Pengertian Prestasi Diri
Keberhasilan adalah dambaan dan impian setiap orang, baik anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua. Kata keberhasilan identik dengan kata prestasi. Keberhasilan ini tentunya tidak pada ruang lingkup yang sempit, tidak selalu posisi teratas atau number one, melainkan melalui proses pengenalan diri sehingga mengetahui serta menyadari kelebihan dan kelemahan. Setelah itu memanfaatkan kelebihan yang masih terpendam yang berupa potensi menjadi perilaku yang aktual. Hal ini merupakan pekerjaan besar yang membutuhkan kekuatan internal yang luar biasa dan tidak semua orang bisa melakukannya. Orang-orang terkenal, yang berprestasi pada bidangnya ternyata tidak semuanya berpendidikan tinggi. Melainkan melalui proses pengenalan diri yang baik dan mengoptimalkan seluruh potensi yang dimiliki. Albert Einstein, ternyata tidak mengenyam pendidikan. Namun berhasil menemukan apa itu quantum.
Setiap manusia apapun profesinya tentu akan mempunyai keinginan untuk berprestasi. Oleh karena dengan berprestasi seseorang akan dapat menilai apakah dirinya sudah berhasil mencapai tujuan hidupnya atau tidak, juga untuk membawa nama baik bangsa dan negara jika memang bisa. Pengertian prestasi yaitu hasil yang telah dicapai, dilakukan, diperoleh atau dikerjakan. Prestasi tiap orang tidak akan sama, ada yang berprestasi dalam hal :
• melukis
• berolahraga
• irama musik
• cepat menghitung
• puisi
• pemimpin
• menyesuaikan diri
• tampil menawan
Manakah yang paling bagus prestasinya? Tidak mungkin terjawab, karena masing-masing peristiwa menampilkan “tokoh” yang memiliki kecerdasan dalam bentuk yang berbeda-beda. Prestasi antara orang satu dengan lainnya tentu tidak akan sama, dan seseorang tidak akan mungkin menjadi orang yang sama persis dengan orang yang dikagumi prestasinya. Mengapa demikian ?
Pada hakikatnya manusia adalah individu ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki potensi diri yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga prestasi diri setiap orang tentu tidak akan sama. Itu sebabnya para ahli berpendapat bahwa setiap siswa adalah individu yang unik (berbeda satu dengan lainnya).
Sebagai Warga Negara Indonesia yang baik maka setiap orang berusaha berprestasi demi keunggulan bangsa Indonesia tercinta. Tentu sangat membanggakan jika kita dapat berprestasi seperti orang-orang berprestasi yang telah melakukannya, antara lain Taufik Hidayat, Susi Susanti, Ikhsan Juara Indonesia Idol 2006, Usman Hasan Saputra, Hermawan Kertajaya, atau Ir Ciputra, serta masih banyak lagi yang dapat dilihat dan disaksikan sendiri. Semuanya berprestasi sesuai bidangnya masing-masing. Ada yang olah raga, seni, budaya, maupun ilmu pengetahuan sertaenterpreneur (wiraswasta). Mengapa mereka dapat berprestasi di bidangnya, dan mengapa kita tidak atau belum mampu berprestasi seperti mereka ?
Coba kamu perhatikan beberapa pengertian prestasi berikut :
1. Prestasi adalah perolehan atau hasil yang telah dicapai dari suatu usaha, yang didasarkan pada nilai atau ukuran tertentu.
2. Prestasi adalah hasil yang dicapai oleh seseorang setelah melakukan usaha dan/ atau pekerjaan.
3. Prestasi adalah hasil yang diperoleh seseorang dari satu periode ke periode lainnya yang menunjukkan adanya perubahan ke arah kemajuan.
4. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, prestasi berarti hasil yang telah dicapai dari apa yang telah dilakukan, dikerjakan dan sebagainya.
Berdasarkan berbagai pengertian tersebut di atas, prestasi dapat dipahami sebagai hasil dari suatu kegiatan atau aktivitas yang dilakukan. Oleh karena itu Prestasi Diri berarti hasil usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau pribadi. Seseorang yang melakukan kegiatan dan menghasilkan sesuatu dikatakan berprestasi. Jika hasil itu didapat dari usaha bersama maka dinamakan prestasi kelompok atau prestasi bersama. Dapat pula dikatakan bahwa seseorang dianggap berprestasi, jika dia telah meraih sesuatu dari apa yang telah diusahakannya, baik melalui belajar, bekerja, berolahraga dan sebagainya. Prestasi tersebut merupakan wujud optimalisasi pengembangan potensi diri. Sudah tentu prestasi dapat diraih setelah seseorang mengerahkan daya dan upaya, baik mencakup kemampuan intelektual, emosional, spiritual dan ketahanan diri dalam berbagai bidang kehidupan.
A. Macam – macam Prestasi Diri
Prestasi merupakan hasil sebuah usaha yang tidak selamanya identik dengan hasil baik. Misalnya seorang siswa yang mengikuti ujian dan mendapatkan nilai lima, bisa dikatakan memperoleh prestasi buruk atau rendah. Sebuah tim sepakbola yang lebih sering kalah ketimbang menang adalah tim sepak bola yang berprestasi buruk, dan lain-lain. Jadi prestasi dapat berupa hasil yang baik maupun buruk.
