebasan untuk menyelesaikan persoalan dan mencari solusi bagi perbaikan kehidupan kita bersama. Kritik balik pada pers sering kali dilihat sebagai niat untuk membatasi kebebasan. Padahal hal itu merupakan baigian dari fungsi checks and balances, agar pers selalu ingat akan tugas utamanya, yakni memberikan informasi yang bermanfaat sehingga dapat mencerdaskan dan mencerahkan bangsanya. Selama ini sebagian besar energi kita habis untuk mempertahankan kebenaran yang kita yakini itu. Kalangan pers menuntut adanya perlindungan bagi kegiatan jurnalistik dengan menjadikan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 sebagai bentengnya. Sebaliknya kalangan di luar pers berpendapat agar tidak perlu memberikan hak istimewa pada wartawan. Di hadapan hukum setiap orang haruslah sama. Dengan argumentasi masing-masing, perdebatan itu pasti tidak pernah akan ada habisnya. Untuk itulah kita cenderung datang dengan pendekatan baru, mengapa tidak dibangun saja rasa saling percaya. Masyarakat sebaiknya meyakini, bahwa pers adalah institusi yang selalu peduli terhadap nasib bangsa. Setiap individu di lingkungan pers bukanlah individu yang mementingkan dirinya sendiri. Tak pernah terlintas di benak para pengelola pers untuk menggunakan profesinya guna tujuan menghakimi orang lain, menghancurkan pihak lain. Apalagi bila dikatakan kalangan pers suka menari di atas penderitaan orang lain. Etika jurnalistik dan profesionalisme wartawan merupakan sandaran bagi setiap insan pers untuk bekerja dengan baik. Ketika masih ada wartawan yang tidak menghormati aturan main itu, maka pertama-tama kalangan perslah yang harus menghukumnya.
Loading...
No comments:
Post a Comment