Namun pada umumnya kita mengasosiasikan prestasi sebagai hasil baik. Ketika kita mengatakan seseorang berprestasi maka yang kita maksudkan adalah orang tersebut memperoleh hasil atau prestasi yang baik.
Dari penjelasan tersebut, prestasi baiklah yang kita bahas selanjutnya. Sehingga prestasi meliputi berbagai macam bidang antara lain :
1. Prestasi belajar, yaitu hasil yang didapat dari usaha belajar,
2. Prestasi kerja, yaitu hasil yang didapat dari bekerja
3. Prestasi di bidang seni
4. Prestasi di bidang olah raga
5. Prestasi di bidang lingkungan hidup
6. Prestasi di bidang Iptek, dan lain-lain
Pada dasarnya setiap orang memiliki keinginan untuk berprestasi atau memperoleh prestasi. Keinginan mendapatkan prestasi merupakan kebutuhan semua orang. Ciri-ciri orang yang memiliki motivasi atau keinginan berprestasi antara lain :
a. berorientasi pada masa depan atau cita-citanya
b. berorientasi pada keberhasilan
c. berani mengambil resiko
d. memiliki rasa tanggung jawab
e. menerima dan menggunakan kritik sebagai umpan balik
f. kreatif serta mampu mengelola waktu dengan baik
Prestasi seseorang sangat dipengaruhi oleh dua macam faktor yaitu faktor yang berasal dari dalam diri orang itu sendiri dan faktor yang berasal dari luar dirinya.
1. Faktor dari dalam diri, diantaranya bakat atau potensi, kepandaian atau intelektualitas, minat, kebiasaan, motivasi, pengalaman, kesehatan danemosi.
2. Faktor dari luar, misalnya keluarga, sekolah, masyarakat, sarana prasarana, fasilitas, gizi dan tempat tinggal.
Kedua jenis faktor tersebut mendukung satu sama lain. Prestasi biasanya akan muncul jika kedua macam faktor di atas terpenuhi secara baik.
Orang yang berprestasi adalah orang yang dianggap sukses dalam bidang tertentu, karena pada kenyataannya ia memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Konsep diri yang melekat pada orang yang berprestasi adalah konsep diri positif yang mampu menangkap, mengolah dan memberdayakan diri secara rasional dan proporsional serta efektif dan efisien.
[MIRD-194] https://woof.tube/stream/QDeBo1Cd1ak
Arti Pentingnya Prestasi
Orang yang berprestasi adalah orang yang mendapatkan keberhasilan atas usahanya. Prestasi bukanlah sesuatu yang datang tanpa usaha keras. Jika kita menyimak kisah-kisah perjalanan hidup orang-orang yang berprestasi, kita akan mendapati bahwa mereka bekerja keras untuk mencapai prestasi tersebut. Prestasi seorang siswa diwujudkan dalam perolehan nilai hasil belajar yang baik atau kelulusan dengan nilai yang baik. Para atlet dunia telah mulai mengenal olah ragadan berlatih sejak usia belasan atau bahkan sejak masuk sekolah dasar. Demikian juga ilmuwan-ilmuwan besar merupakan orang-orang yang tekun belajar dan bereksperimen. Diantara ribuan kali eksperimen mungkin ada berkali-kali kegagalan yang tidak membuat mereka putus asa. Kerja keras dan jiwa besar semacam itulah yang akhirnya berbuah prestasi di masa datang.
Orang yang berprestasi meyakini bahwa hasil yang diperoleh sesuai harapan dan keinginannya. Orang yang mendapatkan hasil sesuai harapan berarti memperoleh keberhasilan atau kesuksesan. Semua orang pasti menginginkan harapan, cita-cita dan keinginannya tercapai. Sehingga memperoleh prestasi sesungguhnya merupakan dambaan setiap siswa. Berprestasi tidak hanya akan mengharumkan nama kita tapi juga nama keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu prestasi mempunyai arti yang sangat penting, antara lain :
1. Prestasi dapat menjadi indikator ( penanda ) kuantitas dan kualitas yang dicapai dari suatu kegiatan.
2. Prestasi dapat menjadi pengalaman berharga dan bahan informasi untuk masa depan,
3. Prestasi dapat menjadi kebanggaan bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat.
4. Prestasi dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kepandaian dan kemampuan seseorang atau sebuah kelompok.
Banyak orang yang menghubungkan prestasi dengan berbagai penghargaan. Namun sesungguhnya penghargaan hanya merupakan simbol pengakuan masyarakat terhadap suatu prestasi. Penghargaan semacam ini bentuknya bermacam-macam, seperti piagam, piala, medali, uang dan lain-lain. Yang paling bermakna bagi seseorang yang berprestasi sebenarnya adalah pengakuan itu sendiri. Yaitu bahwa kerja keras yang dilakukannya selama ini dan hasil yang telah dicapai melalui upaya tersebut ternyata memperoleh pengakuan dari masyarakat.
Hakikat Prestasi Diri
Prestasi berasal dari bahasa Belanda prestatie yang artinya hasil usaha. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia prestasi diartikan sebagai hasil yang dicapai dari apa yang dikerjakan atau yang sudah diusahakan. Berdasarkan pengertian tersebut, prestasi merupakan hasil dari suatu kegiatan atau aktivitas yang dilaksanakan. Prestasi diri dapat diartikan sebagai suatu hasil usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang. Prestasi dapat dicapai oleh setiap orang dengan memanfatkan kemampuann intelektual, emosional, spiritual dan ketahanan diri dalam berbagai aspek kehidupan.Seseorang dianggap berprestasi jika mereka telah meraih dari apa yang telah diusahakan dalam salah satu atau lebih bidang kehidupan, baik melalui belajar, bekerja, olahraga dan lain sebagainya.. Pada umumnya orang berprestasi adalah orang yang memiliki suatu kelebihan kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang lain serta mampu mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki secara efektif dan efisien.
Macam-macam prestasi
Ada berbagai macam prestasi yang dicapai setiap orang, antara lain:Prestasi belajar, merupakan hasil yang dicapai oleh seorang karena usaha belajarnya.
Prestasi kerja, merupakan hasil yang dicapai seorang dari usaha kerja yang dilakukannya.
Prestasi seni, merupakan hasil diperoleh seorang melalui usaha olah seninya.
Prestasi olah raga, merupakan suatu prestasi yang diperoleh seorang melalui kompetisi olahraga
Prestasi lingkungan hidup, merupakan sutau prestasi yang diperoleh melalui usaha penyelamatan lingkungan hidup.
Sikap berprestasi
Sikap hidup yang mendukung seseorang untuk meraih prestasi, diantaranya adalah sebagai berikut:Berorientasi pada masa depan atau cita-cita
Berorientasi pada keberhasilan
Keberanian mengambil resiko
Rasa tanggung jawab yang besar
Menerima dan menggunakan kritik sebagai umpan balik
Memiliki sikap yang kreatif, inovatif dan mampu menggunakan waktu secara baik.
John Robert Power (Budiyanto,- 2005:11) menyatakan bahwa diri kita merupakan pelaku yang mampu mewujudkan sesuatu. Namun, keberhasilan setiap orang dalam memperoleh prestasi tidak hanya bergantung pada kemampuan dirinya sendiri akan tetapi juga atas bantuan orang lain. Bantuan yang dibutuhkan dapat bermacam-macam wujudnya baik material, spiritual atau dalam bentuk yang lain.
Dalam mencapai suatu prestasi tidak semudah yang diperkirakan. Kita harus mampu menghadapi berbagai tantangan yang ada. Tantangan dapat berasal dari diri sendiri maupun lingkungan.
Berasal dari sendiri, misalnya bakat atau potensi, kecerdasan atau intelektual, minat, motivasi, kebiasaan, emosi, kesehatan dan pengalaman diri
Berasal dari lingkungan, misalnya keluarga, sekolah, masyarakat, sarana prasarana, fasilitas, gizi dan tempat tinggal.
Prestasi dapat diraih apabila kemampuan yang dimiliki didukung oleh lingkungan yang positif. Apabila kemampuan yang dimiliki kurang meskipun dukungan lingkungan yang baik, prestasi yang diperoleh tetap kurang maksimal. Begitu pula jika kemampuan sudah maksimal akan tetapi dukungan dari lingkungan kurang hasilnya juga kurang menggembirakan. Berbagai tantangan ini yang harus kita hadapi sebagai pendorong untuk mencapai prestasi yang kita inginkan.
Kita membutuhkan kiat atau cara menghadapi kesulitan dalam mencapai prestasi. Kiat bisa didapat dengan cara belajar dari pengalaman diri sendiri maupun orang lain. Sepuluh kiat menurut AA. Qowiy dalam menghadapi suatu kesulitan untuk mencapai prestasi tinggi:
Bersikap tegar dalam menghadapi suatu kesulitan,
Dapat mengambil hikmah dari suatu kesulitan,
Bersikap gigih dalam mencari ilmu,
Mempunyai keberanian dalam mengambil resiko,
Bersikap tenang dalam segala tindakan,
Memiliki kebiasaan suka bekerja keras,
Mampu menikmati indahnya kesulitan,
Adanya kemauan menjalin kerja sama saling menguntungkan,
Selalu menjalankan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan
Mengembangkan sikap tawakal
Menurut Barbara Bartlein dalam buku Budiyanto (2005:13), sepuluh kiat untuk mencapai suatu kesuksesan dan prestasi kerja dalam Ten Measures of Success (Sepuluh Ukuran Kesuksesan), yaitu:
Mendapatkan penghasilan yang baik dari hasil pekerjaan yang baik,
Mempunyai visi dan tujuan,
Memperoleh cinta dan penghormatan dari orang-orang lain disekitar
Memberikan sumbangsih pada masyaraakat dengan suka rela,
Belajar dari kegagalan dan penolakan,
Menghabiskan waktunya untuk melakukan apa yang dinginkan,
Mempunyai gaya hidup yang sehat secara fisik,
Menjaga kehidupan spiritual,
Berusaha untuk meraih kesempurnaan, dan
Mempercayai bahwa kamu adalah seorang yang sukses.
Arti penting berprestasi
Arti penting prestasi seseorang dalam kehidupan adalah sebagai berikut:Prestasi merupakan wujud nyata kualitas dan kuantitas yang diperoleh sesorang dari usaha yang telah dilaksanakan
Prestasi merupakan sebuah pengalaman yang berharga dan menjadi sumber informasi untuk masa depan
Prestasi dapat menjadikan kebanggaan bagi diri sendiri, kelompok, masyarakat bangsa dan negara
Prestasi dapat dipergunakan untuk mengetahui tingkat kecerdasan dan ketrampilan seseorang, sebuah kelompok atau masyarakat
Kompetisi Secara Sehat
KOMPETISI dalam bahasa arab disebut dengan sabaqa. Kosa kata yang paling akrab di telinga kita adalah musabaqah (perlombaan) yang merupakan bentuk mashdar dari sabaqa. Untuk mengekspresikan sifat kompetitif tersebut, banyak wadah dan ruang untuk itu sesuai bidang atau profesi masing-masing. Pilkada Aceh adalah salah satu contoh ajang kompetisi dalam upaya menuju tampuk kepemimpinan Aceh.
Sayangnya, dari awal dimulainya proses pilkada banyak peristiwa menyayat hati dan tentunya merusak tatanan kedamaian Aceh; penembakan di beberapa wilayah Aceh awal januari lalu, pembakaran mobil tim sukses, penembakan rumah calon kontestan pilkada, dan sederetan kasus lainnya yang hampir setiap harinya terjadi di berbagai wilayah Aceh. Ini semua adalah bentuk kompetisi tidak sehat.
Berkompetisi dalam hal apapun, selama itu dalam koridor kebaikan dan ditempuh dengan jalan yang baik, sesungguhnya Islam sangat mengapresiasinya, bahkan menganjurkannya. Hal ini dapat terekam dalam salah satu firman-Nya: ‘dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berkompetisilah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh Allah Mahakuasa atas segala sesuatu’ (QS. [2] al-Baqarah: 148).
Anjuran untuk berkompetisi dalam kebaikan sebagaimana ayat di atas merupakan bentuk kompetisi sehat, yakni kompetisi yang didasari atas motivasi (niat) yang baik dari semua peserta kompetisi, di samping prosesnya juga baik, dan jelas hasilnya pasti akan baik. Adapun bentuk kompetisi tidak sehat adalah kompetisi yang tidak didasari oleh niat dan proses yang baik, sehingga hasilnya juga nanti tidak akan baik.
Mengapa Islam menganjurkan untuk berkompetisi dalam kebaikan?, jawabannya sederhana, karena kebaikan merupakan kemauan dan kebutuhan kolektif manusia, siapa dan di mana pun dia. Bahwa kebaikan secara individu akan melahirkan iklim dan kondisi batin yang terbebas dari belenggu, rasa bersalah dan memberikan efek manfaat luar biasa terhadap kedamaian serta kenyamanan sosial.
Contoh paling sederhana mengenai kompetisi sehat adalah bagaimana rasa leganya seseorang ketika dia memenangi sebuah laga dengan modal kemampuan yang dimilikinya tanpa ada trik-trik licik, tentu sangat bahagia. Bandingkan dengan orang yang menang dengan cara curang, secara batin dia tidak akan pernah puas dangan cara yang ditempuhnya. Surga dunia adalah ketika secara batin orang tidak terjajah dengan kegelisahan, ketakutan dan rasa was-was. Sebaliknya, neraka dunia adalah kondisi batin yang dikekang oleh rasa tidak nyaman seseorang karena banyak melakukan penyimpangan.
Dalam sepak bola, kita bisa saksikan bagaimana ketatnya pertarungan sebuah kompetisi. Namun yang kita salut dari ketatnya persaingan, secara umum dalam sepak bola sportifitas dan objektifitas tetap terjaga. Lihat saja, ketika Bolton berhadapan dengan Totingham Hotspurt di laga perempat final piala FA, di mana pemain Bolton, Muamba tiba-tiba jatuh pingsan karena serangan jantung, spontan pertandingan dihentikan walaupun waktu masih panjang dan semua berdo’a untuk Muamba.
Terkait Pilkada dimana saja Di Indonesia, barangkali spotifitas dalam persepakbolaan yang sering kita saksikan, merupakan contoh ril bagaimana berkompetisi dengan baik dan sejatinya kita teladani. Para calon pemimpin kita yang ikut bertarung di tingkat kabupaten atau provinsi harus mempu membuktikan bahwa mereka mau dan mampu berkompetisi sehat. Ibarat dalam adu lari, mereka jangan sampai mengambil jalan pintas agar cepat sampai ke finish, atau mencuri start duluan.
Mengiming-imingin masyarakat dengan menghambur-hamburkan uang dengan dalih untuk pembangunan masjid, atau bantuan untuk kelompok pengajian, menjelekkan peserta lain dengan membuka aib lawan, itu semua merupakan cara kompetisi yang tidak sehat. Selain itu, cara seperti ini menunjukkan sikap pesimis para calon bahwa mereka akan menang dan kurang dukungan sehingga melakukan cara-cara tidak sehat yang kita sebutkan tadi.
Kalau pun model peserta kompetisi seperti ini yang menang, penulis yakin apa yang ditempuhnya pasca kompetisi, setelah duduk di tampuk pimpinan, dia akan banyak menempuh cara dan jalan yang tidak sehat. Sekiranya mereka menang karena ditopang oleh materi, maka mereka tetap akan berpikir sama ketika menjabat untuk mengganti rugi dari apa yang telah mereka keluarkan. Bagi peserta kontestan yang menang dengan modal kebaikan dan kepercayaan publik, tidak akan pernah pusing untuk mencari ganti rugi, kalaupun kalah ia akan berlapang hati.
Di sisi lain, kompetisi tidak sehat dalam Pilkada, akan menghancurkan sendi-sendi persaudaraan antar umat muslim, khususnya di daerah yang merupakan wilayah syari’at. Bayangkan, gara-gara pilkada banyak orang yang terjebak dalam kelompok kecil dan berbicara atas kepentingan mereka. Padahal kita punya ‘rumah besar’ yang siap menaungi semuanya, yaitu Islam. Rasanya, keterlauan jika suatu daerah bergolak karena kekuasaan dan runtuhnya nilai-nilai persaudaraan.
Kemenangan dalam kompetisi di Pilkada, hemat penulis bukanlah kemenangan yang dihitung berdasarkan kuantitas, bahwa kita berhasil mengantongi jutaan suara mengalahkan yang lain. Kemenangan yang sesungguhnya dalam kompetisi di pilkada bagi semua calon adalah menjalani setiap proses dan tahapan pilkada secara objektif dan sportif dan tidak melakukan strategi kotor yang merusak pasangan lain sebagai lawan kompetisi.
Kemenangan yang sesungguhnya juga adalah kelapangan hati dalam mengakui kekalahan dan keunggulan orang lain, bahwa kita menilai saingan kita lebih layak dan wajar menjadi pemenang dalam kompetisi pilkada. Lebih jauh lagi, bahwa pilkada dimana saja Di Indonesia khususnya Sulsel Kab. Bantaeng mendatang hanya akan memberi arti bagi peserta kompetisi dan masyarakat secara umum manakala mereka saling bahu membahu membangun Daerahnya masing-masing.
Untuk mewujudkan kompetisi sehat dalam pilkada Di Indonesia, semua calon yang berkompetisi serta kelompok pendukungnya sejatinya mengedepankan etika berkompetisi. Sekiranya dimensi etika semakin ditonjolkan, pasti wajah pilkada akan semakin simpati, ramah, dan cerdas sehingga lahir rasa nyaman dan bangga pada masyarakat. Fastabiq al khairat.
Sayangnya, dari awal dimulainya proses pilkada banyak peristiwa menyayat hati dan tentunya merusak tatanan kedamaian Aceh; penembakan di beberapa wilayah Aceh awal januari lalu, pembakaran mobil tim sukses, penembakan rumah calon kontestan pilkada, dan sederetan kasus lainnya yang hampir setiap harinya terjadi di berbagai wilayah Aceh. Ini semua adalah bentuk kompetisi tidak sehat.
Berkompetisi dalam hal apapun, selama itu dalam koridor kebaikan dan ditempuh dengan jalan yang baik, sesungguhnya Islam sangat mengapresiasinya, bahkan menganjurkannya. Hal ini dapat terekam dalam salah satu firman-Nya: ‘dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berkompetisilah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh Allah Mahakuasa atas segala sesuatu’ (QS. [2] al-Baqarah: 148).
Anjuran untuk berkompetisi dalam kebaikan sebagaimana ayat di atas merupakan bentuk kompetisi sehat, yakni kompetisi yang didasari atas motivasi (niat) yang baik dari semua peserta kompetisi, di samping prosesnya juga baik, dan jelas hasilnya pasti akan baik. Adapun bentuk kompetisi tidak sehat adalah kompetisi yang tidak didasari oleh niat dan proses yang baik, sehingga hasilnya juga nanti tidak akan baik.
Mengapa Islam menganjurkan untuk berkompetisi dalam kebaikan?, jawabannya sederhana, karena kebaikan merupakan kemauan dan kebutuhan kolektif manusia, siapa dan di mana pun dia. Bahwa kebaikan secara individu akan melahirkan iklim dan kondisi batin yang terbebas dari belenggu, rasa bersalah dan memberikan efek manfaat luar biasa terhadap kedamaian serta kenyamanan sosial.
Contoh paling sederhana mengenai kompetisi sehat adalah bagaimana rasa leganya seseorang ketika dia memenangi sebuah laga dengan modal kemampuan yang dimilikinya tanpa ada trik-trik licik, tentu sangat bahagia. Bandingkan dengan orang yang menang dengan cara curang, secara batin dia tidak akan pernah puas dangan cara yang ditempuhnya. Surga dunia adalah ketika secara batin orang tidak terjajah dengan kegelisahan, ketakutan dan rasa was-was. Sebaliknya, neraka dunia adalah kondisi batin yang dikekang oleh rasa tidak nyaman seseorang karena banyak melakukan penyimpangan.
Dalam sepak bola, kita bisa saksikan bagaimana ketatnya pertarungan sebuah kompetisi. Namun yang kita salut dari ketatnya persaingan, secara umum dalam sepak bola sportifitas dan objektifitas tetap terjaga. Lihat saja, ketika Bolton berhadapan dengan Totingham Hotspurt di laga perempat final piala FA, di mana pemain Bolton, Muamba tiba-tiba jatuh pingsan karena serangan jantung, spontan pertandingan dihentikan walaupun waktu masih panjang dan semua berdo’a untuk Muamba.
Terkait Pilkada dimana saja Di Indonesia, barangkali spotifitas dalam persepakbolaan yang sering kita saksikan, merupakan contoh ril bagaimana berkompetisi dengan baik dan sejatinya kita teladani. Para calon pemimpin kita yang ikut bertarung di tingkat kabupaten atau provinsi harus mempu membuktikan bahwa mereka mau dan mampu berkompetisi sehat. Ibarat dalam adu lari, mereka jangan sampai mengambil jalan pintas agar cepat sampai ke finish, atau mencuri start duluan.
Mengiming-imingin masyarakat dengan menghambur-hamburkan uang dengan dalih untuk pembangunan masjid, atau bantuan untuk kelompok pengajian, menjelekkan peserta lain dengan membuka aib lawan, itu semua merupakan cara kompetisi yang tidak sehat. Selain itu, cara seperti ini menunjukkan sikap pesimis para calon bahwa mereka akan menang dan kurang dukungan sehingga melakukan cara-cara tidak sehat yang kita sebutkan tadi.
Kalau pun model peserta kompetisi seperti ini yang menang, penulis yakin apa yang ditempuhnya pasca kompetisi, setelah duduk di tampuk pimpinan, dia akan banyak menempuh cara dan jalan yang tidak sehat. Sekiranya mereka menang karena ditopang oleh materi, maka mereka tetap akan berpikir sama ketika menjabat untuk mengganti rugi dari apa yang telah mereka keluarkan. Bagi peserta kontestan yang menang dengan modal kebaikan dan kepercayaan publik, tidak akan pernah pusing untuk mencari ganti rugi, kalaupun kalah ia akan berlapang hati.
Di sisi lain, kompetisi tidak sehat dalam Pilkada, akan menghancurkan sendi-sendi persaudaraan antar umat muslim, khususnya di daerah yang merupakan wilayah syari’at. Bayangkan, gara-gara pilkada banyak orang yang terjebak dalam kelompok kecil dan berbicara atas kepentingan mereka. Padahal kita punya ‘rumah besar’ yang siap menaungi semuanya, yaitu Islam. Rasanya, keterlauan jika suatu daerah bergolak karena kekuasaan dan runtuhnya nilai-nilai persaudaraan.
Kemenangan dalam kompetisi di Pilkada, hemat penulis bukanlah kemenangan yang dihitung berdasarkan kuantitas, bahwa kita berhasil mengantongi jutaan suara mengalahkan yang lain. Kemenangan yang sesungguhnya dalam kompetisi di pilkada bagi semua calon adalah menjalani setiap proses dan tahapan pilkada secara objektif dan sportif dan tidak melakukan strategi kotor yang merusak pasangan lain sebagai lawan kompetisi.
Kemenangan yang sesungguhnya juga adalah kelapangan hati dalam mengakui kekalahan dan keunggulan orang lain, bahwa kita menilai saingan kita lebih layak dan wajar menjadi pemenang dalam kompetisi pilkada. Lebih jauh lagi, bahwa pilkada dimana saja Di Indonesia khususnya Sulsel Kab. Bantaeng mendatang hanya akan memberi arti bagi peserta kompetisi dan masyarakat secara umum manakala mereka saling bahu membahu membangun Daerahnya masing-masing.
Untuk mewujudkan kompetisi sehat dalam pilkada Di Indonesia, semua calon yang berkompetisi serta kelompok pendukungnya sejatinya mengedepankan etika berkompetisi. Sekiranya dimensi etika semakin ditonjolkan, pasti wajah pilkada akan semakin simpati, ramah, dan cerdas sehingga lahir rasa nyaman dan bangga pada masyarakat. Fastabiq al khairat.
Persaingan lazim terjadi di banyak tempat. Kantor, organisasi, bahkan negara. Namun, mengapa ada orang yang lancar-lancar saja dalam bersaing, sementara di sisi lain, ada orang yang justru tak pernah lepas dari problem persaingan. Bagaimana sebenarnya cara bersaing yang sehat?
Jangan melihat kompetisi semata dengan orang lain, tetapi lebih kepada diri sendiri. Kalau gagal, jangan salahkan orang lain. Kompetisi itu harus dengan diri sendiri. Mau orang lain lebih bagus atau jelek, yang penting kita sudah maksimal. Yang penting achievement kita bagus.
Selain membiasakan bersaing dengan diri sendiri, bersaing sehat berarti juga melihat kinerja kini dan membandingkannya dengan kinerja sebelumnya, semester lalu misalnya, sehingga kita dapat berpacu dengan diri sendiri.
Selain untuk pribadi, persaingan sehat dapat juga diterapkan di komunitas kantor, meski kata persaingan itu sendiri cenderung berkonotasi kurang menguntungkan. Seorang psikolog menyatakan bahwa persaingan sehat bisa diembuskan dari pimpinan. Misalnya, dengan menciptakan sistem dengan pengukuran-pengukuran kinerjanya jelas. Atasan dapat mengatakan, "Kamu lihat pekerjaan temanmu lebih cepat, tepat waktu, dan tanpa kesalahan" atau "Kamu dinilai jelek karena pekerjaan kamu di edisi Juni tidak lengkap dan tidak fokus."
Jangan kepribadian yang dipersoalkan. Kalau ingin menciptakan iklim yang sehat, pimpinan harus menghargai setiap kemajuan bawahannya. Selain itu, harus menciptakan transparansi informasi. Jangan ada orang-orang tertentu yang terlalu berkuasa menguasai informasi. Atasan perlu mengenal anak buahnya satu demi satu. Sehingga ia tahu latar belakang anak buah dan tahu bagaimana cara memotivasi mereka.
Ada orang yang melihat kompetisi sebagai cara untuk meningkatkan diri. Mereka terpacu mengalahkan orang lain, dan menganggap orang lain sebagai pengalang untuk mencapai kesuksesan. Bahkan ada yang sampai kecanduan, sehingga segala sesuatu harus dilakukan dengan cara mengalahkan orang lain.
Namun, harus dibedakan antara achievement (pencapaian) dengan kompetisi. Dalam konteks kompetisi, ada pihak yang menang dan kalah. Kalau seseorang tidak mencapai tujuan, berarti kalah dari orang lain. Sebaliknya, untuk mencapai tujuan, berarti harus mengalahkan orang lain. Paradigma yang berlaku menjadi, saya mengalahkan atau dikalahkan orang lain. Pada jangka pendek kompetisi memang membuat kinerja seseorang meningkat. Namun tidak untuk jangka panjang.
Yang pasti, manusia ada batasnya. Setelah mencapai titik tertentu, ia akan lelah. Atau akan ada yang terpental dari tim kerja. Entah itu teman kerja maupun yang bersangkutan, karena keberadaannya tidak diterima rekan kerja yang lain.
Bersaing sehat juga menuntut kejujuran pada diri sendiri. Ketika menargetkan sesuatu, sebelumnya harus jujur, apakah niatnya murni ingin meningkatkan kemampuan diri atau hanya menjatuhkan orang lain. Kalau seseorang fokus untuk meningkatkan kemampuan diri, pasti tidak sempat berpikir untuk menjatuhkan orang lain.
Manusiawi bila orang merasa dirinya lebih baik ketika melihat orang lain lebih rendah daripada dirinya. Orang-orang yang kepercayaan dirinya rendah biasanya peduli sekali dengan kelemahan orang lain. Pada orang-orang tertentu yang punya latar belakang tidak menyenangkan, mereka selalu ingin membuktikan dirinya lebih daripada orang lain. Karenanya, mereka menyukai aura persaingan.
Persaingan berarti mencapai tujuan dengan mengorbankan tujuan orang lain. Sebetulnya bersaing sehat adalah mengakui kelebihan orang lain, serta mengakui kelemahan diri sendiri. Orang-orang yang cerdas emosinya akan memanfaatkan kelebihan orang lain untuk keuntungan dirinya dan perusahaan.
Meski menetapkan target dan siap bersaing dengan diri sendiri bukan berarti menutup diri dari penilaian orang lain, terutama atasan. Setiap orang dituntut open minded. Buka diri dan pikiran terhadap kritik, saran, dan ide. Hal itu dapat memperkaya pemahaman dan wawasan dalam memandang sebuah persoalan atau kondisi.
Perlu ditanamkan juga nilai-nilai, apakah seseorang bekerja untuk diri sendiri. Kalau nilai hidup atau cita-cita sudah ditemukan, otomatis di setiap "cabang" kehidupan mana pun, tak pernah lepas dari nilai dan cita-cita dasar itu. Jadi, kalau di kantor paradigma mengalahkan orang lain sudah berakar, maka di rumah pun begitu. Pun dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya, kalau akar kita gemar menolong, membantu orang lain serta mengembangkan diri, otomatis di kehidupan rumah tangga, sosial, kita akan melakukan hal yang sama. Itulah yang disebut integritas.
Kita tidak perlu merasa rugi memberi informasi yang dibutuhkan rekan kerja. Kejadian ini kerap terjadi karena orang merasa tersaingi bila memberikan informasi yang diketahui kepada rekan kerja yang membutuhkan.
Selain itu, jika berhasil dalam suatu proyek, jangan merasa semua itu berkat diri sendiri. Camkan, ada kontribusi orang lain yang mendukung keberhasilan kita. Misalnya, proyek yang kita jalankan takkan berhasil, kalau tidak mendapat ide dan masukan dari rekan lain. Akui kontribusi kelompok. Ucapkan terima kasih atas bantuan mereka. Budaya seperti itulah yang mestinya ditularkan dalam organisasi.
Bersaing sehat yang dibeberkan di atas berlaku universal. Bahkan untuk organisasi masa depan, ketika iklim persaingan kian ketat. Negara yang transparan dan punya ukuran jelas, misalnya, lebih maju dibandingkan dengan negara dengan banyak peraturan. Begitu juga negara yang terlalu fanatik pada satu agama mayoritas, seperti Filipina dan Arab Saudi, tidak lebih maju dibandingkan dengan negara yang terbuka dan menumbuhkan benih-benih achievement.
Jangan melihat kompetisi semata dengan orang lain, tetapi lebih kepada diri sendiri. Kalau gagal, jangan salahkan orang lain. Kompetisi itu harus dengan diri sendiri. Mau orang lain lebih bagus atau jelek, yang penting kita sudah maksimal. Yang penting achievement kita bagus.
Selain membiasakan bersaing dengan diri sendiri, bersaing sehat berarti juga melihat kinerja kini dan membandingkannya dengan kinerja sebelumnya, semester lalu misalnya, sehingga kita dapat berpacu dengan diri sendiri.
Selain untuk pribadi, persaingan sehat dapat juga diterapkan di komunitas kantor, meski kata persaingan itu sendiri cenderung berkonotasi kurang menguntungkan. Seorang psikolog menyatakan bahwa persaingan sehat bisa diembuskan dari pimpinan. Misalnya, dengan menciptakan sistem dengan pengukuran-pengukuran kinerjanya jelas. Atasan dapat mengatakan, "Kamu lihat pekerjaan temanmu lebih cepat, tepat waktu, dan tanpa kesalahan" atau "Kamu dinilai jelek karena pekerjaan kamu di edisi Juni tidak lengkap dan tidak fokus."
Jangan kepribadian yang dipersoalkan. Kalau ingin menciptakan iklim yang sehat, pimpinan harus menghargai setiap kemajuan bawahannya. Selain itu, harus menciptakan transparansi informasi. Jangan ada orang-orang tertentu yang terlalu berkuasa menguasai informasi. Atasan perlu mengenal anak buahnya satu demi satu. Sehingga ia tahu latar belakang anak buah dan tahu bagaimana cara memotivasi mereka.
Ada orang yang melihat kompetisi sebagai cara untuk meningkatkan diri. Mereka terpacu mengalahkan orang lain, dan menganggap orang lain sebagai pengalang untuk mencapai kesuksesan. Bahkan ada yang sampai kecanduan, sehingga segala sesuatu harus dilakukan dengan cara mengalahkan orang lain.
Namun, harus dibedakan antara achievement (pencapaian) dengan kompetisi. Dalam konteks kompetisi, ada pihak yang menang dan kalah. Kalau seseorang tidak mencapai tujuan, berarti kalah dari orang lain. Sebaliknya, untuk mencapai tujuan, berarti harus mengalahkan orang lain. Paradigma yang berlaku menjadi, saya mengalahkan atau dikalahkan orang lain. Pada jangka pendek kompetisi memang membuat kinerja seseorang meningkat. Namun tidak untuk jangka panjang.
Yang pasti, manusia ada batasnya. Setelah mencapai titik tertentu, ia akan lelah. Atau akan ada yang terpental dari tim kerja. Entah itu teman kerja maupun yang bersangkutan, karena keberadaannya tidak diterima rekan kerja yang lain.
Bersaing sehat juga menuntut kejujuran pada diri sendiri. Ketika menargetkan sesuatu, sebelumnya harus jujur, apakah niatnya murni ingin meningkatkan kemampuan diri atau hanya menjatuhkan orang lain. Kalau seseorang fokus untuk meningkatkan kemampuan diri, pasti tidak sempat berpikir untuk menjatuhkan orang lain.
Manusiawi bila orang merasa dirinya lebih baik ketika melihat orang lain lebih rendah daripada dirinya. Orang-orang yang kepercayaan dirinya rendah biasanya peduli sekali dengan kelemahan orang lain. Pada orang-orang tertentu yang punya latar belakang tidak menyenangkan, mereka selalu ingin membuktikan dirinya lebih daripada orang lain. Karenanya, mereka menyukai aura persaingan.
Persaingan berarti mencapai tujuan dengan mengorbankan tujuan orang lain. Sebetulnya bersaing sehat adalah mengakui kelebihan orang lain, serta mengakui kelemahan diri sendiri. Orang-orang yang cerdas emosinya akan memanfaatkan kelebihan orang lain untuk keuntungan dirinya dan perusahaan.
Meski menetapkan target dan siap bersaing dengan diri sendiri bukan berarti menutup diri dari penilaian orang lain, terutama atasan. Setiap orang dituntut open minded. Buka diri dan pikiran terhadap kritik, saran, dan ide. Hal itu dapat memperkaya pemahaman dan wawasan dalam memandang sebuah persoalan atau kondisi.
Perlu ditanamkan juga nilai-nilai, apakah seseorang bekerja untuk diri sendiri. Kalau nilai hidup atau cita-cita sudah ditemukan, otomatis di setiap "cabang" kehidupan mana pun, tak pernah lepas dari nilai dan cita-cita dasar itu. Jadi, kalau di kantor paradigma mengalahkan orang lain sudah berakar, maka di rumah pun begitu. Pun dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya, kalau akar kita gemar menolong, membantu orang lain serta mengembangkan diri, otomatis di kehidupan rumah tangga, sosial, kita akan melakukan hal yang sama. Itulah yang disebut integritas.
Kita tidak perlu merasa rugi memberi informasi yang dibutuhkan rekan kerja. Kejadian ini kerap terjadi karena orang merasa tersaingi bila memberikan informasi yang diketahui kepada rekan kerja yang membutuhkan.
Selain itu, jika berhasil dalam suatu proyek, jangan merasa semua itu berkat diri sendiri. Camkan, ada kontribusi orang lain yang mendukung keberhasilan kita. Misalnya, proyek yang kita jalankan takkan berhasil, kalau tidak mendapat ide dan masukan dari rekan lain. Akui kontribusi kelompok. Ucapkan terima kasih atas bantuan mereka. Budaya seperti itulah yang mestinya ditularkan dalam organisasi.
Bersaing sehat yang dibeberkan di atas berlaku universal. Bahkan untuk organisasi masa depan, ketika iklim persaingan kian ketat. Negara yang transparan dan punya ukuran jelas, misalnya, lebih maju dibandingkan dengan negara dengan banyak peraturan. Begitu juga negara yang terlalu fanatik pada satu agama mayoritas, seperti Filipina dan Arab Saudi, tidak lebih maju dibandingkan dengan negara yang terbuka dan menumbuhkan benih-benih achievement.
Loading...
No comments:
Post a Comment